Freen
Satu langkah maju, lima puluh langkah mundur.Begitulah rasanya, seperti dihantam ribuan ton batu begitu aku menemukan kekuatan untuk berdiri.
Ponselku tergeletak di samping tempatku duduk di atas meja piknik kayu tua, di balik tabir kegelapan yang menyelimuti taman. Itu bodoh. Aku bodoh. Tidak! Menurutku lebih buruk dari itu—aku lemah. Kontak terbuka di layar ponsel yang menyala, tetapi aku tidak punya kekuatan untuk menekan tombol apa pun.
Botol kaca itu terasa berat di tanganku. Seperlima wiski. Aku tidak mengenali mereknya. Aku meraih benda pertama yang kutemukan di toko pojok dalam perjalananku ke sini, sesuatu yang murah dan kasar.
Aku hampir bisa merasakan panasnya.
Aku menatapnya.
Botolnya masih tersegel.
Akan sangat mudah untuk membukanya dan minum, meredakan rasa sakit—kemarahan, kesedihan.
Sambil memegang botolnya aku membuka segelnya dan seketika aroma minuman keras yang kuat itu menyeruak memenuhi indra penciumanku. Baunya membuatku sedikit mual.
Ponselku bergetar diatas meja piknik. Nama Nick muncul di layar. Sambil mendesah aku mencoba mengabaikannya tetapi dia menelepon lagi.
Lagi.
Dan lagi.
"Sialan," gerutuku, menjawab panggilannya yang keempat, menekan tombol untuk langsung menyalakan speaker. "Aku tahu kau selalu menyebalkan Nick. Aku tidak menyadari ternyata kau juga seorang cenayang."
Nick tertawa. "Apa yang bisa kukatakan? Aku merasakan adanya gangguan dalam pasukanku. Kupikir aku akan melontarkan kata-kata Yoda-isme padamu sebentar. Dan kau benar."
"Lucu," gerutuku.
"Sejujurnya aku menelepon untuk mengucapkan selamat padamu.
"Untuk apa?"
"Karena kau tidak muncul di halaman depan satu pun tabloid selama seminggu," katanya. "Aku pergi ke toko kelontong lebih awal tapi tidak melihat wajah jelekmu di mana pun. Itu membuat hariku menyenangkan."
"Aku senang bisa melakukan itu untukmu," kataku.
"Aku menghargainya lebih dari yang kau tahu," katanya. "Sekarang beritahu aku apa yang bisa aku lakukan untukmu."
Aku ragu-ragu, masih menatap botol wiski dalam genggamanku. "Tidak ada apa-apa."
"Omong kosong," katanya. "Coba pikirkan lagi."
"Kau tahu, kau seharusnya mendukung dan mengikuti jejakku."
"Dasar brengsek. Jika kau ingin dimanja, kau pasti lebih memilih orang lain sebagai sponsormu daripada aku. Aku tidak mengasuh orang dewasa yang merengek meminta sebotol bir"
"Ya.. kau memang bajingan Nick, kau tahu itu."
"Katakan saja Sarocha," katanya sambil tertawa. "Ceritakan padaku bagaimana dunia yang jahat ini menyakitimu."
Aku sedang tidak ingin bicara tapi aku tahu dia tidak akan mengalihkan pembicaraan, jadi lupakan saja—aku mengoceh, menceritakan semua tentang hari buruk yang kualami.
Dia mendengarkan dengan tenang, menunggu sampai aku selesai untuk bercerita, "Wah, itu jelas menyebalkan."
Aku tertawa getir, karena ya..memang demikian. Menyebalkan sekali.