Daily Life (extra)

668 73 10
                                    

Alunan melodi mengisi setiap ruang dalam rumah itu —ulah dari Jaemin yang jemarinya terus tekan bilah piano hingga mencipta melodi lagu dari salah satu pianis terkenal yang jadi favoritnya.

River flows in you.

Menggema syahdu dalam ruang keluarga yang didesain cukup luas tanpa banyak pajangan sebab diperuntukkan untuk si kecil bermain. Pun, dindingnya dibiarkan penuh coretan, supaya anak itu tidak melukis abstrak selain pada tembok di dalam ruangan itu.

Beralih pada orang dewasa lain, masih dalam tempat yang sama, Haechan, duduk bersandar pada sofa panjang menikmati lantunan bunyi piano dari suaminya.

Oh, iya, tentang anak kedua yang baru mereka ketahui setelah tinggal dalam perut Haechan setelah 2 bulan kehadirannya, Gemini itu usap lembut perut yang sekarang sudah membesar —bayi di dalam sana sudah berusia 27 minggu. Matanya terpejam dengan senyuman terulas.

Ah, dia juga menyukai instrumen piano yang satu itu. Setiap kali Jaemin memainkannya, ada cinta yang berusaha Jaemin sampaikan. Pun, Haechan juga ingin Jaemin tahu, kalau, gambaran perasaannya juga sama seperti itu. They are indeed, fell harder to each other. Tiada suka cita yang menjadi pelengkap hidup seorang Lee Haechan selain hari di mana janji pernikahan menggema dari birai masing-masing, hingga hari ini mereka habiskan waktu bersama, sampai esok dan seterusnya yang diharapkan sama bahagianya dan terus bertambah.

Sementara Woojin masih dengan dunianya sendiri. Dunia anak kecil yang bebas dengan imajinasi tinggi, anak itu menyusun mainan dino dengan robot ultraman melawan Buzz Lightyear dari film Woody.

"Yaya, awas! Buzz mau menyelang adik di dalam pelut!" Robot Buzz terbang mendekat perut sang Yaya —yang bergerak karena tangan si kecil itu sendiri, kemudian disusul pada tangan satunya, ultraman menghalangi Buzz sembari anak itu bilang dengan lantang, "Jangan belani-belani sentuh adiknya abang Ujin!" Begitu, Woojin berperan sebagai ultraman pemberani.

Undang kekehan menguar dari Haechan. Kelopaknya sudah terbuka sejak namanya disebut oleh sang anak. Pun tidak berbeda dengan Haechan, Jaemin tertawa sampai dia salah tekan tuts piano sehingga mencipta melodi abstrak.

"Kamu udah ngantuk? Tidur gih, biar aku yang urus Woojin." Jaemin berucap seturut langkah mendekat. Berhenti mainkan piano setelah pandangannya temukan Haechan yang maniknya menyayu.

Dia usap pelipis suami kecilnya yang tampak menahan kantuk sebab enggan tertidur di ruangan itu.

"Ngantuk dikit, tapi aku masih pengen di sini." Tuturnya, enggan beranjak lebih dulu. Haechan ingin rekam sebanyak mungkin memori bersama keluarga kecilnya. Berharap ingatannya masih begitu tajam ketika tua kelak, sehingga kenangan kecil semacam ini bisa jadi penghibur dikala anak mereka beranjak dewasa dan punya kehidupan pribadi dengan keluarga kecil selayaknya mereka saat ini.

Jaemin mengangguk akan ucapan Haechan, dia daratkan tubuh duduk di sampingnya. Kemudian si manis itu dia bawa bersandar pada pundaknya sambil mereka perhatikan si abang kecil yang masih terus sibuk bersama imajinya.

"Oh iya, hampir aja aku lupa. Mami ada ngasih saran, bilang, gimana kalau balik Seoul lusa aja? Soalnya biar gak perlu lagi ngurus surat dari dokter. Sama ini juga, nanti tinggal di apart aja, jangan di rumah kamu karena jaraknya lumayan jauh dari rumah sakit."

Rencana kepulangan mereka ke Seoul sudah diputuskan sejak lima bulan usia kandungan Haechan. Pun, dalam rencana itu, mereka akan terbang ke Seoul setelah usia kandungan 30 minggu. Lalu atas saran berikutnya perihal tempat tinggal, Haechan segera menyetujuinya. Mengingat rumah di ujung kota itu jaraknya cukup jauh dari rumah sakit milik keluarganya. Ah, iya, Haechan lebih senang tinggal yang hanya ada mereka bertiga di dalamnya —pengecualian untuk babysitter Woojin, sehingga apartemen adalah pilihan tempat tinggal satu-satunya selama di sana.

Semicolon [NAHYUCK] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang