Becky
Aku mengetukkan jariku pada layar ponsel, menatap pesan teks yang dikirim beberapa menit yang lalu. "Apakah kau bisa pergi keluar malam ini?". Begitulah kira-kira isi pesan itu, aku sedang mempertimbangkan bagaimana cara menjawabnya. Ya? Tidak? Ya? Tidak? Ugh... Aku mengetik beberapa jawaban sebelum menghapusnya kembali, mengetik lagi lalu hapus lagi, terus begitu, berulang-ulang. Aku mengetik "Tidak" sambil memikirkan harus aku kirim atau tidak. Dan akhirnya aku menghapusnya lagi karena aku merasa bersalah. Untuk terakhir kalinya seperti orang bodoh aku mengetik "Tentu" dan langsung menekan tanda kirim.Saat tulisan Terkirim muncul di bawah gelembung teks, rasanya aku ingin menampar diriku sendiri. Begitu banyak penyesalan yang aku rasakan.
"Ih, ada apa denganmu?" Aku bertanya pada diriku sendiri, memasang wajah muram saat aku mulai memikirkan alasan untuk mengeluarkan ku dari situasi ini.
Suara berdeham terdengar nyaring dari belakangku. "Apakah ada yang perlu aku bantu?"
Suara itu mengejutkanku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya yang hangat berembus di kulitku. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhku, tanganku gemetar saat aku berputar. Ponsel itu jatuh, mendarat telungkup di lantai epoksi keras di lorong. Aku meringis saat ponsel itu mengenainya, tetapi aku tidak meraihnya karena dia.
Freen.
Dia ada di sini, berdiri di hadapanku di toko kelontong, dia hanya berjarak satu kaki dariku, begitu dekat sehingga aku harus mendongak untuk menatap matanya. Jantungku terasa berhenti untuk sesaat, sebelum berdetak kencang serasa menghantam tulang rusukku.
Freen mengambil ponselku terlebih dahulu, sesaat setelah itu ponselku mengeluarkan bunyi tanda sebuah pesan masuk. Sebelum aku bisa menghentikannya dia sudah melirik pada layar dan membeku. Sesuatu berkelebat di matanya. Dia tampak mengerikan. Ya Tuhan...
"Rusak ya?"
Dia berkedip padaku. "Hah?"
"Ponselku."
"Oh... tidak." dia menyerahkan ponselnya kepadaku, layarnya masih utuh. "Pesan dari Mario sepertinya dia menanyakan soal waktu."
"Jam berapa aku harus menjemputmu?"
Teks ditampilkan dengan jelas. Tanganku masih gemetar, aku langsung memasukkan ponselku ke dalam saku belakang tanpa menjawab pertanyaan itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku. "Kupikir kau sudah meninggalkan kota."
"Sudah kubilang aku akan kembali kan?"
"Ya, tapi aku tidak mengira akan secepat ini. Aku bahkan tidak akan menyadari kepergian mu. Dan kenapa kau memberitahuku?"
"Kupikir kau harus tahu."
"Mengapa?"
Dia mengangkat bahu, sepertinya dia juga tidak mengerti kenapa. Sebelum salah satu dari kami dapat memahami hal ini, terdengar suara feminin dari lorong samping kami, suara itu memanggil namaku. Itu Looknam. Kepanikan melanda diriku. Aku spontan menarik Freen, menggenggam erat lengannya dan segera menyeretnya menjauh. Dia tidak melawan saat aku mendorongnya ke ruang penyimpanan kecil di belakang. Aku melesat ke dalam dan menutup pintu, membuat kami berada dalam kegelapan. Aku tidak bisa melihat Freen lagi, tapi aku bisa merasakannya berdiri tepat di belakangku, tubuhnya menekan tubuhku, tangannya bertumpu pada pinggulku. Sentuhannya menambah kepanikanku. Aku menjauh darinya untuk memberi jarak di antara kami.
"Mengapa kau di sini?" tanyaku, menjaga suaraku tetap rendah. "Kau tidak bisa berada di sini."
"Aku…"