"Kerja bagus hari ini, Argha. Maaf ya. Seharusnya sift kamu udah selesai 3 jam lalu. Malah waktu istirahat kamu jadi keganggu gara-gara pasien."
"Gak papa, Om. Argha jadi banyak belajar buat handle pasien sebanyak itu."
"Keknya kalo kek gini masa magang kamu bakal singkat sih. Lihat dari kinerja disiplin dan lincah target pasien, menurut Om kamu cocok jadi dokter muda."
"Haha makasih banyak Om."
"Om bakal promosiin kamu dibidang ini, Argha. Om percaya sama kemampuan kamu. Kamu banyak membantu pasien dimasa magang kamu. Sepertinya banyak juga pasien yang suka dengan cakap bicara dan sopanmu. Bagaimana kamu mengakrabkan diri dengan beberapa anak kecil, dewasa sampai lansia" dokter Rafi mengecek beberapa dokumen tentang banyaknya komentator tentang pelayanan Argha selama magang. Bahkan tak ada satupun keluhan disana. Semuanya bersuara positif.
"Makasih banyak Om. Argha seneng dengernya."
Dokter Rafi menatap pemuda didepannya dengan seksama. Argha masih berusia 23 tahun. Masih sangat muda. Ia tak percaya sosok didepannya mampu bertahan dengan kanker mematikan yang dulu mengambil alih tubuhnya. Dan kini mampu berdiri tegak didepannya dengan senyuman manisnya. Ia yang dulu membantu Tommy untuk melancarkan rencananya. Ia tau alasan Tommy kenapa merahasiakan kepergian Argha pada banyak orang.
Tommy tak mau pengobatan Argha terganggu karena banyak yang mengkhawatirkannya. Tommy juga bilang ini akan menjadi sedikit pelajaran untuk Zay. Sampai sekarang pun Tommy agaknya masih mempunyai dendam dengan pemuda itu karena telah melukai adik kecilnya ini.
"Yasudah kamu boleh pulang Argha. Istirahat karena besok kegiatan mu mungkin akan sangat padat. Om ngirim data ke Email kamu. Tentang orang-orang yang ingin konsultasi sama dokter muda Argha yang manis ini."
Wajah Argha nampak memerah membuat dokter Rafi terkekeh keras.
"Om bisa aja."
"Hahaha... Nanti kamu baca teliti ya. Soalnya lebih dari 10 pasien itu."
"Iya, Om. Yaudah Argha pamit ya, Om."
"Salam buat Tommy ya."
"Baik. Om. Argha permisi. Selamat sore."
"Sore, Argha."
Setelahnya Argha keluar rumah sakit besar itu. Pemuda itu tersenyum puas dengan hasil kinerjanya hari ini. Ia menatap telapak tangannya lalu menengadah menatap langit jingga yong begitu indah.
"Argha berhasil, Ibu. Argha ambil alih cita-cita Ibu, ya. Argha akan bertahan lebih lama lagi."
Argha mengangguk yakin. Ia cukup percaya diri untuk kedepannya.
Ia berjalan kearah halte. Mengecek ponselnya yang berdering sejenak. Ada pesan masuk. Dari Tommy. Pemuda itu nitip dibelikan beberapa minuman kaleng dan rokok saat ia pulang Dan ia mengiyakan karena ia juga ingin berbelanja untuk masak makan malam.
Ia menghentikan sebuah taksi. Ia pergi ke sebuah swalayan besar yang untungnya tak jauh dari rumah Tommy.
Penampilannya tentu saja menjadi perhatian banyak orang Ia masih mengenakan jas dokternya dan membawa tas hitam berisi beberapa buku dan alat-alat medis darurat. Ia mengambil troli dan mulai berbelanja.
Setengah jam kemudian. Ia mengingat ingat apalagi yang harus ia beli untuk keperluannya agar tak perlu balik lagi nanti. Dirasa cukup, ia pun mengantri di kasir.
Matanya menatap sekelilingnya agar tak bosan menunggu. Lalu perhatiannya beralih pada sosok mungil yang cukup familiar Tak lama matanya membelalak saat mendengar klontang bout dari ketinggian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Posesif Boyfie (BXB)
Teen FictionArgha Ravindra. Remaja dengan gelapnya takdir dihidupnya. Sakit dan luka menjadi makanannya sehari-hari. Hanya berbekal janji manis yang kakeknya ucapkan membuatnya harus bertahan hidup karena ia yakin yang kakeknya bilang akan terjadi nantinya. Sel...