Becky
Aku melemparkan seragamku yang kotor ke dalam keranjang di kamar tidurku dan menggantikannya dengan kaus putih panjang untuk menutupi tubuhku. Aku menoleh ketika mendengar seseorang berdeham di ambang pintu, itu suara Freen. "Ah..hmm..maaf aku tidak tahu kalau kau sedang berganti pakaian.."
Aku meliriknya, dia mengalihkan pandangannya dariku.
"Tidak apa-apa," kataku. "Kau bahkan pernah melihatku tanpa sehelai benangpun.
Dia menatapku lagi, seolah dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan tadi. "Aku..."
"Aku tahu." potongku
Dia tidak melawan. Matanya perlahan menjelajah tubuhku, membuat bulu kudukku meremang, hawa dingin seketika merayapi kulitku. Keadaan sudah tegang dan dia membuatnya semakin menegangkan dengan melongo secara terang-terangan padaku. Perutku terasa melilit melihat ekspresinya, ada rasa kagum terpancar dari matanya saat dia menjilat bibirnya.
Dia berdeham. "Aku harus pulang, selamat malam Becky."
"Selamat malam," bisikku.
Tapi Freen masih berdiri disana, matanya terus menjelajah. Dia menggelengkan kepalanya, seakan baru tersadar dari lamunan. Kemudian dia berbalik dan melangkah pergi.
"Tunggu."
Satu kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Aku tidak tahu mengapa aku mengatakannya. Aku bahkan tidak memikirkannya sebelum mengatakannya. Dia berhenti dan menatapku, alisnya terangkat seolah bertanya tapi aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Sementara jantungku berdebar kencang, seakan berbisik apa yang sedang kau lakukan? Aku sedang bermain api, seakan aku tidak ingat betapa sakitnya terbakar, tetapi dari sini tempatku berdiri yang bisa kurasakan hanyalah kehangatan.
Aku tidak perlu mengatakan apa pun lagi, karena aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Dia meraihku, ujung jarinya menyentuh pipiku yang memerah dan menyusuri garis rahangku. Dia memegang daguku, mengangkat wajahku ke atas. Dia membungkuk untuk menciumku. Bibirnya lembut, sangat lembut—sangat manis.
Dia menciumku lama sekali, tidak terburu-buru, seolah dia sedang menunggu. Nafasnya yang hangat menerpa wajahku, membuat semua rasa menghilang dari dalam diriku. Aku memeluknya dan menariknya ke tempat tidurku.
"Kau yakin ingin melakukan ini lagi?" dia bertanya dengan tenang.
Aku menggelengkan kepala, aku masih belum yakin tentang semua ini, tetapi aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri. Aku berbaring terlentang dengan dia di atasku. Aku menarik kostum yang masih dia kenakan, secara bersamaan dia juga menanggalkan pakaianku. Kepalaku pusing dan jantungku berdebar lebih kencang lagi, sebelum aku bisa mengatur napas, bibirnya sudah berada di bibirku. Dia mendorong lidahnya ke dalam mulutku.
Freen sudah berada di antara pahaku. Aku terkesiap saat dia mendorong perlahan penisnya yang tebal kedalam diriku. Dia mengerang saat penisnya sudah tenggelam sepenuhnya, membuat tubuhku menegang. Aku berusaha untuk rileks saat rasa nyeri yang aneh memenuhiku.
Rasanya seperti baru pertama kali.
Rasanya tidak pernah berubah.
Hanya dia.
Hanya Freen yang bisa...
Awalnya dia bergerak lambat dan itu sangat menyiksaku, sebelum akhirnya dia meningkatkan kecepatannya, mendorong lebih keras, lebih dalam, lalu mengangkat lututku ke atas bahunya agar dia bisa mengenai titik terdalam di dalam diriku. Jari-jari kakiku melengkung dan tubuhku gemetar. Aku sudah dekat, sangat dekat.