X

703 101 11
                                    

~{●}~

Kirana terduduk di antara kakinya yang ia lipat secara sopan di depan dipan berukuran besar milik ibundanya.

Wanita cantik itu menunduk sambil menopang tangan di depan perut ketika ia menghampiri nyai ratu Padma dengan perasaan segan.

Madira Nabastala Padma adalah sosok wanita yang cukup jarang berbasa-basi dengannya.

Madira lebih sering menjelajah ke pelosok negara untuk mengeratkan silaturahmi antar pemilik kerajaan. Wanita itu jarang ada di istana sehingga Kirana tak merasa begitu dekat dengannya dan inilah alasan mengapa Kirana merasa begitu segan ketika ingin berbasa-basi meski itu dengan ibunya sendiri.

"Tumben sekali" ujar Madira pada putrinya yang masih menunduk di depan dipan miliknya.

Kirana tersenyum sebentar "Saya memiliki beberapa pertanyaan mendesak untuk nyai ratu"

"Tanyakanlah"

Dengan pelan, Kirana menarik napas lantas menengadah guna menatap pada Madira yang terduduk tegap seperti biasanya.

"Saya ingin menemui dayang Anin di kampung halamannya. Apa nyai ratu bisa memberitahu saya alamat rumahnya?"

Madira mengerutkan kening sebentar "Apa terjadi sesuatu?"

Kirana mengendus kecil. Pertanyaan ini lagi. Ujarnya di dalam kepala.

Dengan gugup, Kirana menggigit bibir bawahnya sesaat "Saya terlalu kasar padanya tempo hari sehingga ia memutuskan untuk pulang ke kediamannya. Saya merasa bersalah, nyai ratu" pada akhirnya, ia lebih memilih untuk berbohong pada ibundanya daripada harus terus-terusan menghindar dari pertanyaan yang sama.

"Kenapa kau sangat mengkhawatirkan putri Janita? Masih banyak dayang lain yang lebih cekatan dibanding Anin"

Kirana menggeleng "Hanya Anin yang saya mau, nyai ratu. Saya sudah bersama dengannya semenjak beberapa tahun kebelakang. Kita sudah sangat dekat sehingga saya sudah mulai mempercayai dirinya untuk menjadi dayang pribadi saya selamanya. Seperti nyai ratu dengan dayang Janita. Saya ingin seperti itu dengan Anindya"

Dengan senyum keibuan, Madira menyentuh pucuk kepala milik putri sulungnya lantas mengusap itu dengan lembut dan pelan "Rumahnya di dekat gunung kulon, ada kampung kecil bernama kampung naga. Di sanalah kediamannya"

Meski tidak percaya dan sedikit malu, Kirana akhirnya tersenyum seraya mengangguk bahagia "Terimakasih nyai ratu. Saya pamit untuk mengunjungi Anin sekarang" dengan pelan, Kirana berjongkok di antara kedua kakinya yang panjang sebelum kemudian melangkah dalam posisi serupa guna menjauh dari ratu Padma yang masih terdiam di atas kasurnya.

"Berdirilah. Kau tak harus berjalan seperti itu di hadapanku, Kirana"

Di antara langkahnya yang kecil, Kirana berhenti sekejap sebelum kemudian menurunkan lututnya yang sedari tadi ia lipat --karena berjalan sambil jongkok, dan melirik pada Madira yang tersenyum kecil di atas kasur "Kau putriku" imbuh wanita cantik itu kemudian, dengan nada  keibuan yang bahkan sudah sangat dihapal oleh Kirana sendiri.

Meski merasa segan, Kirana kemudian berdiri dan menegapkan punggung serta mengangkat wajahnya sambil menaruh telapak tangan di depan perut "Saya pamit, nyai"

"Hati-hati"


~~


Suara mesin mobil yang meraung ketika berhenti di satu-satunya pom bensin yang ada di kota membuat Kirana mengurut kepalanya.

Ada beberapa kendaraan yang mengantri termasuk kendaraan yang tengah dikenakan oleh Kirana dan wanita cantik itu merasa kesal karena ia harus menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit lamanya untuk menunggu pekerja pom bensin memompa mesin dengan tangan guna mengisi bahan bakar kendaraan para pejabat dan konglomerat yang sedang mengantri.

Amarloka {FayeXYoko}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang