BUKU CATATAN BECKY
Pada Sabtu malam sekitar pukul delapan lewat beberapa menit, kau memarkir mobil Porsche birumu ke halaman rumah sederhana berlantai dua.
Gadis itu menemui mu di teras. Dia bertelanjang kaki, mengenakan gaun abu-abu sederhana yang terlihat seperti kaos panjang.
Kau melangkah ke teras tepat di depannya. Kau tidak yakin apa yang diharapkan. Tatapan mu mengamatinya. Sangat terang-terangan kau memperhatikannya, matamu tertuju pada kakinya yang mulus dan telanjang.
"Orang tuaku tidak ada di rumah," katanya. "Aku bersumpah aku tidak akan meninggalkan rumah saat mereka pergi."
Dia gugup saat mengatakan hal itu padamu, sambil memainkan ujung gaunnya. Ini mengalihkan perhatianmu. Matamu terus tertuju padanya saat tubuhmu semakin maju. "Berapa lama mereka akan pergi?"
"Sampai besok," katanya. "Jadi hanya aku yang ada di rumah, aku sendirian sepanjang malam... apa yang harus aku lakukan dengan malam ku?"
Kau bertemu dengan tatapannya. Kau tersenyum.
Kau tidak perlu mengatakan sepatah kata pun.
Dia menarik mu ke dalam rumah. Dia sangat berani, lagi-lagi mengambil langkah pertama, menciummu begitu kau berada di dalam. Bibirnya menunjukkan rasa percaya diri tapi tangannya gemetar. Kau meraihnya, memegangnya dan menciumnya kembali.
"Selamat ulang tahun," bisiknya. "Ada yang ingin ku tunjukkan padamu."
"Tidak sabar untuk melihatnya."
Dia membawamu ke atas.
Dia membawamu ke kamar tidurnya.
Penerangannya remang-remang karena lampu kecil, kamarnya tampak seperti kamar gadis remaja pada umumnya—berantakan, banyak warna, dan selimut berbunga-bunga. Ada poster Breezeo Ghosted di dinding di atas tempat tidurnya. Ada lilin menyala di meja terdekat. Baunya seperti vanila.
"Kau yakin tentang ini?" kau bertanya saat dia menciummu lagi, tidak ada keraguan dalam dirinya. "Kupikir kau ingin menonton film atau semacamnya dulu."
"Apakah kau ingin melakukannya?""
"Melakukan apa?"
"Apakah kau ingin menonton film?" dia bertanya, mencium sepanjang rahangmu yang memar. "Kurasa kita bisa menonton jika itu yang kau inginkan..."
"Sial!" katamu sambil memindahkannya ke tempat tidur. "Yang kuinginkan adalah mencari tahu bagaimana rasanya berada di dalam dirimu."
Dia tersipu dalam tertawa, suaranya berubah menjadi erangan saat kau mencium lehernya. Kau tidak membuang waktu untuk melepas gaunnya, menyisakannya di depanmu dengan celana dalam hitam berenda dengan bra yang serasi.
"Sial, kau cantik sekali B" katamu saat tatapanmu mengamatinya. "Sangat cantik."
Dia memutar matanya secara dramatis.
"Aku serius," katamu. "Jangan pernah meragukan hal itu. Kau adalah ratunya sayang… sedangkan aku hanya orang biasa."
"Apakah kau baru saja…?" Dia menatapmu saat kau mendorongnya, membuatmu melayang di atasnya. "Ya Tuhan, kau serius baru saja mengutip kalimat Breezeo untukku?"
"Foreplay," katamu. "Lagi pula itu kalimat yang bagus."
Dia tidak bisa berkata-kata.
Kau melepaskan bajumu dan melepaskan sepatumu. Kau hanya menyimpan satu kondom didalam dompetmu, tanpa berpikir kau akan benar-benar sampai sejauh ini, entah berapa lama kondom itu tersimpan disana, tapi dia bilang padamu dia sedang meminum pil jadi kau tidak perlu khawatir. Jangan berhenti sekarang.
Pakaian lainnya hilang.
Kau bergerak perlahan, sentuhanmu lembut, memberinya waktu untuk menyesuaikan diri. Jari-jarimu ada di dalam dirinya, sedangkan mulutmu ada di atasnya. Membiarkan orgasme melanda dirinya. Kau melakukannya dengan santai saat kau mengambil keperawanannya, mendorong kemaluanmu dengan hati-hati lalu berhenti sejenak. Dia begitu mempercayaimu, dia telah memberikan dirinya kepadamu. Dan kau tidak ingin menyakitinya.
Kau membuatnya merasa lebih baik.
Lagi dan lagi.
Kau tinggal sepanjang malam.
Sudah hampir fajar ketika kau akhirnya mengenakan kembali pakaianmu. Dia masih berbaring di sana, dengan selimut membungkus tubuhnya, memperhatikan saat kau duduk di tepi tempat tidur untuk mengenakan sepatu.
Saat kau mengikatnya, dia duduk memelukmu dari belakang. Dia memelukmu dengan kepala bersandar di punggungmu. Dia tetap seperti itu selama beberapa menit sebelum dia menjauh darimu. "Sial, aku hampir lupa menunjukkan benda itu padamu untuk hadiah ulang tahunmu!"
"Kupikir benda itu adalah kau."
"Apa? Tidak." Dia tertawa, selimut masih membungkus tubuhnya. Dia hampir tersandung saat dia menyeretmu ke bawah, memaksamu duduk di sofa ruang tamu. "Duduk."
Dia duduk di sampingmu dan menyalakan TV. Kau pikir mungkin dia sedang mencoba menonton film sekarang, tapi dia malah memutar sesuatu yang dia rekam—Law Order.
"Tidak mungkin," katamu saat dia menekan tombol play.
"Ini episode mu."
"Itu terjadi beberapa hari yang lalu," dia memberitahumu. "Untungnya TV kabel memutar hal yang sama berulang-ulang jadi aku merekamnya saat tayangan ulang."
Kau tertawa sambil merangkulnya.
Kalian berdua duduk bersama untuk menontonnya.
Bukan hanya bagian mu. Kau memperhatikan semuanya. Setelah selesai dia menatapmu dan berkata, "Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan di masa depan, bahkan ketika kau adalah seorang bintang film terbesar di dunia… anak yang meninggal di Law Order akan selalu menjadi bagian favoritku."
Kau pergi tidak lama setelah itu.
Sekarang jam tujuh pagi.
Dan kau tidak tahu ini, tapi gadis itu? Dia menyadarinya saat mobilmu melaju kencang, dia sangat jatuh cinta padamu. Badannya pegal, pangkal pahanya terasa nyeri, jantungnya berdebar kencang. Dia belum bisa tidur nyenyak tapi itu tidak berarti apa-apa. Dia setinggi langit dan tidak ada yang bisa menjatuhkannya dari euforia ini—bahkan ketika seorang tetangga yang usil memberi tahu ayahnya tentang Porsche biru yang menghabiskan sepanjang malam di rumahnya. Bahkan ketika dia menyadari gigitan cinta di lehernya dari bibirmu yang panik. Bahkan ketika dia mengancam untuk mengambil kejantananmu dan mengatakan padanya bahwa dia dihukum seumur hidupnya. Karena malam yang gadis itu habiskan, dia bersamamu! Sepadan.