~{●}~
Di sepanjang perjalanan, Anin bisa melihat raut wajah Kirana yang tampak kebingunan. Wanita cantik itu kehilangan sosok teguhnya yang selalu terlihat sombong dan angkuh. Ia terlihat seperti seorang perempuan yang kehilangan harapan. Dan Anin mulai merasa khawatir sekarang.
Meski takut, Anin akhirnya memberanikan diri untuk menggeser tempat dirinya duduk lantas mengusap jemari Kirana yang disimpan di atas perut wanita cantik itu yang rata dan sedikit keras.
"Apa nona baik-baik saja?"
Anin bisa melihat Kirana berusaha menyungingkan senyuman manis di bibirnya yang tipis dan kemerahan hingga kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lekungan cantik di pipinya yang sedikit berisi namun tetap terlihat tirus di satu waktu yang sama.
"Tak usah khawatir. Aku bisa menanganinya" dengan gerakan yang terkesan cepat, Kirana menutup gorden agar supir tak dapat melihat dirinya ketika ia mendekat dan mendorong pundak Anin hingga gadis itu hampir ditindih oleh Kirana.
"Percayalah, aku tak akan menikah dengan lelaki seperti Galang" ujar Kirana seraya mempersempit jarak di antara keduanya.
Tapi, alih-laih menerima perlakuan Kirana seperti sebagaimana biasanya, Anin menoleh hingga Kirana tak jadi menempelkan bibir mereka berdua "Pada akhirnya, kita berdua tetap akan menikah dengan laki-laki. Entah siapa. Tapi, itu sudah pasti. Saya sudah mulai khawatir dengan kedekatan kita yang tak wajar, nona. Saya rasa, kita harus menghentikannya sebelum perasaan kita semakin mendalam"
Kirana menggeleng kecil seolah menolak perkataan Anin terhadap dirinya "Ketahuilah. Perasaanku padamu tak akan pernah berubah, Anin. Aku mencintaimu dan aku yakin kau juga merasakan hal yang sama denganku"
Tanpa memperdulikan Anin yang seolah akan memprotes lagi, Kirana segera menutup bibir Anin menggunakan bibirnya.
Mencium gadis cantik itu dengan pelan namun dalam, seolah memperdulikan bahwa Kirana hanya mencintai dirinya dan tak ada siapapun lagi yang dapat ia cintai.
Anin yang terpejam menikmati lembut, hangat, dan basahnya bibir Kirana sedikit mengulurkan tangan untuk menyentuh pundak Kirana yang lebar dan tertutup oleh kain kebaya yang ia kenakan.
Memang benar.
Rasa cintanya terhadap Kirana begitu besar hingga ia dapat merasakan itu keluar dari dalam dirinya lewat tindakannya.
Begitu juga dengan Kirana yang membuktikan kejanggalan di antara mereka berdua merupakan kewajaran belaka sehingga membuat Anin justru jatuh semakin dalam terhadap perasaan mereka berdua yang masih dibalut semu dan ragu.
Meski begitu, Anin memutuskan untuk melilitkan lengannya pada leher jenjang Kirana dan membalas ciuman Kirana dalam-dalam hingga dapat merasakan jantungnya berdebar cepat hingga hampir meledak.
Anin tak peduli. Biarkan saja dunia berkata apa. Anin sudah tergila-gla pada Kirana dan Anin yakin bahwa wanita cantik yang adalah putri sulung dari kerajaan Padma itu sama-sama merasakan hal serupa seperti dirinya.
~~
Anin sedikit menunduk ketika ia disambut oleh Janita di depan kamarnya. Wanita cantik yang adalah ibundanya itu tak biasanya berada di depan kamar para dayang. Dan jika saja ia berkunjung, wanita cantik itu pasti akan mengumunkan hal penting.
"Tolong panggilkan dayang-dayang putri raja yang lain" ujar Janita pada Anin yang langsung mengangguk mengiyakan sebelum kemudian ia beranjak pergi dari hadapan ibunya guna mencari dayang-dayang yang lain.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit bagi Anin mengumpulkan kesepuluh dayang khusus putri raja untuk kembali berkumpul di tempat dimana Janita menunggu.
Wanita cantik itu menyimpan tangannya di depan perut membentuk sebuah segitiga sempurna dengan jari jemari panjangnya yang sedikit bersentuhan hingga ia tampak seperti manekin dengan tubuhnya yang berdiri begitu tegap.
"Hari ini, kita aka mempersiapkan istana untuk menyambut keluarga raja Atmaja yang akan datang esok hari" Janita berucap dengan lantang dan tegas.
Setiap kata yang diucapkan olehnya terdengar jelas meski ia tak berbicara dengan nada suara yang keras.
"Kita akan menjamu keluarga Atmaja yang berniat melamar putri sulung keluarga Padma"
T.. tunggu.
M.. melamar?
"Mari kita persiapkan yang terbaik!"
Ketika seluruh kesembilan dayang yang lain beranjak mengikuti arahan Janita, Anin masih terdiam mematung. Menatap pada perempuan cantik yang adalah ibundanya dengan dalam-dalam seolah tengah mencari kebohongan yang mungkin saja tengah diciptakan dengan sengaja oleh Janita.
Tapi, tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa ibundanya tengah membual dan secara langsung tubuhnya terasa lemas entah mengapa.
Anin menutup matanya rapat-rapat selagi mencoba untuk mengatur napasnya yang seketika hilang.
Di antara napasnya yang semakin menipis, Anin mulai merasakan kepalanya berat dan pandangannya yang buram.
Anin.. tak kuasa.. Ia tak mungkin kehilangan Kirana sesaat setelah ia baru saja mendapatkan janji wanita cantik itu untuk terus bersama selamanya.
Anin rasa.. ini semua hanyalah mimpi..
Tapi.. mengapa rasanya sakit sekali??
~~
Anin tak bisa konsentrasi ketika ia melihat sudah ada beberapa piring di atas meja makan yang disusun secantik mungkin oleh para dayang-dayang termasuk dirinya yang diberi tugas untuk mengelap peralatan makanan.
Gadis cantik itu menatap lurus-lurus pada tataan meja yang sepertinya akan digunakan oleh tujuh orang.
Ada dua kursi yang terpisah, disimpan dipaling ujung meja makan. Anin sudah bisa menebak kalau dua kursi itu diperuntukkan pada Madira dan pada baginda raja Atmaja.
Di depannya, sudah disiapkan gelas tinggi yang bersih serta satu buah piring besar dan peralatan-peralatan makan.
Selain itu, ada juga hiasan serbet yang disusun menyerupai bunga. Di tiap-tiap sisi piring, dipersiapkan sebuah serbet khusus yang tak ditata di tengah-tengah dengan ukiran batik membentuk sebuah awan.
Sementara Anin menatap hiasan meja makan yang sudah rapi, gadis itu meringis ketika tak sengaja menjatuhkan pisau hingga itu melukai kakinya.
Ada darah segar yang keluar dari punggung kakinya yang sedikit tergores hingga gadis itu mendesis sekarang.
Ketika Anin hampir menutup punggung kakinya menggunakan tangan, tiba-tiba saja satu serbet menutup darahnya "Tak apa?"
Anin terdiam saat ia mendengar suara lembut Kirana yang tiba-tiba berada di depanya.
Wanita cantik itu menjatuhkan lutut hingga ke atas ubin tanpa mempedulikan dayang-dayang lain yang menatap pada mereka berdua "Tolong panggilkan dokter istana. Anin terluka. Kenapa kalian semua diam saja dan tidak membantunya?"
Perkataan Kirana yang terdengar sarkastik dan sedikit kasar langsung mebuat dayang-dayang berlari menuju ruangan dokter kerajaan.
Kirana meringis saat ia melihat darah di kaki Anin tidak berhenti "Perih?"
Anin menyusul Kirana yang terduduk di depan kakinya, gadis itu menyingkirkan tangan Kirana yang menahan darah menggunakan serbet yang sudah disiapkan khusus untuk nyai ratu Padma "Saya tak apa nona. Nona tak perlu khawatir" gadis itu tersenyum sesaat.
"Jangan berbohong. Aku tahu kau kesakitan. Apa aku harus menciumnya supaya kau tak merasakan lukamu?"
"N..nona?"
Anin tersentak saat ia mendengar suara dayang lain dari dekat. Gadis cantik itu melirik pada seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka berdua untuk menemukan dayang Ami yang datang lebih dulu dibanding dokter kerajaan dan gadis cantik itu sudah mendengar semuanya.
~{●}~
Riska Pramita Tobing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amarloka {FayeXYoko}
Historical Fiction"Hidup tanpamu adalah kehampaan yang tak ingin aku rasakan" -Kirana Nabastala Padma