Haechan baru selesai mandi ketika dirinya temukan seonggok daging hasil buah cintanya dengan Jaemin tidur diatas dada si papa muda.
Tidak peduli pada sang surya yang tanpa segan terangi kamar itu karena Haechan membuka gorden sebelum masuk ke kamar mandi tadi, sepasang anak dan ayah itu masih nyaman dalam tidur mereka.
Haechan terbitkan senyum. Pada setiap kehangatan dalam keluarga kecilnya, tidak pernah gagal mencapai haru sehingga yang terjadi hanya ada dua; sudut bibirnya yang terangkat naik, atau bulir air yang terjun dari manik.
Atau lagi, keduanya mendesak keluar bersama-sama.
Lantas dia menjejak dekati ranjang. Jaemin dapat kecup di dahi, kemudian Woojin dapat kecup di pipi.
"Udah ya pura-pura tidurnya. Sekarang mandi, Woojin nanti telat ke sekolah."
Woojin sontak membuka kelopak mata. Tidak lagi tidur telungkup pada dada Jaemin, dia ambil posisi duduk di sisi si Papa yang juga sudah membuka mata bersama kekehan pelan.
"Hah! Yaya tau kalo Papa sama abang Ujin cuma pula-pula?! Gak selu ah Yaya," Dia mencebik, entah kesal karena Haechan yang mendapati keisengan mereka, atau kesal pada diri sendiri sebab kurang mahir.
Undang gelak tawa dari orang tuanya, menguar dalam ruangan. Tidak pernah mereka bosan tertawa akan tingkah si sulung wanna be itu.
"Berarti Yaya jago nebaknya. Yaya gitu loh." Haechan membalas jumawa. Padahal, dia juga baru menyadari itu ketika setelah diperhatikan dari jarak dekat, kelopak dan bulu mata anaknya bergerak-gerak.
"Udah, yuk mandi. Nanti kamu telat sekolahnya." Itu suara Jaemin. Dia berangsur duduk, turunkan kaki supaya telapaknya menyentuh ubin.
"Gendong ya, Papa." Anak itu meringis, tampilkan gigi rapi dan bersih, hasil dari telatennya Haechan mengurus si kecil.
"Udah jadi abang tapi kok mau digendong?" Jaemin sedikit menggoda, tapi badannya sudah setengah berbalik, tangannya perlahan tarik si sulung supaya segera masuk dalam pelukan.
Woojin bawa mundur tubuhnya yang pada punggungnya ditahan Jaemin agar tidak jatuh ke belakang, tangan kecilnya tangkup kedua sisi rahang Papanya itu supaya menatapnya sambil dia berucap, "Papa, abang Ujin itu, kan, cuma abangnya adek, tapi abang Ujin tetap masih kecil. Jadi halus digendong." Kemudian Woojin tutup dengan kecup pada pipi Jaemin, disusul lingkari tangan di leher Papanya sebagai tanda ajakan untuk segera mandi.
Jaemin terkekeh pelan, menatap Haechan yang senyum manisnya terus tinggal sejak tadi, sambil mengusap punggung Woojin, "Iya ya, anak Papa ini masih kecil." Katanya, lantas berdiri. Mampir kecup pipi Haechan yang jadi berisi mengikuti timbangan yang naik seiring usia kandungan yang bertambah.
"Nanti Papa yang antar ke sekolah." Tuturnya lagi seturut langkah menuju kamar mandi.
Sehingga Haechan yang belum bergerak sama sekali, menoleh pada Jaemin. "Kamu gak ke kantor?"
"WFH, sayang." Balas Jaemin lembut, lalu menghilang dibalik pintu kamar mandi yang ditutup perlahan.
Ah, perihal Jaemin yang tetap bekerja di Seoul. Dia pulang pergi diantar helikopter yang akan turun di rooftop kantor. Sedangkan di rumah ini, benda terbang itu akan turun di halaman rumah paling ujung supaya tidak begitu berisik, yang selanjutnya akan menuju bandara setempat untuk diparkirkan di sana.
Terlihatnya merepotkan diri, tapi semua akan Jaemin lakui sebab Haechan lebih nyaman tinggal di sini, di Jeju.
.
.
.
"YAYA~" Si sulung berteriak, dia berlari, masuk ruang makan demi temui Haechan yang sudah lebih dulu berada di sana menyiapkan sarapan. Anak itu juga sudah siap, memakai seragam sekolah sesuai jadwal hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon [NAHYUCK] ✔️
Fiksi Penggemarketika titik harusnya jadi tanda berhenti, tapi samar tanda koma di bawahnya jadi alasan keberlanjutan kisah dua manusia. bxb bl