VII

838 100 11
                                    

~{●}~

Di antara bunyi riak dedaunan, Anindya terkekeh saat ia melihat Kirana kesulitan membuka kulit jeruk.

Padahal, wanita cantik itu piawai dalam berbagai hal. Tapi, saat Anin melihat si putri raja memegang pisau, rasanya semua kepiauaian si wanita cantik hilang entah kemana.

Anindya sedikit takut ketika ia melihat Kirana mencoba memotong satu buah pepaya berukuran sedang di atas piring datar berukuran besar. Potongan Kirana tampak terlalu besar dan berlekuk karena wanita cantik itu terlalu terburu-buru ketika membelah dan itu membuat Anindya merasa takut entah mengapa.

"Sepertinya nona harus berhati-hati saat memotong. Saya takut nona melukai jemari nona jika nona memotong dengan cara seperti ini" Anin meringis di akhir kata ketika Kirana membelah satu buah pisang secara horizontal.

Kirana terkekeh "Apa aku terlihat payah ketika memegang pisau seperti ini?" Anin bisa melihat gigi-gigi rapi milik Kirana ketika wanita cantik itu menguarkan tawa.

Tak bisa menahan diri, Anin akhirnya ikut terkekeh seperti sang putri. "Seharusnya ini tugas saya. Kenapa pula nona tiba-tiba ingin belajar memotong buah seperti sekarang?" Anin bergerak lembut mendekati Kirana yang masih fokus pada beberapa pisang yang tengah ia potong.

Kirana sedikit melirik dari sisa buah yang akan ia potong, Wanita cantik itu menatap Anin dengan lembut "Entah. Tiba-tiba saja aku ingin merasakan hal-hal umum yang biasanya orang lain lakukan. Dari mulai memasak, mencuci, menyapu, mengepel dan aku bahkan ingin belajar menjahit"

Anin mengerutkan kening "Dari mana sekiranya nona mendapatkan ide untuk mempelajari semua itu?" ia terkekeh di akhir kata.

Dengan geli, Kirana mengangkat kedua bahunya yang tak terbalut kain "Entahlah" lagi, wanita cantik itu terkekeh seraya menata buah yang sudah ia iris ke dalam sebuah wadah berukuran sedang untuk mereka berdua "Aku hanya ingin hidup normal"

"Apa saya memiliki tugas selain memperhatikan nona seperti ini?" ujar Anin lembut.

"Bantu aku makan. Ceritakan padaku hal-hal menarik yang orang-orang sepertimu lakukan. Aku ingin mempelajari hidup sederhana seperti kalian" kini, tangan Kirana menyerahkan sewadah buah-buahan pada Anindya yang menerimanya dengan pipi bersemu.

"Kalau begitu, biarkan saya menceritakan keseharian saya sebagai dayang pada nona" ujar Anindya memulai pada Kirana yang memperhatikannya sambil sesekali menyuap dan mengunyah lembut.

"Biasanya, saya bangun pukul tiga dini hari untuk mempersiapkan pakaian nona. Setelah mempersiapkan pakaian, saya akan mulai mencuci pakaian nona yang kotor dan biasanya saya akan selesai pada pukul empat pagi. Setetelah itu, saya menjemur pakaian sekitar dua puluh menit" Anin berhenti sekejap ketika ia menyapu rambutnya yang terbawa angin "Selanjutnya, saya akan mempersiapkan peralatan mandi untuk nona dan kemudian membangunkan nona pukul lima pagi"

Kirana mengangguk mengiyakan "Setelah itu?"

"Seharian saya akan tetap bersama dengan nona. Menjaga nona dan melayani semua keinginan nona seperti sebagaimana tugas dayang-dayang lainnya. Jika nona sudah tidur, saya akan segera pergi ke ruang dayang dan istirahat dengan baik agar saya bisa melayani nona esok hari"

"Terdengar mudah" ujar Kirana menjawab si dayang dan Anin tersenyum ketika mendengarnya "Nona boleh mencobanya kalau nona tertarik" tantang si gadis cantik bertubuh mungil kemudian.

"Hmmm..." Kirana bergumam sekejap "Apa yang akan aku dapatkan jika aku bisa mengikuti kegiatanmu sehari-hari?"

Dengan senyum percaya diri yang diukir secantik mungkin di bibirnya, Anin mendekat seraya memiringkan kepala ke satu sisi "Nona akan mendapatkan apapun yang nona inginkan dariku selama satu hari"

"Setuju"



~~




Anin terkekeh saat ia melihat Kirana tengah mencoba mengikuti langkahnya yang cepat menuju ruang mencuci pakaian.

Bangunan megah bergaya eropa dengan luas sekitar 4 hekto are ini memiliki tiga lantai yang dibagi-bagi menjadi beberapa bagian.

Lantai utama, digunakan untuk ruang keluarga raja, dapur istana, ruang makan keluarga, seta kamar-kamar pekerja. Di lantai ke dua terdiri dari perpustakaan istana, ruang dansa, ruang tamu, serta kamar-kamar khusus untuk dayang-dayang pribadi para ratu. Sementara di lantai paling atas terdiri dari kamar khusus para putri.

Kini Anindya tengah menuntun sang putri menuju luasnya bak mandi yang biasanya digunakan oleh para dayang untuk mencuci pakaian.

"Kegiatan saya di pagi hari biasanya di sini" Anin bergerak cepat ketika ia menunjuk sebuah bak besar berisi air jernih dengan beberapa gayung yang terbuat dari batok kelapa di berbagai bagian "Karena bukan hanya saya yang mencuci, biasanya kami berjejer rapi di sini" gadis itu berjongkok di depan bak mandi yang panjang dan memperlihatkan bagaimana biasanya ia mencuci.

"Setelah mencuci, saya akan menjemur pakaian di belakang istana" kini, Kirana mengikuti langkah milik Anin menuju sebuah tanah kosong yang dimanfaatkan sebagai tempat menjemur.

Luasnya tanah kosong yang hanya di isi oleh besi yang tertancap di tiap ujung tanah dengan panjangnya tambang yang dibiarkan melintang di sana menyambut Kirana ketika wanita cantik itu baru saja sampai di belakang istana.

Sudah banyak sekali pakaian yang digantung di sana supaya itu cepat kering karena terbakar sinar matahari "Setelah itu?"

"Setelah itu, kami biasanya mandi dan mengganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan sarapan dan membangunkan para putri"

"Ada berapa dayang?" ujar Kirana ketika ia melihat Anindya memutar langkah.

Gadis itu mengerutkan kening sebentar "Nona tidak tahu jumlah para dayang dan pekerja di istana?"

Kirana menggeleng pelan dengan ekspresi polos yang tepat dan Anin terkekeh karenanya "Ada 10 dayang khusus untuk putri dan ratu, Dua puluh dayang lain untuk mengurus keperluan istana, serta 50 pekerja laki-laki di bawah kerajaan Padma untuk saat ini, tidak termasuk patih, adipati dan lainnya"

Kirana memiringkan kepalanya sekejap ketika mereka berhenti di depan pintu istana yang terbuka "Apa kau selalu berjalan secepat ini?" ia menghela napas sekejap sehingga Anin ikut berhenti dengannya.

"Saya tidak memiliki banyak waktu, nona" jawab si cantik bertubuh mungil ketika ia hampir melangkah kembali.

Tangan Kirana yang panjang cepat-cepat mencengah Anin untuk melangkah "Beri waktu bernapas untukku"

Saat Anin mendengar itu, ia terkekeh kecil "Bukannya nona ingin melakukan kegiatan normal seperti kebanyakan orang?"

Kirana mendecak "Tapi kita bisa berjalan dengan normal kan?" protesnya.

"Saya akan kehabisan waktu jika mengikuti langkah nona ketika mengerjakan pekerjaan lain"

Sekali lagi, Kirana mendecak "Hhhh. Baik. Tapi jangan terlalu cepat. Betisku rasanya sakit semua"

Dengan geli, Anin memimpin jalan seraya memperlambat langkahnya agar Kirana tak lagi memprotes. Padahal, jika saja boleh dipikir-pikir, kaki milik Kirana lebih jenjang dan lebih panjang daripada dirinya. Tapi, kenapa langkah mereka begitu berbeda?

~{●}~

Riska Pramita Tobing.

Amarloka {FayeXYoko}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang