Papa

1.3K 123 40
                                    

Bel apartemen ditekan 2 kali, tak lama Renjun keluar dibalik pintu. Alisnya menukik bingung saat lihat Jaemin di depan. Tidak biasanya pria itu datang tanpa mengabarinya terlebih dahulu.

"Kenapa Jaem?" tanya Renjun tanpa basa-basi. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot mengajak Jaemin masuk, ia berdiri tepat di pembatas pintu.

"Nggak kenapa. Lu tau kan rumah Haechan dimana? Gue mau minta alamatnya." pun Jaemin juga tidak mau buang waktu.

Helaan napas terdengar, Renjun malas mengulang kalimat. Dia sudah pernah bilang kalau tidak bisa sembarang beri alamat si manis sekalipun itu pada Jaemin. Dia perlu minta persetujuan Haechan sebelum memberi informasi apapun tentang modelnya. "Lu kesini pasti karna Haechan gak ngasih alamatnya, kan? Jadi percuma juga lu kesini, karna hasilnya tetep sama. Gue juga gak mau ngasih alamatnya."

Lalu lelaki itu mundur satu langkah, tangannya tarik pintu disampingnya untuk kembali ditutup. Tapi sesuatu mengganjal di bawah sana, ia lantas menunduk dan dapati kaki Jaemin jadi penghalang pintu itu untuk tertutup.

"Mau apa lagi?"

"Gue gak bakal ngizinin lu masuk sebelum lu kasih alamat Haechan ke gue. Kasih sekarang alamatnya." suaranya datar penuh tekanan, sebagai tanda kalau itu sebuah perintah, bukan permohonan.

Tapi Renjun tak gentar, sekalipun aura dominasi muncul sangat kentara dari orang di depannya. Ini privasi modelnya, dan ini bentuk integritasnya dalam menjalani pekerjaan sebagai seorang manajer. "Mending lu pulang sekarang, Jaem."

"Kasih dulu alamatnya. Gue punya kepentingan yang harus diselesein sama Haechan sekarang juga."

"Ya tapi pesan lu pasti gak dibales sama Haechan, kan, makanya lu kesini? Berarti dia lagi sibuk sekarang dan gak bisa diganggu." ujarnya mulai kesal akan tingkah Jaemin yang memaksa.

"Iya, gue tau dia lagi sibuk anaknya baru keluar rumah sakit dua hari lalu." sedari tadi kaki Jaemin masih menahan pintu yang berusaha ditutup Renjun. Dan saat lelaki itu mendengar tuturan Jaemin, perlahan tidak ada tenaga dorongan menutup pintu, justru sekarang benda itu mulai terbuka lebar, tangan Renjun lepas dari kenop papan akses keluar masuk.

"Kenapa lu tau?" tanya Renjun penasaran, dia tahu Haechan belum cerita tentang sang anak pada pria di depannya.

"Lu gak perlu tau. Yang jelas gue butuh ketemu Haechan sekarang."

"Apa alasannya? .... Kasih gue alasan kuat yang mengharuskan gue ngasih alamatnya."

Sigh. Jaemin sempatkan beri anggukan kepala, ditatapnya Renjun penuh keseriusan. "Gue ayahnya. .... Anaknya Haechan, gue ayah biologisnya."

Pada ucapan yang baru saja mengudara, sebuah dorongan keras tanpa disangka mendarat di pipi Jaemin sampai wajahnya menoleh ke samping. Perih, pipinya memerah. Layangan dari tangan Renjun yang telapaknya menempel begitu sempurna di pipi Jaemin datang begitu tiba-tiba. Jaemin bahkan tidak bisa menghindar atau menahannya, tidak menyangka akan dapat tamparan dari Renjun setelah ungkapannya.

"Bajingan." lirih suaranya, tapi masih mampu Jaemin dengar. Tatapan Renjun tajam seolah sampai menusuk dada, tapi Jaemin lebih pentingkan untuk urus emosinya, berang.

Jaemin pejam mata sebentar sebab amarah yang mulai muncul ke permukaan. Katakan, siapa yang tidak kesal dapat tamparan padahal dia datang secara baik-baik ke tempat ini. "Iya, gue bajingan. Makanya sekarang gue perlu ketemu Haechan. Kecuali kalo lu tega ngejauhin anak sekecil itu dari bapaknya." dan Jaemin cukup tahu diri untuk tahan amarahnya, bagaimanapun dia butuh bantuan Renjun. Lagipula lelaki yang menamparnya ini tidak tahu apapun, selain melihat masalah ini dari satu sudut pandang dimana jelas Jaemin yang salah menurut pandangannya.

Semicolon [NAHYUCK] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang