XVIII

737 104 12
                                    

~{●}~

Anin menatap tidak percaya pada api kecil yang mulai muncul dari tumpukan ampas kelapa yang kemudian ditindih oleh serbuk dari kayu-kayu yang berukuran kecil oleh Kirana.

Wanita cantik itu tampak menyunggingkan senyum bangga saat api yang ada di tungku sudah mulai membesar karena menyambat kayu-kayu kecil yang kering hingga kemudian mulai membakar kayu berukuran sedang secara perlahan.

Meski wajah cantik milik Kirana terkotori oleh debu yang berterbangan hingga hidungnya berubah menjadi warna kehitaman, tapi wanita cantik itu kini tengah berbangga hati karena ia akhirnya berhasil menyalakan tungku meski ia memerlukan begitu banyak waktu.

"Kau lihat itu? Aku berhasil kan?" ujar Kirana dengan senyum menyungging yang tepat. "Apa hadiahnya?" lanjut si wanita cantik seraya menyerahkan telapak tangannya yang kosong dan sedikit kotor pada Anin yang hanya mampu terkekeh.

"Seharusnya hari ini adipati membawakannya untukku. Jadi, kupikir hadiahnya malam ini" gumam Anin pada Kirana yang mengerutkan kening karena penasaran.

Wanita cantik itu kemudian memiringkan kepala ke satu sisi "Hadiahnya dibawa oleh adipati?" ujarnya mengulang perkataan si dayang cantik bertubuh mungil dengan nada memastikan.

Anin mengangguk ketika ia melangkah mendekati tungku yang apinya sudah menyambar pada penggorengan sebelum kemudian menuangkan sedikit minyak goreng di atasnya hingga bunyi gemericik terdengar begitu nyaring dari atas penggorengan.

Dengan perlahan, Anin memasukkan beberapa bumbu yang akan ia tumis di atas api yang membara sebelum kemudian mengoceknya hingga harum mulai memenuhi indra penciuman Kirana.

Wanita cantik itu mendekat untuk mengamati Anin yang tampak lincah ketika tengah memasak. Gadis itu seolah sudah terlatih dengan segala hal yang ia lakukan bahkan untuk memindahkan bumbu yang sudah digoreng kering dan memindahkan penggorengan di satu waktu yang sama pun ia tampak tak kesusahan.

Ketika Kirana menyimpan panci berukuran sedang yang sudah ia isi air untuk memasak sayur sop dengan potongan daging yang sudah dicincang sempurna oleh Anin, wanita cantik itu bahkan sedikit meringis-ringis karena ia takut tangannya terbakar oleh api besar yang keluar dari tungku.

Saat melihat air sudah mulai mendidih, Kirana mulai memasukkan satu persatu dari sayuran yang sudah ia iris cantik lantas memasukkan pula daging ayamnya.

"Tinggal menunggu sup-nya matang kan?" ujar Kirana serelah ia menutup panci agar masakannya cepat selesai.

Anin mengangguk seraya menambahkan kayu pada tungku agar api tetap menyala dengan suhu panas yang sama "Sambil menunggu, apa nona ingin memasak sesuatu yang lain?"

Kirana memonyongkan bibirnya sesaat "Apa kau memiliki ide lain?"

Ikut memonyongkan bibir, Anin kemudian mengerutkan kening "Sepertinya tidak ada. Kecuali kalau nona ingin menambah menu dengan goreng tempe atau ikan asin"

Kirana menggeleng kecil "Kurasa sup saja sudah cukup. Kalau begitu, kita tinggal menunggu matang saja kan?"

Anin mengangguk menanggapi sebelum kemudian membereskan peralatan yang sudah mereka gunakan. "Kalau begitu, kita tinggal menunggu hasilnya saja" Anin melirik sebentar dari piring yang tengah ia cuci "Apa nona memiliki kegiatan lain?"

Kirana mendekat dan berdiri di sebelah Anin yang tangannya tengah sibuk mencuci piring "Setelah memasak, apa yang biasanya kau lakukan?" ujar wanita cantik itu kemudian.

"Saya akan menemani nona seharian" jawab Anin singkat dan jelas.

Kirana menggedigkan bahu "Hari ini aku tak memiliki kegiatan di luar istana. Apa sekiranya yang harus aku lakukan sekarang?"

"Bagaimana kalau mengajari nona Anala dan nona Indira untuk melukis? Nona Indira kemarin sempat meminta kepada saya untuk mengajarkan beliau melukis. Tapi, saya merasa tidak percaya diri karena nona jauh lebih baik daripada saya"

Kirana menggeleng cepat ketika mendengar usul dari Anin yang membuat ulu hatinya terasa sakit "Lebih baik kau menemaniku berjalan-jalan ke pasar. Sepertinya hari ini aku ingin membeli beberapa songket dan selendang baru"

"Kalau begitu, mari nikmati pasar bersama"



~~




Suasana hangat dan ramai menyambut Kirana ketika wanita cantik itu baru turun dari atas delman yang ia naiki.

Suara berisik dari setiap sudut tempat yang dapat ia dengar membuat wanita cantik itu tersenyum sekejap.

Oh, betapa rindunya Kirana pada situasi seperti ini.

Sudah cukup lama sejak terakhir kali Kirana menginjakkan kaki di sini.

Di pasar tradisional yang ramai dan berisik.

Wanita cantik itu berjalan dengan perlahan, menyusuri jalan setapak yang disisakan oleh pemilik lahan-lahan dagang untuk para pembeli.

Ada banyak sekali yang di jual di pasar tradisional ini.

Dari mulai makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, bahkan sampai mainan untuk anak-anak.

Tak jauh dari Kirana, ada Anin yang dengan setia mengekor di belakangnya.

Gadis cantik itu tampak manis dengan songket berwarna cokelat muda yang dibiarkan menggantung di atas betis dan di ikat di pinggul tanpa menggunakan selendang serta kebaya berwarna hijau muda hingga kulitnya yang putih tampak begitu cerah sekarang.

Beda halnya dengan Kirana yang memilih untuk terlihat mencolok dengan kebaya serta songket berwarna merah menyala hingga beberapa orang melirik pada dirinya.

"Nona Padma berkunjung ke pasar! Nona Padma berkunjung ke pasar!" ujar seorang lelaki berbadan tambun yang usianya mungkin sudah sekitar lima puluh tahunan.

Lelaki itu menundukkan tubuh untuk memberi sapaan hormat pada Kirana yang tersenyum.

Beberapa orang melirik padanya lantas keluar dari tempat dagang hanya untuk menyapa secara sopan pada Kirana yang mengangguk sedikit guna menanggapi semuanya secara sekaligus.

"Apa nona membutuhkan sesuatu?" salah satu perempuan bertubuh tinggi langsing bergerak ke samping Kirana, hampir menyentuh bagian tubuhnya sebelum kemudian di tahan oleh Anin "Maaf, tapi nona Kirana tidak begitu suka jika ada orang asing menyentuhnya" ujar gadis itu dengan gamblang hingga perempuan cantik berusia empat puluh tahunan itu menunduk merasa bersalah.

"Saya hanya membutuhkan beberapa pakaian. Bisa anda menunjukkan jalannya?" ujar Kirana pada perempuan bertubuh tinggi itu yang masih saja menunduk karena Anin menghalangi interaksinya dengan si putri raja.

Perempuan itu mengangguk sedikit "Ikuti saya, nona" ia kemudian memimpin jalan dengan langkah pelan sehingga Kirana mengikutinya dengan langkah jenjang yang teratur.

Saat Kirana melihat tumpukan pakaian yang ditata serapi mungkin oleh penjual perempuan berwajah asia yang mungkin usianya baru saja mencapai angka tiga puluhan, Kirana mengangguk pada wanita yang tadi menunjukkan jalan "Terimakasih" ujarnya pada wanita yang menunjukkan jalan.

Anin menyerahkan satu koin emas pada wanita cantik yang menunjukkan jalan. "Pemberian nona Kirana" ujar gadis itu seolah sudah paham bahwa Kirana akan melakukan hal yang sama bahkan meski tanpa diperintahkan oleh si putri raja.

"Anin?" ujar Kiana ketika wanita cantik itu menunjuk satu songket.

"Ya nona?"

"Aku ingin melihatmu mengenakan songket itu"

Anin memiringkan kepala ke satu sisi "Saya? Mengapa?"

Sedikit berjingkit, Kirana kemudian mengambil selembar songket berwarna hitam dengan corak emas yang tampak cantik lantas menyerahkannya pada Anin "Kupikir kau akan terlihat cantik dalam songket ini"

Anin tersernyum sekejap lantas menempelkan secerik kain tebal itu di luar songket yang ia kenakan.

Gadis cantik itu melilitkannya hingga pinggulnya tercetak jelas dan panjangnya ia atur agar tidak menyapu tanah "Apa saya terlihat cantik?"

"Selalu, Anin. Selalu. Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku begitu jatuh hati padamu"

~{●}~

Riska Pramita Tobing.

Amarloka {FayeXYoko}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang