¦9¦

107 14 0
                                    

PLAK!!

Baru saja Gentar masuk kedalam rumah mewahnya, ia langsung mendapatkan tamparan mentah dari Petir. Suaranya benar-benar terdengar begitu renyah ditelinga.

Gentar melongo saat mendapat perlakuan tersebut. "Ke-kenapa kau menampar ku, Bang?" Suara Gentar tampak gemetar. Ia tak masalah dengan tamparan itu, tapi hatinya tetap peka dengan yang namanya sakit.

"Karena kau!" Suara Petir tertahan dikerongkongan. Ia benar-benar marah besar dengan anak yang bernama Gentar ini.

"Ga usah sok polos, bocah!" Hardik Petir yang tak bisa menahan emosinya. Gentar tetap diam tak berani bersuara.

"Mentang-mentang adik tiri! Lu cuma debu dikeluarga ini!" Seru Petir mendorong Gentar lalu meninggalkan Gentar yang baru saja jatuh duduk.

Gentar menatap meminta penjelasan kepada Tanah yang berdiri kaku dipojok ruangan. "Ada apa?" Tanya Gentar. Tanah mengendik tak tahu menahu lalu meninggalkan kakaknya seorang diri dengan berbagai pertanyaan di kepalanya.

–––

"Nilai 8 lagi? Kau pikir nilai delapan bisa buat kamu masuk kedokteran?" Sang kepala keluarga menuding nilai Sori yang menunjukkan nilai diatas 80.

"Di luar sana banyak yang nilainya diatas mu! Sudah berapa kali bapak bilang? Sekarang bapak ga ada uang buat bayar jalur mandiri kedokteran. Cara satu-satunya apa? Ngemis! Kalau modal ngemis apa yang bisa diandalkan? Ya nilai dan hasil tes mu!"

Sori menatap kearah lain berusaha menetralkan emosinya. Lagi dan lagi ia harus memakan omelan Ayahnya.

"Menyesal itu di belakang, bukan di depan. Seperti Kakak teman tetangga mu itu! Dia bodoh! Tapi sadar kalau pekerjaan yang menghasilkan banyak uang cuma dokter!" Lanjut Ayah Sori. Berjam-jam lamanya Sori diceramahi hingga tak sadar sudah larut malam.

"Pak, Sori lapar!"

"Belajar! Jangan mikirin makan terus! Ambil bukunya sana belajar! Setelah belajar baru boleh makan." Ayah Sori pergi sembari melemparkan buku pelajaran dihadapan Sori.

Sori meringis mendengarnya. Selalu seperti ini. Ia mengambil buku yang Ayahnya berikan dan membuka asal setiap halaman di dalam buku itu.

Sori anak yang berhati lembut. Walaupun tampak banyak bicara dan suka membuat orang darah tinggi, tapi anak itu selalu menjalani kerasnya hidup dengan tangisan. Dia tak bisa untuk dipaksa kuat begitu.

Ia terisak disela tangisnya. Tetesan air matanya jatuh membasahi buku yang ia buka. Sakit rasanya diperlakukan begitu.

"Sakit, Ya Allah." Adunya kepada yang Maha Kuasa.

Sori kembali membaca bukunya sembari menangis. Daun dan Cahaya yang melihatnya sedikit iba, tapi tidak berniat untuk membantu.

Beberapa saat berlalu, makanan sudah siap. Daun dan Cahaya langsung menyambar makanan dengan lahap. Sori mengusap air matanya lalu ikut mengambil porsi makanannya.

"Ihh! Daun mau itu!" Seru Daun saat Sori akan menyomot lauknya. "Ihhh, gue udah ngambil duluan ini! Lu ambil yang lain lah!" Sori dengan sigap mengambil lauknya tak memperdulikan Daun yang sudah merengek-rengek.

"Pak! Daun mau yang itu!" Rengek Daun.

"Sori! Kasih makanannya ke Adiknya! Ngalah! Kamu sudah besar!" Sang Ayah menghampiri Sori mendukung Daun. "Sori udah ngambil duluan! Itu masih ada, Daun suruh ambil yang lain, ini jatah ku!" Seru Sori tak terima.

"Daun maunya yang itu!"

"Enggak! Gue mau yang ini! Gue yang ngambil pertama, siapa cepat dia dapat!"

"Ga adil!"

Human Sides [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang