13 - Menjadi sandaran

9 2 0
                                    

Bantu vote cerita ini ya :)

Love you guys💐

Thank you for being interested in reading this story💝

--------------------------------------

Angin malam semakin terasa, seolah menggiring sesuatu yang dapat menggetarkan jiwa. Jidan terbaring dengan kedua tangan menumpu kepala belakang. Tatapannya menerawang langit-langit ruangan, sembari berpikir semua kemungkinan-kemungkinan. "Bagaimana kehidupannya dikemudian hari? Apa yang akan terjadi di esok hari? Apa lagi yang akan menimpanya nanti?" Pertanyaan seperti itu memenuhi pikirannya. Kakinya berayun-ayun pelan secara spontan.

Tiba-tiba, cowok itu kembali teringat ponselnya, itu yang membuatnya menjadi sangat bosan dan mulai berpikir hal-hal buruk. Dengan cepat Jidan bangkit dari posisi tidurannya, dan saat sampai di pintu kamar Fara, cowok itu mengecek jam tangannya sebelum mengetuk pintu.

*Tok tok tok
Suara pintu yang sangat pelan. "Ra... Udah tidur?" Ucapnya dari luar, dengan intonasi rendah. "Masuk aja" sahut Fara dari arah dalam, suara gadis itu agak terbata. Dengan perasaan canggung, Jidan membuka pintu yang ternyata tidak di kunci itu. Kamar itu minim pencahayaan, hanya penerangan dari lampu tidur diatas nakas yang berwarna kuning.

"Aku mau ambil handphone" izinnya terus berjalan mendekat kearah nakas disebelah kasur gadis itu. Fara tampak terbaring menghadap samping tepat menghadap nakas yang dimaksud, membelakangi pintu masuk kamarnya. Jidan hanya melihat punggung gadis itu yang dibungkus selimut tebal, tidurnya sedikit meringkuk. Cowok itu dengan sangat hati-hati melangkah, dan berhasil mengambil ponselnya di atas nakas. Saat berbalik, tangan Fara menahannya.

Jidan terkesiap. ia menunduk kebawah menatap Fara. "Kenapa, Ra?" Timpalnya sedikit gugup. Tanpa menjawab, Fara menguatkan tarikannya yang tengah menggenggam lengan Jidan, membuat cowok itu terduduk ditepi kasur. Debaran jantung Jidan memburu seolah akan meledak malam itu juga, nafasnya menjadi pendek dan cepat. Pandangannya liar kesana-kemari menghindari matanya untuk menunduk memandang gadis itu.

"Aku beli apart ini biar bisa sendirian, tapi aku gak mau sendirian, aku gak mau di tinggalin, aku takut orang-orang bakal pergi, aku takut bakal sendirian selamanya" gadis itu balas bercerita, dengan suaranya yang sudah sangat lemas menahan kantuk. Genggamannya semakin kuat, seakan tak akan pernah melepasnya. Tutur gadis itu berhasil membangun simpati Jidan.

Cowok itu dengan tangan kanannya yang menganggur mengelus bahu Fara. "Kamu gak sendiri, kok. Banyak yang peduli sama kamu, cuma mungkin kamu gak tau" usutnya lembut mencoba menenangkan gadis itu yang perlahan mulai terisak tangis. Disela suasana renyap itu, ponsel Jidan yang kembali ia letakkan diatas nakas saat hendak mengelus pundak Fara, berbunyi. Cowok itu menoleh dan menyerong tubuhnya hendak mengambilnya lagi, namun kala baru hendak bangkit, Fara tiba-tiba saja beralih duduk, dan langsung menarik lengan Jidan yang akan menjulur pada ponsel itu.

Gadis itu memeluk Jidan dengan posisi setengah tidurnya. Pipinya tersandar pada dada bidang cowok itu, sebelah tangan mereka berpegangan di samping badan, dan yang satunya lagi, gadis itu melingkarkan nya di pinggang Jidan. Gugup Jidan semakin menggila, tak bisa pandangannya tenang pada satu fokus saja. Seolah adrenalin berpacu dalam nadinya.

"Jangan pergi" lirih gadis itu semakin merendahkan nada bicara. Jidan bingung harus berbuat apa, ia hanya diam mematung saat gadis itu bersandar padanya. Mata Fara sudah tertutup rapat, dengan posisi masih setengah sadar. Air mata juga perlahan berhenti mengaliri pipinya yang basah. Cukup lama Jidan berdiam diri dengan posisi seperti itu, hingga seperkian menit yang hanya ia habiskan dengan memandang sekeliling tanpa menggerakkan tubuhnya.

Ruang Kelana [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang