D-Day

1.2K 127 50
                                    

Sebelum baca ini minum air putih dulu, terus inget kalo ini cuma cerita, jangan dibawa kecewa, sedih, apalagi nangis.

Baca ff emang gitu, kadang suka-suka author.

▪︎▪︎▪︎

Jaemin masih di sana. Duduk bersandar dinding depan pintu, kepalanya menunduk lesu. Tak ada tenaga sekedar tengadahkan wajah ke depan, apalagi bergerak pindah. Tenaganya habis ditelan surat undangan yang tergeletak dekat kakinya.

Kalau nanti seseorang lewat unit apartemennya yang pintunya sekarang terbuka lebar, unitnya mungkin dianggap baru saja dirampok dan dia kena hajar sampai tak sadarkan diri. Kemeja putihnya kusut sana sini, bagian lengan panjangnya kena noda darah saat ia usap kasar wajah untuk hapus air mata.

Iya, pakaian semi formal jadi pilihannya untuk datang melamar si manis. Ah, mungkin sekarang dia sudah bertemu Haechan kalau saja lelaki itu masih mau menunggu sebentar lagi.

"Anjing! Jaem!" umpat Jeno kaget, sontak berlari hampiri Jaemin begitu dirinya sampai di depan unit itu dan matanya tangkap sosok temannya duduk menunduk dengan getar di bahu.

Jaemin masih terisak, mungkin sedikit lagi air matanya habis tak bersisa.

"Jaem, lu kenapa?!" pundaknya digoyang sedikit kuat agar pria itu mau angkat wajahnya. Sumpah! 8 tahun saling kenal, ini pertama kalinya Jeno lihat Jaemin sampai seberantakan ini.

Jeno semakin dibuat kaget begitu Jaemin tengadahkan wajah, dapati memar dan luka di sana. Tapi, sejurus kemudian ia mengernyit heran, sebab tawa Jaemin menguar.

Ia sunggingkan senyum yang jelas tak sampai ke mata, "Gue telat, Jen. ....Gue telat." lagi, tawanya mengudara.

"Haechan mau nikah, sama Mark." dan dalam sekejap mata, wajahnya berubah sendu, pun Jeno ikut menunduk lesu. Tahu, Jeno tahu bagaimana perasaan pria itu sekalipun Jaemin tak banyak cerita.

Semua yang Jeno lihat siang ini, sudah cukup untuknya tarik satu kesimpulan.

Kalau Jaemin, sudah jatuh terlalu dalam.

"Jen..., gue telat..." lantas tangis kembali diurai, kepalanya menunduk ditopang pada salah satu lengan Jeno yang masih terus pegang pundaknya.

"Rasanya sesek banget di sini." Jaemin pukul kuat dadanya, sesak di sana leburkan sakit di badannya yang kena sasaran pukulan Johnny.

"Lu tau gak, mama gak benci lagi sama Haechan, nyokap sama bokap gue juga katanya udah gak sabar ketemu calon mantu sama cucunya. Jen, gue berhasil ngilangin bencinya mama, gue berhasil dapat restu mami sama papi. .... Tapi gue gagal, gue gagal bawa Haechan ketemu mami sama papi sebagai calon mantu mereka." Jaemin terkekeh kecil, ada senyum miris ketika ia ucapkan akhir kalimatnya.

Iya, miris sekali, ya.

Dia justru tak dapatkan apa yang jadi alasannya menghilang 3 minggu ini.

Ia justru kalah, dihatam kuat dari dalam.

Haechannya, memilih bahagia. Tapi bukan bersamanya.

"Gue ngabisin banyak waktu sampe ngebiarin Haechan lama nunggu. .... Jen, Haechan tau gak ya, kalo gue tuh sayang banget sama dia."

Jaemin tumbang, sesak dalam dadanya tak bisa hilang walau bening air matanya masih senang menari di atas permukaan kulit wajahnya.

Pria itu jatuh dalam usahanya berdiri di puncak gunung. Bukannya dapat menggapai bulan, dia jatuh di dalam magma. Jaemin terbakar akan cintanya.

Lalu tawa jadi gantinya, ambil peran air mata sebab tak lagi mampu hadapi lara yang Jaemin rasa. "Tiga hari, ....tiga hari dari sekarang, Haechan bakalan jadi milik orang lain."

Semicolon [NAHYUCK] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang