Becky
"Aku, uh… sial."
Aku memarkirkan mobil di sepanjang trotoar sambil menatap rumah di ujung blok. Rupanya ketika ayah berkata ''Tidak semua orang datang, hanya ada beberapa saja'' sebenarnya yang ayah maksud adalah ''semua orang yang pernah aku temui dan siapa pun yang ingin mereka bawa.'' Orang-orang mengelilingi tempat itu dan saling bersosialisasi.
Aku mematikan mesin dan mengantongi kunci ketika Maddie melepaskan sabuk pengamannya, dia sudah tidak sabar keluar dari mobil sebelum aku sempat memikirkan hal lain untuk dikatakan.
Aku menatap Freen yang masih duduk di kursi penumpang. Dia tampak pendiam hari ini. Aku juga tidak yakin dia bisa beristirahat semalam. Dia memang menginap di apartemen tetapi dia tidak mencoba tidur di tempat tidurku. Dia masih duduk di sofa saat aku terbangun fajar tadi, sibuk mengutak-atik ponselnya.
Kata-kata pertama yang diucapkannya adalah ...
''Mereka tahu.''
Pagi harinya, berita itu tersebar di Internet... Freen Sarocha telah ditemukan! Awalnya hanya dengan lokasinya, tetapi kemudian Hollywood Chronicles melaporkan bahwa Freen bersembunyi di kota kecil New York yang sepi, dan seiring berjalannya hari spekulasi pun bermunculan. Hanya masalah waktu sebelum seseorang mengetahui semuanya.
Kacamata hitamnya dia kenakan, topinya diturunkan begitu rendah. Meskipun cuaca di luar hangat, dia tetap mengenakan celana jins dan kaus berkerudung dengan lengan baju yang digulung hingga siku. Dia begitu melindungi dirinya, bersembunyi sebisa mungkin, meskipun tidak terlalu berarti.
Aku keluar dari mobil terlebih dahulu sebelum Maddie sempat kabur, dia mengikuti kami ke rumah ayah. Begitu kami sampai di sana Maddie langsung masuk, sementara aku menghentikan langkahku.
"Kau tidak perlu melakukan ini," kataku sambil menatap Freen. "Maddie pasti akan mengerti."
Dia mendesah. "Tidak apa-apa. Aku yang membuat kekacauan ini. Aku juga yang harus menghadapinya."
"Ya, tapi…"
"Tapi apa?"
"Aku tidak tahu," kataku. "Sepertinya memang harus ada tapinya."
Freen tertawa pelan saat ayahku melangkah keluar teras, menyeka tangannya dengan celemek pemanggang yang dikenakannya.
"Hai Ayah," kataku. "Pesta yang menyenangkan bukan?"
"Ini bukan pesta," gerutunya. "Ini hanya makan-makan kecil."
Mungkin lebih seperti ujian. Dengan panitia penyambutan, tapi tidak seramah panitia penyambutan pada umumnya.
Freen berdeham. "Tuan Armstrong terimakasih atas undangannya"
"Itulah yang diinginkan cucu perempuanku" jawabnya. "Apa pun yang membuatnya bahagia akan aku lakukan. Kau harusnya mengerti itu."
"Tentu saja," kata Freen
"Baiklah kalau begitu, aku harus kembali ke pangganganku." Ayah menatapku dengan mata curiga seraya berkata, "Ikutlah denganku Sarocha."
Freen tersenyum kecil padaku, berusaha meyakinkan tetapi aku tahu dia gugup menghadapi semua yang tampak terlalu cepat baginya.
Begitu Freen mengikuti ayah, aku segera berbaur dengan semua orang untuk sekedar berbasa-basi, aku juga menghindari percakapan tertentu. Maddie terlihat begitu bahagia, dia berlarian ke sana kemari, bercerita kepada siapa pun yang mau mendengar tentang ayahnya. Aku mencoba mengarahkannya ke tempat lain tetapi dia masih anak-anak. Dia tidak mengerti mengapa semua ini menjadi masalah besar. Dia hanya ingin berbagi kebahagiaannya, sementara aku tidak bisa menghilangkan perasaan gelisahku.