~{●}~
Anin terkekeh saat ia melihat Kirana tengah mencoba memasangkan selendang di pinggulnya sendiri.
Wanita cantik itu tengah belajar berpakaian dengan tangan-tangannya sendiri. Ketara sekali bahwa wanita cantik itu sudah terbiasa dilayani oleh para dayang semenjak kecil hingga tak bisa mengenakan selendang di pinggulnya sendiri.
Dengan inisiatif yang tinggi, Anin kemudian turun di antara kedua kakinya lantas mendekat pada pinggul Kirana untuk membantu si wanita cantik memasang selendang.
"Sudah berapa lama nona dilayani oleh dayang hingga lupa dengan cara memasang selendang?" ujar Anin lembut ketika ia meliltikan selembar kain panjang berwarna hitam dengan corak batik keemasan pada pinggul Kirana yang bulat.
Wanita cantik itu terkekeh "Aku tak ingat. Semenjak aku kecil, aku selalu dilayani oleh dayang Janita"
Anin tersenyum sekejap ketika ibundanya disebutkan. Janita bernasib sama seperti dirinya. Ditunjuk oleh raja Padma untuk mengabdi pada putri istana semenjak berusia lima belas tahun.
Ibundanya bahkan tak memiliki waktu banyak untuk beristirahat di rumah ketika Anin masih kecil dan membutuhkan kasih sayang.
Tapi, berkat Janita, Anin belajar hidup mandiri sedini mungkin hingga ia juga ditunjuk untuk mengabdi di istana yang serupa dengan ibundanya.
Tanpa disangka, karena itulah ia dipertemukan dengan sosok Kirana yang kini tengah meratui isi hatinya.
Wanita cantik penuh wibawa, tegas, ceria, penyayang, lembut, dan perfeksionis.
Anin bahkan ingat ketika ia pertama kali diperkenalkan dengan Kirana yang saat itu tengah melukis di dekat sudut ruangan yang jendelanya terbuka.
Rambut panjangnya yang diikat menyerupai ekor kuda sedikit berterbangan terbawa angin ketika jemarinya terfokus pada palet yang dipenuhi oleh cat.
Wanita itu selalu saja mengangkat dagunya dengan angkuh, ia jarang menorehkan senyum, tapi iris matanya yang berwarna coklat selalu membuat Anin terpaku padanya.
Kirana memang memiliki sihir tersendiri dari iris matanya yang dapat membuat siapapun takluk terhadapnya.
"Anin?"
Anin tersentak saat ia merasakan usapan di pucuk kepalanya. Gadis cantik bertubuh mungil itu kemudian melirik ke atas, tepatnya pada wajah Kirana yang terlihat ciamik meskipun dari bawah seperti ini.
"Ya, nona?" jawab Anin setelah ia merapikan songket yang sudah dipasang melilit pinggul Kirana dengan baik.
"Berdirilah"
Dengan cepat, Anin memenuhi keinginan sang putri sehingga kini kening Anin sejajar dengan hidung mancung si putri yang menjulang tinggi "Karena hari ini aku masih dalam masa pemulihan, kurasa aku hanya ingin menikmati kegiatan kecil di istana. Bisakah kau menemaniku membaca atau melukis di perpustakaan istana?"
Dengan cepat, Anin menganguk mengiyakan "Tentu"
~~
Kirana melirik sebentar dari kanvas yang ada di hadapannya. Wanita cantik itu tersenyum sebentar ketika tak sengaja mencoret lengan Anin yang berada begitu dekat dengan kuas yang ia genggam.
Kirana baru tahu kalau Anin adalah seseorang yang kidal. Ketika ia melihat si gadis cantik bertubuh mungil itu mengambil kuas dan mulai menoret kanvas kosong, Kirana bahkan sampai terkejut ketika melihatnya.
"Melukis apa?" ujar Kirana setelah ia mengusap punggung lengan Anin yang kotor karena cat dari kuas yang ia gunakan.
Anin menunjuk kanvasnya "Kelnci" jawab si gadis bertubuh mungil seraya terkekeh di setiap katanya.
Dengan pelan, Kirana mendekat pada Anin hingga tubuh mereka merapat sekarang "Lukisanmu cukup manis" ujar Kirana ketika ia melihat bubuhan warna yang ciamik di atas kanvas milik Anin.
"Tidak sebagus milik nona" jawab Anin ketika ia melihat lukisan senja milik Kirana yang terlihat begitu cantik di kanvasnya.
"Karena aku sudah sering bergelut dengan kanvas dan kuas" elak Kirana "Aku bahkan tak tahu kau bisa melukis" imbuh Kirana masih dengan ekspresi takjub yang tepat.
Anin terkekeh kecil "Nona mungkin tidak tahu. Tapi, jika pulang dari istana, dayang Janita selalu saja membawa buku gambar serta pensil warna sehingga saya bisa menggambar apa saja yang saya mau ketika ibunda Janita tengah bertugas di istana"
Secara tiba-tiba saja, Kirana menempelkan kepalanya di bahu kecil milik Anin sehingga si gadis cantik bertubuh mungil yang sedari tadi fokus pada lukisanya mulai melirik pada si putri raja.
"Ada yang salah, nona?" ujar Anin dengan lembut sambil mengusap kecil pucuk kepala milik Kirana.
"Tidak. Tapi terimakasih sudah membiarkan Ibu Janita berangkat ke istana" ia bergumam dengan suara yang lembut "Dia merawatku dengan sangat baik hingga sekarang"
"Saya ikut senang mendengarnya. Ibu memang sangat piawai dalam mengurus nona hingga nona tumbuh sebaik ini"
"Kau juga sudah merawatku dengan baik" imbuh Kirana seraya mengangkat pandangan hingga iris mereka menyatu.
Dengan disertai senyum manis, Anin menjawil hidung mancung Kirana secara lembut "Sudah menjadi tugas dan kewajiban saya kan?" timpalnya ketika Kirana terkekeh dan mengangguk mengiyakan.
Kirana mengangkat kepala ketika ia mendengar pintu perpustakaan terbuka. Sosok cantik bertubuh mungil yang berjalan sedikit berjingkit dengan satu buah nampan berisikan buah-buahan terlihat memasuki ruangan.
Anala yang kini mengenakan kebaya berwarna putih dengan songket berwarna merah bata yang dibiarkan menggantung di sepertiga betis serta satu selendang berwarna kuning itu mendekat pada keduanya "Terlihat menyenangkan" ujar si cantik bertubuh mungil pada Kirana yang mengangguk seraya menunjukkan kanvasnya yang sudah penuh dengan coretan.
"Raka melukis ini?" ujar Anala dengan mata berbinar dengan nada penuh keterkejutan.
Kirana terkekeh "Raka sedang mencoba untuk bersantai belakangan ini. Jadi raka memutuskan untuk melukis bersama dayang Anin"
Dengan pernasaran, Anala mendekat pada kanvas yang diletakkan di depan si dayang bertubuh kecil "Dayang Anin juga bisa melukis?" ujar Anala dengan nada terkejut yang tepat.
Anin terkekeh kecil "Hanya sedikit. Saya tidak pernah benar-benar menekuni seni lukis seperti nona Kirana. Tapi setidaknya saya bisa menggambar sesuatu yang menggemaskan seperti ini" jemari Anin kini menunjuk secara sopan pada lukisan di kanvasnya yang hampir rampung.
"Wah, lukisannya menggemaskan"
Merasa tersanjung, Anin kemudian tersenyum setulus mungkin pada Anala yang bahkan melihat lukisannya dengan pandangan takjub "Apa dayang Anin juga mengikuti kelas menggambar seperti raka?"
Anin terkekeh "Tentu tidak, nona. Saya hanya belajar melukis bersama dengan dayang Janita"
Anala mengusap sisi kanvas milik Anin dengan lembut "Aku rasa, aku juga harus belajar melukis pada dayang Janita. Karena hasilya sudah sangat terpercaya. Buktinya? Raka dan dayang Anin bisa melukis secantik ini setelah diajari oleh dayang Janita"
"Bukannya nona sudah di ajarkan oleh guru di sekolah?" ujar Anin menanggapi putri ke dua kerajaan Padma.
Anala mengangguk mengiyakan "Tapi aku bahkan tidak bisa menggambar lingkaran sesempurna ini" ujarnya seraya menunjuk matahari buatan Anin yang disimpan gadis itu di tengah-tengah kanvas.
"Saya bisa mengajarkan nona jika nona tak keberatan" ujar Anin seraya mendekat pada Anala yang membelalak karena senang.
Kirana mengertkan kening ketika ia melihat Anin menyentuh punggung tangan kanan milik Anala menggunakan tangan kirinya.
Kenapa ia tak suka ketika melihat Anin menyentuh orang lain selain dirinya?
Apa ini karena ia jatuh cinta pada gadis cantik bertubuh mungil itu?
~{●}~
Riska Pramita Tobing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amarloka {FayeXYoko}
Historical Fiction"Hidup tanpamu adalah kehampaan yang tak ingin aku rasakan" -Kirana Nabastala Padma