IG: _fyanxaa.wp
Wkwkwk, ig lagii!!
Jan lupa follow
---------------------------------
"Bim!" Hardik Fara merambat kedalam ruangan. Mereka tengah berkumpul membentuk lingkaran mengelilingi api unggun yang siap membakar ayam yang sudah mereka siapkan sore tadi. Gelegar hangat dari kobaran abi berukuran sedang itu memberikan sensasi nyaman ditengah dinginnya hembusan angin malam yang datang dari arah laut. "Iya sabar!" Teriak Bimo dari dalam villa itu. Semua tertawa menyimak amarah yang tak serius itu.
Tak lama cowok itu keluar dari dalam, menenteng besi pembakaran, dan juga alat-alat dapur lainnya. "Ngapain lo bawa semua! Gue bilangnya piring sama panggangan doang!" Kesal nya berkacak pinggang. Gadis itu mengela nafas berat berancang-ancang melanjutkan celotehannya. Disaat yang lain sibuk tertawa dengan kekonyolan itu.
"Sini, aku yang panggang" tawar Jidan kala berdiri. Cowok itu dengan wajah riangnya mengambil semua peralatan di tangan Bimo. Darrel yang kala itu tengah kosong, berinisiatif mencari sesuatu untuk di lakukan. "Eh didalam ada gitar kan, ya? Boleh dipakai kan?" Tuturnya pada Bimo.
"Boleh kayak nya, ambil aja" jawabnya yakin, secara Bimo adalah orang yang memesan villa itu. Nessa, Zila dan juga Fara menyiapkan hal lain untuk mereka semua. Fara menawarkan diri mengolah minuman. Tanpa ragu ia mengayunkan cepat palu besar di tangannya untuk memecah es batu. "Hati-hati, Ra..." Celetuk Jidan, cowok itu berjalan sedikit meninggalkan panggangan yang sedang ia pegang. Sementara itu Bimo menganga membentuk bulat bibirnya dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan. "Widih..." Ledeknya seolah itu hal yang sangat hebat, diakhiri oleh tawa puas diakhir kalimatnya.
Jidan mengambil es batu dan palu itu dari tangan Fara untuk menggantikannya. Sebelum palu itu sampai ditangan Jidan, Fara menggertakkan benda tajam itu kearah Bimo sambil melotot kesal yang dibuat-buat. "Eh, udah... Nanti beneran kena, bahaya" cecar Jidan sedikit waspada. Nadanya sangat pelan dan lembut. Gadis itu lalu menoleh ke samping, menebar senyuman mengungkap rasa gemas yang ia rasakan pada cowok itu. Sangat dekat jarak antara wajah mereka dan itu membangkitkan pikiran nakal Fara.
Cewek dengan baju kaos oversize berwarna putih itu dengan gerakan cepat mencium pipi Jidan lalu kabur masuk kedalam. Cowok itu mengerucutkan bibirnya menahan mekarnya senyum yang akan muncul dari wajahnya. Usahanya menyembunyikan rasa senang itu tak begitu mudah, tawa kecil terdengar samar keluar dari mulutnya saat wajah yang diterpa cahaya api unggun itu menarik senyum simpul yang sangat indah.
Darrel dan Bimo tersenyum tipis. Darrel dengan sedikit perasaan syok menyelimuti dirinya, tak menyangka akan ada pemandangan seperti itu. Disisi lain, Nessa dan Zila saling memandang satu sama lain. Merasa gemas dengan itu dan menebar senyum tipis sembari menggeleng kepala.
Beberapa saat setelah bersenang-senang, banyak hal lain yang mereka lakukan untuk mengisi malam yang panjang itu. Darrel dengan sebuah gitar yang bertengger diatas pahanya mulai melantunkan melodi indah, di iringi lembutnya suara mereka yang menyatu dalam susunan irama. Api unggun yang tengah mereka kelilingi pun tak kunjung mengecil, seolah ingin abadi menemani bahagia mereka kala itu.
Menikmati lamunan lirik ditemani sepoi-sepoi dingin dimalam hari memang sebuah hal yang paling menyenangkan. Suasana malam yang tenang dengan pijar redup dari cahaya bulan pun ikut membantu menemani. Fara yang sedari tadi duduk disebelah Jidan, memiringkan kepalanya bersandar pada bahu bidang cowok itu. Menyadari pergerakan itu, Jidan mempertegas duduknya, tangannya dengan lembut mengelus wajah gadis itu.
***
Darrel berdiri dipinggir balkon, dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya. Lamunan dengan tatapan kosong itu menerawang hempasan ombak yang semakin besar dilaut bawah sana. Hanya diterangi dua tiang lampu berwarna kuning di kedua sisi pojok balkon yang lumayan luas itu. Darrel berdiam diri menyatu dengan sunyi, gelap malam rasanya menyajak ia bercerita. Satu hal yang sedang memenuhi pikirannya, hendak menenangkan perasaan nya yang mendadak berdesir, tentang seseorang yang membuat segala-galanya menjadi tak tenang dalam hidupnya belakangan ini.
Tanpa ia sadari, dibelakangnya, Jidan muncul dengan langkah gontai sembari mengucek matanya yang masih penuh rasa mengantuk. "Rel?" Panggilnya dengan nada lesu dan suara yang lemas. Matanya menyipit sembari bergerak maju. Menyadari hari masih gelap, dan dirinya yang penasaran dengan kegiatan Darrel di subuh-subuh buta itu. Jidan ikut berdiri, menyilang kedua tangan dan menyandarkannya pada pagar balkon. "Ngapain?" Herannya menoleh dengan mata yang kini sudah terbuka sempurna.
Darrel dengan gerakan lambat ikut menoleh kearah Jidan, wajah sendu yang sedikit kosong itu diam sejenak. Jelas sekali bahwa pikirannya sedang bekerja. "Semua baik-baik aja, kan?" Lanjut Jidan saat masih belum ada satupun kalimat yang keluar dari mulut Darrel. Cowok dua puluh tahun dengan rambut belah tengah ity menghirup nafas dalam sebelum kalimat pertamanya terucap. "Gue suka sama Zila... Lagi..." Tuturnya dengan intonasi tegas. Sedikit tatapan intimidasi yang lembut, bersiap untuk respon apapun itu dari Jidan.
Pupil Jidan melebar dengan cepat, matanya bulat besar, rahangnya pun sedikit turun kebawah. Itu hal yang sama sekali tak pernah ia sangka, karna memang tak pernah ada pertanda. Ia memperbaiki berdirinya, menyerong badan kesamping menatap lurus pada Darrel. "Lagi? Maksudnya?" Gumam Jidan penuh rasa penasaran, wajahnya masih tenang dengan bola mata yang sedikit berbinar itu.
Darrel menyerong badan, kembali menghadap kearah laut sembari memandangi indah dalam gelap itu dengan mata sendu. "Dari dulu juga gue suka sama Zila, tapi pas tau lo suka sama dia juga. Gue berusaha buang rasa itu, gue gak mau kehilangan temen kayak lo cuma karna cewek, Ji. Gue juga sempat bahagia, waktu lo benar-benar berhasil deket sama dia, rasanya aneh kalau gue bilang gue gak sakit hati, tapi gue juga gak merasa menang saat dulu lo sama dia asing gitu aja"
"Kenapa gak cerita dari dulu, Rel? Lo bilang lo gak suka ada rahasia-rahasia an, tapi lo?"
"Iya, tau. Gue salah, tapi gue gak nyesel. Sekarang udah tau, kan? Gue masih bingung sama lo, dan ngerasa kalau sekarang sebenernya masih belum waktu yang pas buat bilang ini. Lo kenal Fara kapan? Lo beneran mau sama dia? Kenapa masih ada foto Zila di meja belajar di kamar lo?"
Pertanyaan beruntun itu menarik senyum tipis yang sempat mekar sebentar di bibir Jidan. "Gue sayang sama Fara, Rel. Gue juga udah gak berharap sama Zila. Foto itu, bagus aja..., tapi kalo lo gak nyaman, nanti pas balik ke Jakarta, gue copot" jelasnya dengan wajah yang sangat yakin dan jujur.
"Hah? Kenapa jadi karna gue?"
"Gue seneng, kalau nanti Zila sama lo. Karna gue tau lo itu orangnya gimana" Jidan mengulas senyum lebar. Tak ada sedikitpun rasa keberatan yang terlukis di wajahnya, rasanya semua sudah mulai kembali pada jalannya masing-masing, bahwa hatinya memang tak disana lagi. Jidan menepuk pelan pundak Darrel dengan senyuman penuh dukungan itu.
Subuh pun hendak pamit, cahaya mahatari mulai memunculkan pancarannya setelah bersembunyi di ufuk timur, menghancurkan gelapnya langit di ujung cakrawala kala fajar menyingsing diujung gelombang laut didepan mereka. Langit merah itu menampilkan sisi lain dari keindahan pantai.
---------------------------------------
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kelana [ SUDAH TERBIT ]
Teen Fiction"kita ini apa?" Tanya cowok itu. Akan tetapi tak pernah tau jawabannya. Fara diora zevanya, seorang mahasiswa di salah satu universitas di Jakarta. Gadis tanpa tujuan hidup itu selalu ragu dengan apa arti rasa, hingga berkelana kesana kemari mencari...