Freen
"Ayo sayang!" Becky berteriak, melihat arlojinya sambil berdiri di dekat pintu depan. "Sudah waktunya berangkat! Ibu juga harus berangkat bekerja."
"Aku bisa mengantarnya." kataku
"Kau tidak perlu melakukan itu."
Madison datang sambil menyeret ranselnya di belakang. "Aku ingin Daddy mengantarku ke sekolah lagi Bu."
Becky berkedip beberapa kali lalu bergumam, "Atau mungkin memang begitu."
"Kau tidak perlu khawatir, Maddie juga putriku" kataku.
Becky hanya bisa menghela nafas pasrah saat Madison meraih tanganku. "Kau sudah membawa semua yang kau butuhkan?"
Madison mengangguk. "Ya."
"Ini hari selasa apa kau sudah membawa sesuatu untuk Show Tell?" tanya Becky
Madison mengangguk lagi.
"Breezeo?" tebak Becky.
"Iya ibu."
Becky membungkuk untuk mencium kening Madison. "Semoga harimu menyenangkan. Ibu sayang padamu."
"Aku juga sayang ibu," jawab Madison. "Lebih dari Show Tell."
"Lebih dari hot dog daddy mu yang gosong" canda Becky, dia kembali berdiri lalu dia menciumku dan berbisik. "Sampai jumpa sepulang kerja."
Aku hanya tersenyum sambil terus memandanginya hingga tidak terlihat lagi. Aku terhenyak kembali saat Madison menarik tanganku. "Ayo Daddy waktunya berangkat ke sekolah."
Memang tricky mengantar anak ini ke sekolah di pagi hari. Masih ada polisi yang berjaga di depan apartemen, mungkin juga akan ada satu di depan sekolah Maddie nanti. Namun di antara keduanya terdapat hal-hal yang agak samar. Jaraknya hanya beberapa blok tapi dalam situasi kami sekarang, ini seperti memainkan permainan Jumanji.
Lemparkan dadu dan berharap pengisap darah tidak keluar lalu mengerumunimu.
Kami beruntung kemarin, tapi hari ini tidak begitu beruntung. Satu blok jauhnya dari sekolah seseorang memanggil namaku dari seberang jalan dan berlari mendekat, mencoba membuatku berhenti.
Aku mengabaikannya dan terus berjalan.
"Daddy orang itu sedang berbicara denganmu," kata Madison.
"Daddy tahu," jawabku. "Anggap saja dia tidak ada di sana."
"Seperti dia tidak terlihat? Seperti Breezeo?"
"Persis seperti itu,"kataku. "Jangan perdulikan apa yang dia katakan atau lakukan, bersikaplah seolah dia hanyalah angin."
"Aku bisa melakukan itu," katanya sambil mengangguk. "Dan sekarang karena aku adalah kepingan salju aku bahkan tidak punya telinga. Aku tidak mendengar apa pun."
"Anak yang baik."
Pria itu masih mencoba memanggilku. Astaga, aku sungguh tidak menyukai perdebatan di pagi hari.
Lebih dari sekali aku ingin menarik dan meninju mulutnya karena apa yang dia katakan di depan putriku. "Apakah kau minum lagi Freen?" .. "Kenapa kau menyerang reporter itu?" .. "Apakah kau kesal karena dunia mengetahui rahasia kotormu?" .. "Kenapa kau mencoba menyembunyikan anakmu? Apakah kau malu pada ibunya atau apa?"
Langkah kakiku terhenti di depan sekolah dan aku melihat ke arah Madison. "Masuklah ke dalam."
Aku mencoba melepaskan tangannya, tapi dia menolak, meremas tanganku lebih erat, menarik-nariknya agar aku ikut dengannya. "Tidak, Daddy harus ikut juga."