Freen
Jika membahas tentang paparazi itu tidak akan pernah ada habisnya, mereka ada di mana-mana. Bandara, toko, trotoar, jalan raya, bersembunyi di lorong hotel, atau menjelajahi lokasi syuting. Aku pernah memergoki mereka memanjat pohon untuk melihat ke jendela demi mencuri privasi yang sangat kami butuhkan. Itu adalah fakta kejam untuk kehidupan bagi orang sepertiku. Mereka akan selalu ada, selalu mengawasi dan fakta yang lebih mengejutkan sembilan puluh persen dari mereka adalah kumpulan orang jahat.Aku sudah berada di Bennett Landing selama dua puluh empat jam sekarang. Ini pertama kalinya setelah sekian lama aku melewati satu hari penuh tanpa disergap. Namun saat aku melangkah melewati pintu Landing Inn setelah pukul sepuluh malam, aku merasakan perasaan intuitif bahwa ada mata yang mengawasi.
Saat melirik ke serambi aku melihat McKleski keluar dari dapur. Ekspresi tegasnya mengarah ke padaku. "Sarocha."
Aku mengangguk sebagai salam, menghindari rasa ngeri ketika dia memanggilku seperti itu.
"Sudah larut malam," katanya. "Apakah kau sudah makan malam?"
Aku menggelengkan kepalaku.
"Jangan harap aku memasak untukmu," katanya. "Kalau kau ingin makan datanglah pada jam yang layak."
"Ya, nyonya" kataku pelan, dia berjalan pergi untuk melakukan apa pun yang ingin dia lakukan. Meyakinkan dia untuk mengizinkanku tinggal di sini sudah cukup sulit. Ketika aku mengatakan padanya bahwa semua penginapan miliknya aku sewa tanpa batas waktu, yang berarti dia tidak akan memiliki penyewa lain dia hampir mengusirku.
Satu-satunya alasan dia tidak melakukannya adalah karena aku terlihat menyedihkan.
"Dan jangan berisik," teriaknya. "Aku mau tidur."
"Iya, Nyonya" kataku lagi sambil berjalan ke dapur. Aku tidak menyalakan lampunya. Ada cukup cahaya dari beberapa lampu malam sehingga aku dapat melihat ke mana aku harus pergi. Aku belum makan banyak sejak kecelakaan itu. Sial nya aku sudah bertahun-tahun kehilangan nafsu makanku.
Saat aku membuka pintu lemari es, aku melihat piring kecil di rak paling atas, berisi beberapa sandwich yang ditutupi bungkus plastik. Selembar kertas tertempel di atasnya dengan tulisan 'untukmu'.
Aku mengambil sandwich itu, berjalan kembali ke kamarku dilantai atas, saat aku menggigit sandwichku aku mendengar McKleski berteriak dari kamarnya, "Sampai ada remah-remah di karpet kau harus membersihkan dengan penyedot debu!"
"Iya, Nyonya" gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala, masih mengunyah sandwich. Sebelumnya aku tidak pernah khawatir tentang karma tapi sekarang sepertinya aku sedang terkena dampak yang sangat besar di sini.
Matahari bersinar.
Cahaya terang menerobos tirai putih tipis yang menutupi jendela, menghangatkan ruangan. Aku belum pernah merasakan tidur nyenyak, entah disini atau ditempat lain. Hanya terpejam beberapa saat sebelum kenyataan membuatku terbangun kembali bahwa kenyataan kembali ke kota ini berarti aku akan sering melihat dia lagi .
Ada ketukan berulang di pintu kamarku tapi aku mengabaikannya. Ini baru pukul delapan pagi terlalu dini bagiku untuk memikirkan omong kosong apa pun yang akan mereka katakan. Ketukan lagi, lalu pintu terbuka. Aku menutupi mata dengan lengan kiriku dan mengerang saat McKleski menerobos masuk.
"Ada pengunjung," katanya.
"Bahkan tidak ada yang tahu aku di sini."
"Mungkin seseorang ini punya ikatan batin denganmu."
Dia berjalan keluar membiarkan pintu tetap terbuka. Aku berbaring diam sejenak sebelum menggerakkan lenganku. Pengunjung? Hanya ada satu orang yang tahu aku ada di kota.
Becky.
Aku segera bangun, terhuyung keluar kamar dan berjalan ke lantai bawah. Dia berdiri di serambi, mengenakan seragam kerja, terlihat sedikit gugup. Dia melirik ke arahku ketika dia menyadari aku berdiri dibelakangnya, ekspresi wajahnya membuat dadaku terasa sangat berat. Becky menjaga ekspresi nya tetap datar meskipun aku tahu dia menahannya sekuat tenaga. Dia berdiri menungguku.
Menungguku untuk mengacau.
Menungguku untuk menyakitinya.
"Hai" sapaku. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi secepat ini."
"Ya..." gumamnya, dia mengalihkan pandangannya untuk mengamati sekelilingku seolah sedang mencari topik pembicaraan.
"Apakah kau ingin duduk?" Aku menawarkan sambil menunjuk ke arah ruang tamu, aku yakin McKleski tidak akan keberatan.
"Tidak perlu aku hanya ingin memberimu sesuatu."
Becky masih berdiri di sana dia diam sejenak, menggigit bibirnya seperti yang biasa dia lakukan saat kami masih remaja. Terkadang aku masih menganggap kita seperti itu. Atau hanya aku saja? Becky berhasil tumbuh menjadi wanita yang sempurna. Sedangkan aku? Tidak pernah berhasil melewati usia delapan belas tahun tanpa melakukan suatu kekacauan.
Sambil merogoh saku belakangnya dia mengeluarkan sebuah amplop dengan coretan krayon merah di bagian luarnya.
Tubuhku menegang seketika. "Apakah itu dari..."
Dia mengangguk. Aku bahkan tidak perlu menyelesaikan kalimatku. Dengan hati-hati dia mengulurkan amplop itu, suaranya lembut ketika dia berkata, "Aku sudah bilang padanya kalau aku akan mengirimkannya tapi karena kau di sini aku memberikan langsung padamu."
"Terima kasih," kataku sambil menatap amplop itu. Ini ditujukan kepada Breezeo. "Apakah dia…?"
"Tidak," sela Becky. "Dia tidak tahu jika kau adalah ayahnya. Dia... dia hanya berpikir superhero itu nyata tidak peduli berapa kali aku menjelaskan bahwa mereka hanyalah manusia biasa tapi dia melihatmu seolah-olah kau adalah salah satu dari superhero itu. Dia masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Itulah sebabnya..."
Dia terdiam. Aku tahu kemana arah percakapan ini. Itulah sebabnya sangat sulit baginya untuk memberiku kesempatan itu, karena aku bukanlah superhero seperti yang putriku kira. Aku terlalu banyak meninggalkan rekam jejak yang luar biasa dalam hal mengecewakan orang.
"Aku mengerti," kataku. "Maaf jika aku terlalu memaksamu untuk mempercayaiku."
"Apa kali ini kau tidak akan pergi lagi?"
"TIDAK."
Kupikir itu mungkin akan membuatnya kesal tapi dia menghela napas dalam-dalam membuat tubuhnya kembali rileks. "Baiklah, aku harus berangkat kerja. Aku hanya mampir untuk mengantar itu."
"Oh ya, terimakasih.."
Setelah Becky pergi, aku segera membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas untuk melihat isinya. Dia menggambarku. Saat membaca kata-katanya mataku terasa panas, tapi sialnya aku malah nyengir seperti orang bodoh. Aku tidak bisa menyembunyikan senyuman dari wajahku.
"Kau terlihat seperti kucing yang menangkap burung kenari," kata McKleski, aku yakin dia tadi menguping pembicaraan ku dengan Becky.
"Ya, dia memberikanku ini," kataku sambil melambaikan kertas itu padanya. "Ini dari Madison."
"Ah, Maddie kecil," katanya. "Ini agak sulit nak, tapi apa kau tidak mau mencoba mendekatinya?"