Becky
Aku melirik arlojiku untuk yang kesepuluh kalinya dalam lima menit terakhir, menghela nafas panjang sambil menggeser kursiku. Dalam tiga menit singkat itu akan menjadi jam tiga.
"Dia tidak akan datang," kata Pharita
Dia duduk di sebelah kananku, kursi kosong di antara kami disediakan untuk Freen yang tidak hadir. Aku sudah meneleponnya belasan kali dalam setengah jam terakhir, tapi yang kudapat hanyalah pesan suara umum. Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.
Aku juga telah meninggalkan beberapa pesan yang memberitahunya agar dia segera bergegas datang tapi aku tidak mendapat balasan apa pun.
"Dia akan berada di sini," kataku. "Dia sudah berjanji."
"Sebaiknya dia datang jika dia tahu apa yang terbaik untuknya." kata ayah dari tempat duduknya di sebelah kiriku.
Terdengar ejekan dari belakangku, sebuah suara yang kukenal bergumam, "Jika kita mengandalkan Sarocha yang tidak menggunakan otaknya kita mungkin akan kecewa."
Aku berbalik, melihat Ny. McKleski duduk di sana, merajut... ya, dia sedang merajut. Aku bahkan tidak yakin mengapa dia ada di sini. Ini adalah presentasi anak TK sepulang sekolah. Pandanganku mengamati auditorium kecil itu, terkejut dengan banyaknya orang yang datang untuk melihat segelintir anak kecil bermain-main tentang cuaca.
Sambil melirik kembali pada Ny. McKleski, aku bertanya, "Apa yang Nyonya lakukan di sini?"
"Ayahmu mengundangku," jawabnya.
Aku menatap ayah yang hanya mengangkat bahu. "Ini hari besar cucuku. Aku hanya ingin orang-orang mengetahuinya."
"Berapa banyak orang yang ayah undang?"
"Separuh kota," jawab Ny. McKleski mewakilinya.
Sambil menggelengkan kepala, aku melirik arlojiku lagi, ini sudah jam 14:59.
Lalu aku menelepon Freen lagi. Hanya pesan suara yang sama. Berulang kali!
Seorang guru keluar dari tepi panggung, di depan tirai besar saat waktu berganti menjadi tepat pukul tiga.
Sambil menghela nafas aku menutup telepon tanpa meninggalkan pesan lalu meletakkan ponselku. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku mendengar anak-anak bergerak di balik tirai untuk bersiap-siap dan yang terpikir olehku hanyalah betapa hancurnya Maddie ketika dia menyadari Daddy nya belum juga muncul.
Tirai terbuka, pertunjukan dimulai.
Maddie berdiri di bagian belakang panggung, mengenakan kostumnya—putih dari ujung kepala hingga ujung kaki, dengan tutu halus dan kepingan salju karton yang diikatkan di punggungnya seperti sayap.
Dia tersenyum penuh semangat, melambai pada kami tapi tidak butuh waktu lama sebelum dia menyadari kursi yang terlihat kosong. Ayah yang merekamnya dan aku harus memberitahunya untuk berhenti, karena aku tidak ingin patah hati pertamanya adalah sesuatu yang tidak ingin aku alami kembali, tapi aku tidak bisa membentuk kata-kata itu. Aku tidak sanggup mengatakannya.
Aku tidak bisa memaksa diriku untuk mempercayainya. Meskipun bagian kecil hatiku masih ingin percaya padanya.
Maddie berdiri di sana, tidak lagi tersenyum, tatapannya mengamati setiap wajah di auditorium. Dia cemas, dan setiap kali dia melihat ke arahku, aku melihatnya semakin sedih. Satu demi satu, anak-anak maju untuk menyampaikan dialog. Saat giliran Maddie, dia tidak bergerak.
Ada keheningan yang panjang.
Sang guru menyenggol Maddie, membisikkan sesuatu padanya. Maddie mengambil beberapa langkah ke depan sambil mengerutkan kening. Ada jeda panjang lainnya.