Halo lagi!!
Makasih udah baca sejauh ini? Jadi gimana ceritanya? Ayoklah di komen!
Author juga butuh kritik!!
😁😁😁🫶------------------------------------
Alis Jidan berkerut, saat tangannya yang meraba-raba kaset didepan pintu kamar kos nya tak dapat menemukan kunci. Cowok itu mulai bergerak panik, ia mengangkat tinggi kaset berpola bunga-bunga itu sembari meniriskannya dengan penuh tenaga.
Tak ada apa-apa disana, hingga Jidan mulai sangat panik, matanya melebar dengan alis bertaut. Cowok itu meraba-raba seluruh kantong celananya dan bahkan bajunya. Tetap ia tak menemukan apa-apa, gemuruh tegar dalam dirinya seolah bergejolak. Ia coba membuka gagang pintu itu dan, terbuka? Tubuhnya mematung seketika. Matanya melotot tanda cemas. Rasa panik yang kian besarnya itu kini beradu dengan debaran rasa takut. Pikirannya mulai berpikir buruk, Jidan sangat yakin ia mengunci pintu itu pagi tadi.
Kakinya dengan berat mulai melangkah masuk, sangat pelan hingga tak ada sedikitpun suara. Cowok itu menjinjit sendalnya kala mengendap-endap masuk. Jidan bahkan bersiaga mengangkat tangan dengan sendal itu dibelakang kepalanya bersiap untuk memukul. Kamarnya sangat gelap, dan raganya seakan dicekal rasa terancam. Matanya tak berkedip sama sekali seraya menerawang tajam mengamati sekeliling.
Jidan mencari seseorang yang ia pikir penyusup itu. Kala berdiri didepan ranjang tidurnya, sesuatu bergerak. Benda yang menggumpal diatas kasurnya itu tampak samar atas bantuan cahaya bulan dari jendela kamarnya. "AAAAAAAAA!!!" teriak cowok itu cepat kala menoleh kebelakang sembari memejam mata. Jantungnya rasa akan copot saking terkejutnya, tangannya secara reflek memukuli gundukan itu dengan sendal yang ia pegang tadi. Sangat keras dan berulang kali tanpa melihat apa yang ia pukul. Teriakannya tak selesai sampai disitu, bahkan hingga suara itu menyatu dengan suara lain.
"AAAAAAA!! APAAN WOI APAAN!" Pekik Darrel kala terbangun dengan kejut yang hebat. Nafasnya langsung memburu, ia pun berteriak sebentar sembari menghindari pukulan itu dibalik bantal. "AW! AW! WOI! SAKIT! APAAN SI!" jeritnya melindungi kepala dengan melipat kedua tangannya didepan muka. Jidan berhenti kala mendengar itu, suara yang tidak asing.
Cowok itu lalu kembali menoleh lurus kedepan, membuka matanya lebar. Masih tak terlihat wajah orang yang tengah terduduk di kasurnya itu. Jidan pun berlari kembali ke arah lemari, lalu menekan saklar lampu disebelah lemari kayu kecil itu. Saat itu pula Darrel keluar dari lipatan tangan yang menghalang wajahnya. Dengan ekspresi geram dan alis yang bertaut, ia menatap Jidan bersiap akan memaki temannya itu.
"APAAN SIH LO PUKUL-PUKUL! SAKIT!"
"Darrel?" Gumam Jidan pelan. Cowok itu menghela nafas lega. Rasanya benar-benar menegangkan kala memikirkan seseorang masuk kedalam kamarnya dengan niat jahat.
"Lo kapan nyampe? Kok gak telfon dulu? Kok lo bisa masuk?" Pertanyaan beruntun itu dilontarkan dengan cepat. Jidan beralih duduk di kursi meja belajarnya, menghadap serong mengadah Darrel. Temannya itu tampak kusut seraya mengacak-acak rambutnya, matanya kembali layu, sesekali tak sengaja tertutup menahan kantuk yang hebat.
"Agh! Besok aja lah Ji ngobrolnya. Ngatuk banget nih, beneran. Lo tidur bawah ya, gue udah nyaman disini" Darrel mendelik, degan suara berat itu ia kembali berbaring dan langsung memeluk guling ditangannya. Jidan menghela nafas panjang, ia pun berdiri, bersiap mengambil kasur santai yang digulung dibelakang lemari. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar kost nya.
"Tadi ada suara teriak-teriak... Ada apaan?" Tanya pria dengan wajah bantal itu. "Oh, enggak kok, bang, eh, mas... Gak ada apa-apa, cuma ada tikus tadi" timpal Jidan gugup sembari menggaruk tengkuk.
"Yaelah... Tikus doang. Kirain kenapa-napa, hadeuh... Tuh liat, kebangun semua tuh orang dibawah" pria itu memonyongkan bibirnya kebelakang, berniat menunjuk beberapa orang yang berdiri diteras bawah rumah kos-kosan itu. Jidan tersentak dengan rasa bersalah.
"Aduh, maaf mas... Maaf banget udah ganggu tidurnya... Bilangin ke semua aku minta maaf ya mas" pinta Jidan sebelum pria itu kembali turun kebawah.
•
•
•"Bi ningsih, ini kenapa makanannya tiga-"
"Beresin aja, aku sarapan diluar" potong Fara pada pembantunya itu kala berjalan pelan menuruni anak tangga dari lantai dua. Mamanya yang kala itu sudah duduk di meja makan langsung terpelongo, matanya melebar melihat putri sulungnya itu tiba-tiba berada di rumah. Papanya pun ikut mendongak keatas kala menoleh kesamping, wajahnya menjadi tegas. Rahangnya mengeras, melihat anaknya yang sudah lama tak pulang itu.
Baru ingin membuka mulutnya. "Pah..." Panggil istrinya lalu menggeleng padanya. Pria dengan stelan jas yang rapi itupun kembali bungkam, dengan redaman yang cekatan didalam dadanya. Ia tak menghiraukan apapun selain makanan di mejanya. Pria itu memutar bola mata melas kala istrinya berdiri dan berlari kecil menyusul langkah Fara yang hendak keluar dari rumah itu lagi.
"Fara..." Panggil nya dengan lantunan lembut penuh kehangatan. Wanita itu berhenti didepan Fara mencoba menahan langkah putrinya itu. "Mama udah nunggu kamu pulang, nak. Tinggal lagi ya, disini? Kita sama-sama lagi... Semua rindu kamu disini. Mama tau, Fara gak berniat ninggalin mama kan? Makanya Fara balik lagi, ya kan? Pergi kemana lagi? Makan dulu... Mau mama yang masakin?"
"Gak usah ma, aku buru-buru"
"Tapi nanti kamu balik lagi kan? Pulangnya kesini, ya?"
"Gak tau, liat nanti"
"Fara..." Mamanya mulai memohon. Nadanya rapuh sekali, wajahnya penuh harap dengan sayup-sayup kesedihan. Fara tak tega melihat itu, hatinya tergores rasanya. "Iya, ma..." Pasrahnya dengan nada lesu. Pandangannya merendah, gadis itu melanjutkan langkahnya dengan sebuah tas ransel dipunggung nya itu. Mamanya masih memandangnya hingga gadis itu benar-benar hilang dari pandangan, lalulah ia kembali duduk di meja makan.
"Gak usah terlalu lunak, nanti dia kurang ajar!" Tekan papa Fara pada istrinya. Makannya tampak tak berselera.
"Fara itu gak bisa di keras-in, pa... Kamu ingat dulu dia angkat kaki dari rumah itu karna kamu bentak! Gak ada anak yang suka dibentak! Hancur hatinya... Harusnya kamu-"
"Kenapa jadi nyalahin aku?! Didikan kamu itu terlalu kuno! Anak jaman sekarang itu gak boleh dimanjain! Liatkan akibatnya! Pembunuh!"
"PAPA!" Teriak wanita itu dengan lantang.
"APA?!" Balas suaminya lebih keras, sembari menekan sendok pada meja.
"Fara bukan pembunuh! dia anak kamu! darah daging kamu! kamu yang gak bisa nerima kematian Freya, kenapa selalu nyalahin Fara?! itu kecelakaan, pa..." Lirih wanita itu hampir ingin menangis. Suarnaya sudah menggema, bibirnya pun sedikit bergetar. Sayangnya, suaminya itu benar-benar kepala batu. Pria itu menepis segala yang ada di depannya. Membuat gelas dan piring-piring diatas meja pecah berjatuhan ke lantai. Ia lalu bangkit dari kursi dan berjalan kesal meninggalkan istrinya disana.
------------------------------------
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kelana [ SUDAH TERBIT ]
Teen Fiction"kita ini apa?" Tanya cowok itu. Akan tetapi tak pernah tau jawabannya. Fara diora zevanya, seorang mahasiswa di salah satu universitas di Jakarta. Gadis tanpa tujuan hidup itu selalu ragu dengan apa arti rasa, hingga berkelana kesana kemari mencari...