BUKU CATATAN BECKY
Satu-satunya jam di apartemen kecil dengan satu kamar tidur bersinar biru dari microwave tua di meja dapur. Angka-angkanya sudah kabur dan sering kali kehilangan waktu, sesekali beberapa menit, terkadang lupa menghitung.
Tertulis 18:07 ketika aku pergi. (Ya, aku. Bagian cerita ini sepenuhnya milikku. Tidak dapat disangkal.) Aku tidak yakin jam berapa sebenarnya tapi sekitar dua belas jam telah berlalu sejak kau mengucapkan kata-kata pahit itu. Butuh waktu setengah hari bagiku untuk mengumpulkan keberanian untuk keluar, karena aku tahu sekali aku harus melakukannya, dan aku tidak akan kembali. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk menatap pintu, menunggu pintu terbuka, menunggumu masuk kembali, menunggumu memberitahuku bahwa kau tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanmu.
Aku merobek selembar kertas dari bagian belakang buku catatanku dan memandangi baris-baris kosong itu, baris-baris yang seharusnya memuat lebih banyak cerita kita.
Selamat tinggal.
Hanya itu yang aku tulis. Ada sejuta hal yang ingin aku tulis sebenarnya tapi kata-kata itu aku simpan rapat-rapat. Aku meninggalkan catatan itu di meja dapur tepat di samping microwave. Aku hanya membawa beberapa barang, memasukkan beberapa pakaian dan kenang-kenangan ke dalam ranselku sebelum berangkat ke stasiun kereta. Aku perlu waktu untuk berpikir.
Tiga hari kemudian, aku tiba di New York, bukan lagi gadis berusia tujuh belas tahun yang mabuk cinta dan melarikan diri bersama seseorang bertahun-tahun yang lalu. Saat ini aku adalah seorang wanita berusia dua puluh satu tahun yang sedang patah hati dan tidak tahu harus pergi ke mana selain ke rumah.
Taksi itu menurunkanku di tepi jalan di depan rumah putih berlantai dua di Bennett Landing. Aku membayar pengemudi setiap sen terakhir di sakuku. Aku mual, kelelahan, dan aku hanya ingin menangis meskipun air mataku tak mau jatuh.
Tapi salju sedang turun. Dunia luar terasa sedingin es. Jaketku tipis dan aku menggigil. Matahari masih bersinar kembali di California.
Saat taksi mulai menjauh, pintu depan rumah terbuka. Ayahku melangkah keluar ke teras dan berdiri di sana dalam diam. Dia tidak terkejut. Dia tahu aku akan kembali.
"Becky? Apakah itu kau?" Ibuku keluar dari rumah dan memelukku. "Ibu tidak percaya kau ada di sini!"
Kegembiraannya membuatku pusing. Kabut menyelimuti pandanganku.
Ibu menbawaku masuk ke dalam rumah, melewati ayahku yang masih diam saja, namun matanya sudah cukup bicara. Ibuku ingin ngobrol. Aku hanya ingin berhenti merasa seperti aku akan pingsan. "Bolehkah aku berbaring dulu?"
"Tentu saja sayang, kau tahu di mana kamarmu."
Kamarku masih persis seperti saat aku meninggalkannya, hanya saja tempat tidurnya baru dirapikan. Mereka mengharapkan aku kembali dan bukan hanya pada level 'kau akan merangkak kembali suatu hari nanti'. Seseorang memperingatkan mereka.
Aku bersembunyi di balik selimut, menariknya sampai ke atas kepalaku, aku mencoba mencari kehangatan lagi. Aku tidak ingin memikirkan siapa 'seseorang' itu.
Tiga hari telah berlalu. Aku tidak bergerak kecuali terpaksa. Aku sakit dan aku lemah, sedangkan ibuku terus memeriksaku, membawakan air mineral dan memaksaku untuk makan serta merapikan rambutku. Ibu memberitahuku semuanya akan baik-baik saja, dia melakukan semua hal yang dilakukan seorang ibu untuk anaknya. Aku sangat mencintainya, dan aku tahu ibu melakukannya karena ibu juga mencintaiku, tapi aku ingin berteriak padanya karena bagaimana mungkin mencintai seseorang tanpa syarat? Bagaimana ibu bisa menatapku, tersenyum, dan begitu bahagia karena aku ada di sini, bahwa aku ada, padahal ibu punya banyak alasan untuk marah atas masalah yang kutimbulkan! Semua malam tanpa tidur yang ibu alami, semua stres dan kekhawatiran…