~{●}~
Kirana terbangun saat ia mendengar suara bising dari luar kamar. Wanita cantik itu menyingkapkan selimut lantas melirik ke seluruh ruangan yang gelap.
Tak ada lampu yang menyala dan matahari masih tersembunyi di balik awan.
"Anin?" Kirana sedikit berteriak guna memanggil dayangnya. Tapi, gadis cantik itu tak menghampiri di panggilan pertama.
"Anin?" dua.
"Kemana dia?" gumam Kirana ketika ia turun dari ranjang.
"Anindya?" tiga.
Masih belum ada jawaban dan karena itu Kirana bergerak menuju jendela lantas membukanya lebar-lebar untuk melihat pemandangan banyak delman yang sepertinya tengah digunakan untuk mengangkut padi dari sawah menuju penyimpanan beras di istana.
Dinginnya udara dari luar membuat Kirana menggigil meski sesaat. Dengan sebal, Kirana mengambil napas panjang sehingga udara pagi memenuhi paru-parunya. Wanita cantik itu kemudian bergerak ke kamar mandi guna membersihkan diri. Tapi... kenapa bak mandinya masih kosong?
Dengan kening mengkerut dalam, Kirana melipat tangan di depan dada lantas kemudian kembali keluar dari kamar mandi dan mencari keberadaan dayang pribadinya yang menghilang.
Di antara langkah yang lebar dan cepat, Kirana melirik ke seluruh lorong guna mencari Anindya yang tak seperti biasanya.
Isi kepala Kirana mulai bertanya-tanya sekarang. Apa Anindya menghilang karena ia mencium gadis itu semalam?
"Adipati?" Kirana terengah ketika ia melihat Surendra tengah mengangkat sekarung padi di pundaknya yang besar.
Lelaki itu berhenti sekejap dan menjatuhkan padi yang sepertinya akan dipindahkan dari atas delman. Ia menunduk hormat pada putri sulung keluarga Padma lantas tersenyum "Ada yang bisa saya bantu, nona?"
Kirana menarik napas panjang, mencoba mengatur deru napasnya yang satu-dua karena ia berjalan begitu cepat barusan "Apa kau melihat dayang Anin?"
Kening Surendra mengkerut sekejap. Ayahanda dari dayang pribadi Kirana itu kemudian melipat tangannya di dada dibarengi dengan ekspresi heran yang tepat "Apa Anin tidak memberitahu nona kalau ia sedang pulang ke rumah neneknya?"
Kirana menggeleng "Kapan dia pergi?"
"Pagi hari ini, nona"
"Bisa kau antar aku ke sana?"
Adipati Surendra melirik delman-delman yang masih menunggu "Apa nona tidak bisa memilih dayang lain untuk beberapa hari? Saya memiliki beberapa pekerjaan di istana yang harus saya lakukan"
Dengan sebal, Kirana mendencak "Kalau begitu, beri aku alamatnya. Aku akan pergi ke sana seorang diri"
Surendra membelalak "Tidak bisa! Saya tidak akan membiarkan nona pergi sendirian ke kampung halaman saya"
Kirana menghentakkan napasnya dengan frustasi "Kau tak bisa menghalangiku!"
"Kecuali kalau saya tidak memberitahu alamatnya"
Kirana membelalak "Apa yang salah denganmu?!"
"Maaf nona. Tapi mungkin seharusnya saya yang bertanya begitu" Surendra berucap dengan tenang pada si putri raja "Masih banyak dayang lain yang bisa membantu pekerjaan nona sehari-hari. Anindya.." lelaki itu menggeleng seolah meralat ucapannya barusan "Anakku, ingin pulang untuk sementara waktu. Saya tidak tahu mengapa, tapi semalam dia datang dan mengetuk kamar saya untuk meminta izin pulang dalam kurun waktu yang tak sebentar. Mungkin, dia sedang merasa begitu lelah hingga ingin beristirahat untuk sementara waktu dari pekerjaan di sini"
KAMU SEDANG MEMBACA
Amarloka {FayeXYoko}
Historical Fiction"Hidup tanpamu adalah kehampaan yang tak ingin aku rasakan" -Kirana Nabastala Padma