End

154 13 8
                                    

Napas Sopan tersenggal-senggal ketika menguburkan Ayahnya. Baru saja kemarin ia mendapatkan kabar bahwa Ayahnya telah tiada.

Hidupnya hancur ketika mendapatkan Ayahnya telah diambil oleh yang Maha Kuasa. Sopan meraung-raung setelahnya. Cukup ambil Ibu, jangan Ayah juga! Seru Sopan dalam hati.

Sakit itu begitu membelenggunya.

"Ibu sama Ayah mu pasti bangga punya anak kaya kamu." Gentar membisikkan kata-kata penenang ditelinga Sopan.

"Lu kuat, Pan!" Seru mereka sembari memeluk Sopan. Angin juga ikut menyambangi pemakaman Ayah Abangnya. Baru kali ini ia melihat Sopan sehancur itu. Bahkan Sopan tidak mau makan seharian ini.

Sopan terus saja menangis sepanjang waktu. Bahkan saat di dalam salatnya, dia pun masih saja menumpahkan air matanya.

"Sopan sendirian, Ayah. Ayah tega ninggalin Sopan." Lirih Sopan di depan gundukan Ayahnya. Mereka semua memeluk tubuh Sopan untuk memberinya kekuatan. Membiarkan Sopan agar terus melepaskan rasa sedihnya sebelum kembali beraktivitas.

"Kita di sini. Lu masih ada kita," ucap mereka berusaha menguatkan Sopan. Sopan menggeleng. Ia tidak kuat. Pundaknya begitu rapuh. Selama ini ia selalu mendapatkan kekuatan dari Ayahnya.

Prosesi pemakaman berakhir. Sopan digandeng pulang oleh mereka sampai ke rumahnya. Sopan diberi waktu libur sampai seminggu lebih.

Banyak orang yang nyelawat ke rumahnya. Untung saja Sopan bisa mengadakan tahlilan. Dan sebagian besar acara dibantu oleh teman-temannya.

"Angin. Abang sudah ga punya siapa-siapa lagi," kata Sopan. Sorot matanya kosong seperti tidak ada harapan yang berarti. Angin memeluk Sopan dari samping.

Anak 10 tahun itu juga ikut bersedih sekarang. "Ga papa, Bang. Angin juga udah ga punya siapa-siapa lagi." Angin mengusap punggung Abangnya. Sopan menatap Angin dengan pandangan bertanya.

"Maksudnya?" Tanya Sopan.

"Orang tua Angin udah ga ada dari waktu Angin baru masuk pondok. Angin dititipkan ke Bibi sama Paman Angin. Tapi, mereka tidak bisa merawat ku bersamaan dengan mengurus Anaknya. Jadi, Angin dimasukkan ke pondok dan mengabdi di sana," jelas Angin kepada Sopan.

Sopan terdiam sejenak. Pasalnya Angi  tampak tidak sedih dan tetap tersenyum. Tapi, ternyata dibalik senyuman itu terdapat luka yang ia simpan.

"Angin hebat!" Puji Sopan pada Angin. Angin menggeleng kuat. "Angin ga hebat, Kak. Angin lemah. Hanya Allah yang menguatkan Angin selama ini. Kalau Angin kehilangan Allah, Angin ga bisa berbuat apa-apa." Angin menitikkan air matanya yang selama ini ia tahan. Ia tersenyum kepada Sopan seakan dirinya baik-baik saja.

"Abang Sopan harus kuat. Percaya kalau Allah akan selalu menguatkan diri Abang." Angin mengusap air mata di pipinya.

"Abang jangan pernah kalut sama kesedihan yang Bang Sopan rasain. Terima semua rasa sedih itu. Dan percaya dengan semua yang terjadi pasti ada hikmahnya buat Abang. Insyaallah, Abang pasti bisa ngejalanin hidup dengan baik." Nasihat Angin kepada Sopan. Sopan tidak pernah mengira bahwa Adik-adikannya selama ini menyimpan rasa sedih yang amat mendalam.

"Masyaallah! Makasih, Angin. Kamu Adik terhebat yang pernah Allah pertemukan dengn ku." Sopan memeluk Angin erat. Mereka sama-sama menyalurkan emosi sedih keluar dari dalam diri mereka. Setelah ini, Sopan akan menentukan sendiri setiap jalan dalam hidupnya.

Sopan keluar dari masuk ke dalam rumahnya. Setelah sekian lama menatap padang rumput di belakang rumahnya, ia kini menatap keenam saudaranya. Dirinya tersenyum penuh haru. Selama ini dirinya memiliki teman yang ingin berkorban untuk satu sama lain.

Human Sides [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang