31 || Harus Kembali

127 20 5
                                    

Ruangan itu terasa kosong. Dokter Salman berdiri di samping ranjang Raj, matanya terpaku pada layar monitor yang menunjukkan garis datar, sebuah tanda bahwa jantung Raj telah berhenti berdetak. Wajahnya kencang, penuh ketegangan. Waktu terasa sangat terbatas. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang hilang.

Di seberang sana, Meera tergeletak tak sadarkan diri, tubuhnya lemas setelah kehilangan kendali atas emosinya. Tangisan yang sebelumnya mengguncang ruangan itu kini telah berubah menjadi keheningan, dan hanya ada satu suara yang memecah keheningan yaitu detak mesin yang tak ada.

Namun bagi Dokter Salman, keheningan itu seperti suara yang paling menyakitkan. Ia tahu, lebih dari siapa pun, bahwa ini adalah titik kritis dalam karier medisnya, dan dalam hidup Raj. Bukan hanya sebagai seorang dokter, tapi juga sebagai seorang manusia, ia tahu bahwa keputusannya dalam beberapa menit mendatang bisa mengubah segalanya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia memeriksa ulang rekam medis Raj. Infark miokardial, gagal jantung kongestif, dissection, dan kini, asystole. Raj sudah mengalami banyak kerusakan jantung, dan bahkan transplantasi bisa menjadi sia-sia jika waktunya terlambat. Harapan sangat tipis, hampir tak ada.

Namun, ada satu hal yang mendorongnya untuk tidak menyerah pada keyakinannya bahwa masih ada sedikit kesempatan untuk menyelamatkan Raj. Ia tahu, jika transplantasi dilakukan dengan tepat waktu, meskipun peluang keberhasilannya sangat kecil, masih ada harapan yang bisa diperjuangkan. Keajaiban. Itu yang harus ia perjuangkan.

"Dokter, kami sudah mencoba segala cara," kata seorang perawat, suara tegang, namun penuh keputusasaan. "

Tapi garisnya tidak bergerak, tidak ada aktivitas jantung. Anda harus mempertimbangkan untuk menghentikan upaya." Namun, Dokter Salman mengangkat tangan, memberi isyarat untuk melanjutkan.

"Tidak, kita tidak berhenti. Lakukan CPR lagi, sekali lagi. Kita harus coba satu kali lagi. Dia belum menandatangani pernyataan Do not Resuscitate itu, kita masih bisa bejuang." Suaranya penuh ketegasan, meskipun dalam hatinya ada perasaan ragu yang perlahan merayapi. Tapi ia tidak boleh ragu. Raj masih punya kesempatan.

"Jangan menyerah sekarang, Raj. Kami akan melakukannya. Kami akan membawamu kembali," bisiknya dalam hati, meski ia tahu Raj tak bisa mendengarnya.

Tangan Dokter Salman bergerak cepat, menempatkan telapak tangan di tengah dada Raj. Ia menarik napas panjang, memastikan setiap langkah yang akan diambilnya sudah dipersiapkan dengan sempurna. Dengan gerakan yang penuh kekuatan dan ketelitian, ia mulai memberikan kompresi dada, setiap tekanan dilakukan dengan ritme yang terukur, dan kekuatan yang cukup untuk mendorong darah ke otak dan organ vital lainnya.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, tiga. Lanjutkan dengan Ambubag, sekarang! Look, listen, and feel. Perhatikan EKG itu juga!"

Monitor yang sebelumnya menunjukkan garis datar itu kembali menunjukkan tanda-tanda kehidupan meskipun sangat lemah. Sebuah detak. Dokter Salman menatap monitor dengan mata penuh harapan. Jantungnya... masih berfungsi. Meski sangat lemah, detak jantung itu adalah sesuatu yang sangat penting. Raj masih ada. "Lanjutkan CPR kembali," perintahnya lagi, tanpa ada rasa lelah sedikit pun. Selama detak itu ada, harapan pun ada.

Dokter Salman menatap ke kanan kiri, melihat situasi ruangan yang begitu mencekam. Ia harus berfikir keras, ia harus tahu apa yang harus dilakukan untuk pasiennya. CPR tidak bisa dilakukan terlalu lama, harus diingat sebagai tenaga medis harus melakukan aman diri juga. Ditengah kefrustasiannya, Dokter Salman menatap seseorang yang mendobrak pintu ruangan, harap-harap, Dokter Salman berharap itu adalah kabar yang menjadi harapan. "Dokter, kami menerima kabar dari bank organ. Bahwa donor jantung yang kompatibel itu akan segera datang," kata salah satu perawat dengan suara gemetar, meski ada sedikit sinar harapan di baliknya.

About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang