Hiashi sakit

469 36 2
                                    

"Tok tok tok" boruto mengetuk pintu rumahnya. Merasa tidak ada yang membuka ia kembali mengetuknya. Rasa cemas mulai menggerogoti hatinya karena tidak ada yang menjawab ketukannya. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras, namun hasilnya tetap sama.

Ia tidak bisa masuk karena dirinya tidak membawa kunci cadangan. "Kemana ibu dan Hima pergi" pikirnya. Kalo ayahnya, tidak ada di rumah itu sudah biasa baginya.

"Sraaatt!". Boruto memejamkan matanya, fokusnya tertuju pada aliran chakra di dalam rumah. Ia ingin memastikan apakah ada orang di dalam.

"Kosong". Gumamnya

Tidak ada satupun chakra yang terdeteksi. "Kemana mereka semua pergi?" tanya Boruto pada diri sendiri.

Ia juga bingung sekarang mau tidur dimana. Walaupun sudah tidur di ruangan Sarada tadi tapi entah kenapa ia rasanya ingin merebahkan tubuhnya.

Ingatannya melayang pada kebiasaan jika ibunya tidak dirumah pasti berada di rumah kakeknya.

"Pasti mereka menginap di rumah kakek". Pikirnya. "Aku kesana saja" ia Langung melompat ke atas bangunan rumah. Entah kenapa ia tidak menggunakan hiraishinnya.

Di depan perumahan kompleks klan Hyuga. Boruto terdiam sejenak, ragu untuk antara masuk atau tidak. Setelah ia remaja ini, dirinya tak pernah lagi datang kerumah kakeknya.

Setelah cukup lama berdiam diri dan berpikir. Suasana dingin menusuk tulangnya, pertanda musim dingin akan segera tiba. Boruto menggigil, rasa kedinginan bercampur dengan kegelisahan. Ia memutuskan untuk masuk saja ke dalam tuh dia juga cucu dari kakeknya ketua clan Hyuga.

"Aku cucu kakek, tidak ada salahnya masuk," tekadnya bulat. Ia melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam.

Saat sudah sampai di sebuah rumah paling besar dari yang lainnya. Keringat dingin mengalir di dahinya. Ia teringat waktu saat usia anak-anak dulu boruto sangat tidak ingin sekali datang ke kediaman ini. Ditambah lagi kakeknya yang pasti akan selalu memeluknya setiap kali datang.

Ia menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering.

Boruto menggerakkan tangan kanannya dengan gugup, mengetuk pintu besar berwarna coklat tua di depannya. Bunyi ketukannya terdengar, cukup nyaring digendang telinga boruto. Jantungnya berdebar kencang, rasa gugup dan penasaran bercampur aduk dalam dirinya.

Sedangkan di dalam rumah, satu keluarga besar sedang duduk bersedih. Hinata, dengan wajah sendu, duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ayahnya yang terbaring lemah. wajahnya juga tampak pucat pasi. Ia juga bersebelahan dengan adiknya Hanabi yang juga menggenggam tangan ayahnya. Di sebelahnya, Himawari berdiri menggendong bayi mungil berusia 1 tahun, bayi itu merengek pelan dalam gendongannya.

Orang yang berada di dalam rumah itu terkejut mendengar bunyi ketukan pintu dari luar. Walaupun tidak terlalu kedengaran mereka masih bisa mendengarnya samar samar bunyinya.

"Siapa yang bertamu malam begini?" tanya Hanabi heran, dahinya berkerut.

"Sudah jam 10 lewat," Konohamaru menambahkan, matanya terpaku pada jam dinding yang menunjukkan pukul 10.30 malam. Raut wajahnya tampak bingung.

"Uhukk uhukk".

"A-Ayah..." Hinata meremas tangan ayahnya erat-erat, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Ayahnya sudah sakit seminggu ini dan juga tidak mau makan sama sekali.

"Tenanglah, Hinata," Naruto, yang duduk di kursi dekat jendela, namun tak jauh dari Hinata ia mengelus pundak istrinya dengan penuh kasih sayang.

"Ayah akan baik baik saja. Ucap Naruto berusaha menenangkannya.

Borusara: Melangkah Ke Depan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang