XI

849 108 24
                                    

~{●}~

Kirana terduduk dengan tenang di atas lantai yang terbuat dari kayu. Ada aroma manis dari lilin yang dibakar di setiap ujung ruangan dan ada asap mengepul tipis dari secangkir teh yang disediakan Anindya di depannya.

"Maaf nona. Tapi di rumah saya tidak ada kursi" Anin sedikit menunduk di akhir kata ketika ia menyodorkan beberapa kudapan di atas nampan berukuran sedang.

Kirana tersenyum sedikit seraya mengangkat cangkir kecil berisikan teh yang menguarkan aroma melati ke depan hidungnya. Ia menghisap aroma itu sedikit sebelum meniup genangan air berwarna kecoklatan di dalam cangkirnya.

Saat Kirana menyesap isi dari cangkir yang diberikan Anindya kepada dirinya, wanita cantik itu tersenyum. Meski memang ia kurang menyukai teh melati seperti ini, tapi Kirana begitu bahagia karena Anin yang menyiapkan ini untuknya dan rasa-rasanya, ia rela menenggak semua isi cangkir meskipun lidahnya tak terbiasa.

Dalam diam, Kirana melirik ke seluruh ruangan yang dinding-dingingnya memancarkan sinar lembut mentari dari luar. Tidak ada hiasan di dinding, hanya ada lentera yang tak menyala, sebuah lukisan kecil yang usang, serta satu buah jam dinding berukuran sedang yang disimpan di tengah-tengah.

Rumah yang sangat-amat sederhana dengan ukuran yang bahkan mungkin setara dengan kamar mandi milik Kirana. Tapi, entah mengapa Kirana merasa nyaman karenanya.

Mungkin karena keberadaan Anindya?

Entahlah.

Kirana masih bingung dengan perasaannya.

"Apa nona sengaja berkunjung kemari?" ujar Anin dengan nada lembut pada Kirana yang masih menyesap teh di dalam cangkirnya secara perlahan.

Wanita cantik itu mengangguk sebelum kemudian menyimpan cangkirnya di tempat semula "Aku berkunjung kemari untuk menjemputmu pulang ke istana" imbuh Kirana langsung pada inti pembicaraan.

Anin mengulum senyumnya sesaat "Saya berniat tinggal di rumah sampai beberapa minggu ke depan, nona"

"Tidak. Aku tidak mengizinkan" bantah si putri raja.

Dengan geli, Anin mendekat "Kenapa? Biasanya nona tak pernah keberatan jika saya meninggalkan istana meski untuk berbulan-bulan lamanya ketika musim panen berlangsung?"

"Tak ada dayang yang melayaniku sebaik dirimu, Anin" Kirana mendesah kecil "Aku tak ingin orang lain. Aku hanya ingin kau melakukan segalanya untukku seperti biasa"

Pipi Anindya memerah malu saat ia mendengar ucapan bernada sungguh-sungguh itu dari Kirana, ia mengulum senyumnya sebentar "Tapi saya harus menjaga abah untuk beberapa hari sebelum emak pulang, nona"

"Aku bisa mengatasinya. Salah satu pegawaiku bisa aku kirim kemari untuk menjaga dia. Kau harus menjagaku sekarang. Tak ada alasan lain" ujar Kirana dengan nada diktator yang tepat.

Anin menggeleng "Kenapa nona sangat bersikeras untuk saya kembali ke istana?"

"Karena aku ingin dirimu, Anin"

"....."

"....."

"Sial!" Kirana mengumpat kecil, tapi Anin masih bisa mendengarnya dengan jelas karena jarak mereka cukup dekat antara satu sama lain. "Apapun itu. Aku tak ingin berjauhan denganmu, Anin. Kurasa aku sudah gila. Tapi tak apa. Aku gila karenamu dan aku menyukainya. Jadi kumohon, kembalilah, aku sangat merindukanmu"

Kirana bergerak lembut ketika ia meraih jemari Anindya yang diletakkan di atas lututnya yang tertutup kain songket dengan rapi.

Saat kulit mereka bersatu, Kirana berani bersumpah kalau perasaan sakit dan khawatir yang sempat ia rasakan ketika ia tak bersama dengan Anin hilang entah kemana.

Amarloka {FayeXYoko}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang