Wedding invitation

1K 111 119
                                    

Time skip alert!!!

▪︎▪︎▪︎

Lalu, satu minggu lewat tanpa terasa. Satu minggu pula, tak ada percakapan dengan Jaemin walau hanya lewat pesan singkat.

Pria itu hilang tanpa tinggalkan jejak.

Dan Haechan masih mau menunggu, meski tak ada konformasi dari media. Tanda Jaemin maupun Karina belum beri komentar apapun terkait pertunangan yang diumumkan seminggu yang lalu. Juga, tidak ada konfirmasi dari Jaemin perihal hubungan gelapnya dengan pria itu yang dipublikasi oleh media .

Haechan tidak ke mana, dia masih terus di rumahnya, hindari hal buruk yang bisa terjadi kapanpun kalau dia jejakkan kaki di tempat umum. Hindari pula kejaran wartawan atas pertanyaan yang tak akan lari dari hubungannya dengan Jaemin.

Demikian itu, keputusan seluruh anggota keluarganya. Dan Haechan menurut.

Tunggu Jaemin lebih dulu ambil langkah di depan media, lalu dirinya ikut terjun ambil bagian.

Belum lagi, Woojin tak berhenti tanyakan keberadaan sang papa, dan kapan pria itu akan datang.

"Sayang, kenapa gak mau makan? Yaya suapin, ya?"

"No no, yaya. Ujin mauna papa."

Pening, Haechan bawa jemari pijat pelipisnya. Selalu begitu, Woojin jadi susah bahkan tak mau makan jika Haechan tak putar otak cari celah.

"Iya, Woojin makan dulu yang banyak, biar papanya datang. Kan yaya udah bilang, papanya lagi sibuk, sayang."

Hembus napas lesu terdengar, Woojin pelakunya. Biasanya, kalau anak kecil yang lakukan itu, akan undang tawa gemas orang dewasa yang melihatnya dengan komentar "Idih bocilll, lagaknya kayak orang banyak masalah."

Tapi kali ini beda, di mata Haechan, justru undang sedih yang semakin besar. Anak sekecil itu, kepikiran sesuatu.

"Yaya, Ujin natal, ya? Ujin banel matana papa malah, telush nda mau tetemu Ujin?" lihat, entah siapa yang ajari dia punya pikiran begitu.

"Sayang, sini." Haechan angkat Woojin dari highchair bayi, untuk dibawa duduk di pangkuannya. Ia bawa duduk berhadapan dengannya, untuk beri si kecil pengertian.

"Dengerin yaya. Woojin nggak nakal, Woojin juga nggak bandel. Papa nggak marah, cuma sekarang lagi gak bisa ketemu."

Binar polosnya tatap sang yaya untuk cerna semua, anak kecil mana bisa mengerti sepenuhnya. "Telush, tapan Ujin bitsa tetemu papana?"

Haechan ulas senyum pada sang anak, tangannya dibawa usap belakang kepala si tunggal. "Nanti, ya. Sekarang belum bisa. Nanti yaya kasih tau kalau udah bisa ketemu papa. Sekarang makan dulu, biar Woojin punya tenaga nunggu papa pulang."

"Puyan?"

"Heem, pulang. .... Sekarang Woojin makan, ya, biar yaya suapin."

Iya. Pulang.

Iya, kan? Pulang. Jaemin pasti pulang. Ke rumahnya, ke Woojin dan Haechan.

Anak itu berakhir makan dengan lahap. Memang siapa yang tak bahagia disuguhi janji manis walau tak tahu kapan bisa ditepati?

Lalu satu minggu yang lain lewat begitu saja. Lagi. Tak ada perkembangan. Begitu yang Haechan lihat.

Woojin tak lagi tanyakan sang papa. Mungkin dia sudah mulai lupa, atau memang tak mau cerita sedihnya. Si kecil mulai kembali terbiasa main sendirian, kembali terbiasa hanya hidup berdua dengan sang yaya.

Semicolon [NAHYUCK] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang