BUKU CATATAN BECKY
Dia memberimu buku komik pada hari Rabu sore.
Saat itu sepulang sekolah kau sedang berdiri di depan menunggu untuk dijemput ketika dia mengeluarkan setumpuk komik tebal dari tasnya. Dia telah membawanya kemana-mana selama tiga hari, mengumpulkan keberanian untuk mendekatimu.
Kau berbeda minggu ini. Dia merasakannya. Kau lebih pendiam dan suka menyendiri. Ada kemarahan di matamu dan ketegangan di rahangmu. Kau bahkan baru saja melihatnya. Kau jarang melihat siapa pun.
Dia menyodorkan komik itu ke arahmu, kau menatapnya dengan bingung. Sesaat berlalu sebelum akhirnya kau bergumam, "Terima kasih."
Itu dia.
Kau pergi satu menit kemudian.
Kau tidak datang ke sekolah keesokan harinya.
Jumat sore kau muncul saat makan siang. Kau berjalan melewati pintu depan sekolah tanpa repot-repot check-in di kantor. Kau berjalan melewati aula, melewati kafetaria, malah menuju perpustakaan tempat dia berada. Dia selalu menghabiskan jam makan siangnya di antara tumpukan buku, tidak pernah makan atau bersama orang lain.
Dia duduk sendirian di belakang meja kayu panjang, wajahnya terkubur dibalik buku catatannya. Kau mendekatinya lalu bertanya, "Apa yang kau tulis?"
Dia segera menutup buku catatannya, menjatuhkan pena ke atasnya. Dia menatapmu tidak menjawab pertanyaan itu.
Kau menjatuhkan tumpukan buku komik di atas meja. Perhatiannya tertuju pada buku-buku itu saat dia bertanya, "Apakah kau membacanya?"
"Aku membaca semuanya," katamu sambil menarik kursi di sampingnya, tapi kau tidak duduk di kursi itu. Tidak, kau malah duduk di atas meja, duduk di sana dengan kaki berbalut sepatu kets menempel di kursi. Kau tidak mengenakan sepatu hitam yang cocok dengan seragam mu. "Komik itu lebih baik dari perkiraan ku. Hanya sedikit kesal karena aku harus menunggu untuk melihat bagaimana ini berakhir."
"Sekarang kau tahu bagaimana perasaanku," katanya, mengutak-atik komik dan menyusunnya. "Aku terkejut kau mau membacanya."
"Sudah kubilang aku ingin membacanya."
"Kupikir kau hanya menghiburku."
"Kenapa aku harus melakukan itu?"
"Karena itulah yang dilakukan semua orang," katanya. "Aku tidak tahu apakah kau menyadarinya tapi aku tidak cocok berada di sini. Orang-orang memang tidak jahat tapi mereka juga tidak baik. Mereka hanya menoleransi kehadiranku."
"Yah, aku tidak tahu apakah kau menyadarinya juga," balasmu, "tapi aku juga bukan orang favorit mereka. Beberapa dari mereka membenciku. Kebanyakan mengabaikanku. Dulu mereka membuatku senang tapi sekarang? Sial, lihat aku. Aku bisa duduk di sini seperti ini sepanjang hari dan tak seorang pun akan mengatakan sepatah kata pun, seolah-olah aku tidak terlihat."
"Seperti Breezeo," katanya. "Kau menghilang."
Kau mengangguk. "seperti itulah rasanya."
Dia tersenyum. "Aku tidak tahu apakah itu ada bedanya tapi aku melihatmu."
Keheningan terjadi di antara kalian berdua. Ini tidak canggung. Hampir terasa nyaman. Dia mulai mengutak-atik pena di atas buku catatannya. Kau memandanginya sejenak. "Apakah kau tidak akan memberitahuku apa yang kau tulis?"
Dia menggelengkan kepalanya.
"Kau selalu menulis di buku catatan itu."
Ini bukan pertanyaan tapi dia tetap menjawab. "Hampir setiap hari."