Bab 30

521 99 7
                                    

Freen


Masih aneh sekali rasanya terjebak dalam rutinitas normal seperti ini. Becky pergi bekerja, Madison pergi ke sekolah. Sedangkan aku hanya duduk-duduk saja menunggu mereka pulang.

Apartemen Becky yang dia tinggali sekarang terbilang kecil dan sederhana tetapi tidak sesempit apartemen pertama yang kami tinggali bersama dulu. Ini membuatku gelisah, terlalu banyak rasa sakit yang aku berikan pada Becky. Aku tidak ingin terus menerus terjebak dalam pikiranku sendiri. Biasanya untuk mengalihkan pikiranku aku memilih memasak atau menelepon Nick, dengan begitu aku sedikit bisa lepas dari rasa gelisah.

Mungkin terdengar sedikit berlebihan, mengingat ini baru berjalan tiga hari. Tetapi aku berani bersumpah jika saat ini adalah hari-hari terbaik yang pernah aku alami setelah bertahun-tahun aku berpisah darinya.

Ada ketukan di pintu apartemen. Ini hari Jumat dan baru jam tiga sore. Becky dan Madison baru akan pulang satu jam lagi. Lalu siapa yang datang?

Dengan diam-diam melangkah ke pintu, aku mengintip lewat lubang intip untuk melihat siapa yang mengetuk. Dasar bajingan, aku melihat wanita pemarah yang sangat kukenal. Aku membuka pintu dan berhadapan langsung dengan McKleski, dia berdiri di ambang pintu sambil memegang tas ransel.

Tas ransel milikku.

Sebelum aku bisa mengucapkan sepatah kata pun, dia menjatuhkan ranselku tepat di kakiku.

Aku menatapnya dengan bingung. "Kau mengusirku?"

"Aku pikir kau mungkin membutuhkan barang-barangmu," katanya, menekankan kata-kata itu. "Kau tidak masuk ke dalam kamar sewamu selama berhari-hari. Ingat! berhari-hari Sarocha!"

"Ya, maaf soal itu."

Dia mengejek. "Kau terlihat tidak menyesal."

Dia benar. Aku tidak menyesal sama sekali. "Apa itu artinya kau merindukanku Nyonya?"

"Seperti seorang pecandu alkohol yang melewatkan Happy Hour."

Itu mungkin dimaksudkan untuk menyinggung ku tetapi itu malah membuatku tertawa. "Apakah akan lebih baik jika aku berjanji untuk berkunjung?"

Dia memasang wajah masam saat mendengar ucapanku.

"Aku akan menyewakan kembali kamarmu pada orang lain jadi jangan kembali lagi," katanya dengan nada datar. "Dan aku akan menyimpan uang yang telah kau bayarkan. Tidak ada pengembalian uang."

"Aku juga tidak mengharapkan uang itu kembali."

Dia melambaikan tangan ke arahku dengan enteng dan berbalik untuk pergi. "Semoga berhasil dengan semua ini. Jangan lari dari mereka seperti kau meninggalkanku."

Sial! ucapannya sedikit menyakitkan, tapi aku berusaha tetap tersenyum dan meraih ranselku lalu menutup pintunya lagi.

Aku segera mandi dan mengenakan pakaian baru, barang terbaik yang aku bawa—celana panjang hitam, kemeja polos berkancing biru serta sepatu favoritku. Aku menatap diriku sendiri pada pantulan cermin kamar mandi setelah berpakaian. Sudah sekitar sebulan sejak kecelakaan itu, memarnya sudah semakin memudar, goresan dan lukanya sudah hilang. Kecuali gips sialan ini.

Namun terkadang aku masih melihatnya saat aku menutup mata. Kilatan lampu depan mobil yang menyala-nyala. Darah. Aku masih bisa mendengarnya, bahkan saat suasana hening. Derit ban. Jeritan. Rasa sakitnya mungkin telah hilang tetapi kenangan itu masih tertanam dalam diriku.

Aku mendengar pintu depan terbuka, aku bisa mendengar Madison masuk dengan Becky yang mengikutinya. Aku menyapa mereka, lalu Madison berlari melewatiku dan berkata, "Hai, Daddy" sambil menjatuhkan ranselnya dalam perjalanan ke kamar tidurnya. Dia sudah terbiasa dengan kehadiranku di sini.

Ghosted (adaptasi) endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang