Chapter 31

9.9K 813 76
                                    

Rembulan tidak muncul. Menyisakan awan gelap di langit yang sesekali memaparkan kilatan amarahnya. Suara gemuruh dari angin yang berhembus kencang disertai rintik air yang terbawa entah dari mana.

Pria itu berada di balkon kamar. Menatapi rimbunnya pepohonan hutan nan gelap. Dada bidangnya yang dibiarkan terbuka basah oleh hujan tepat mengenai bekas luka jahitan yang ia tutupi dengan sebuah tato.

Cerutu di sela jemarinya perlahan padam, lantas ia jatuhkan ke bawah begitu saja. Membuangnya sebab tak berguna lagi.

Pria ini mengeker senapannya ke dalam hutan. Menembakan satu peluru panas yang tepa mengenai seekor burung gagak yang sedang bertengger di ranting pohon. Jatuh dan tewas seketika.

Kawanan burung hitam yang tidak terima kelompok mereka dibunuh lantas terbang untuk menyuarakan ketidaksukaannya. Terbang berputar-putar pada atas pohon yang tinggi sembari terus berteriak memekik.

Kembali ia tembaki kawanan burung gagak hitam yang sedang berputar-putar berisik. Terus ia tembak satu persatu hingga burung-burung itu habis tak bersisa lagi.

Bangkai-bangkai memenuhi tanah hutan yang basah. Berhambur dengan warna merah darah dari si pemilik bulu hitam menyeramkan.

Isaac menegak alkhohol langsung dari dalam botolnya. Ditenggaknya hingga tandas. Senapannya ia simpan menyender pada meja, duduk pria itu di kursi dengan dada bergemuruh naik turun.

"Mereka semua telah mati," katanya dengan suara yang berat.

Lengan besarnya meraup wajah yang basah oleh percikan air hujan. Menyugar rambut legamnya ke belakang namun beberapa tetap jatuh ke depan.

Beberapa bulan terakhir. Pria ini hanya menghabiskan malam untuk terus membantai orang yang berkhianat padanya atau burung di dalam hutan yang mungkin sekarang telah habis populasinya.

Ia mengurut pangkal hidungnya pening. Alkohol mulai menguasainya hingga membuat matanya memanas merah. Panas hingga mengenang air di dalamnya.

Tubuh tegapnya segera beranjak meninggalkan balkon. Melangkah lebar pergi ke dalam kamar pun ia berdiri di depan sebuah foto besar seorang wanita yang sengaja ia pasang tepat di dinding depan ranjangnya.

Tepat di atas meja, pria itu menyimpan beberapa tangkai mawar hitam yang selalu diganti pelayan setiap harinya. Membiarkan lilin terus hidup sebab sang wanita tidak pernah menyukai kegelapan.

"Buenas noches señora."
(Selamat malam, Senora)

Mata tajamnya terus menatap wajah cantik tanpa ekspresi di dalam foto besar tersebut. Ia pandangi seraya wajahnya sedikit menunduk untuk menghirup aroma segar dari setangkai mawar hitam dalam genggamannya.

"Sudah lama sekali kau bersembunyi dariku."

Sang senor, sudah enam bulan berlalu kegagalan menghantuinya. Enam bulan dilanda kegelisahan sebab tak bisa ia jumpai kekasihnya. Menyebarkan seluruh pasang mata pada setiap sudut eropa, namun tetap tak ia temukan keberadaanya.

Entah di antah berantah mana wanita itu bersembunyi. Entah kekuatan seperti apa yang melindunginya sehingga Isaac tidak mampu menemukan setitik jejaknya sedikitpun. Gagal. Tak pernah Isaac jumpai kegagalan seperti ini diseumur hidupnya.

"Bersembunyilah, Nora. Sampai aku bisa menemukanmu, kau akan kembali menjadi milikku."

*****

Delapan bulan berlalu, dan Isaac masih berada di dalam kesengsaraanya mencari keberadaan sang wanita. Masih tidak ia temukan meski setelah mengerahkan semua kekuatan.

Tubuh tegapnya menunduk lemah kini di hadapan potret istri cantiknya di dalam kamar. Menunduk dalam, bertanya-tanya di mana keberadaan dirinya.

Wajahnya sedikit menunduk namun tatapannya tetap menyalang tinggi. Memerah pada lingkarnya pun mengenang air mata.

La Señora Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang