Twenty Four (II)

20 5 0
                                    

14 days. #G7 #7Q

"Jangan ada yang mendongak ke atas." Leona memberi peringatan rendah, tetapi cukup jelas untuk diterima di radar pendengaran. "Kita tidak pernah bisa berselaras dengan kepala sekolah."

Azul menghela napas penat, dan panjang. Ia bersinggung tatap dengan Leona sebelum mengangkat bahu, dan bersandar pada dinding di dekatnya. "Namun, kita masih memanggilnya sebagai atasan kita."

"Mau bagaimana lagi?" Komentar Riddle terdengar menelan emosi susah payah. "Statusnya masih begitu."

Vil menelisik dalam diam pada seorang tamu tak diundang. Bersama dengan Malleus yang kewaspadaannya tidak lengah, dan Idia yang memijit batang hidunya dalam pening.

"Undangan apa? Anda dari Departemen Sihir, bukan?"

"Cerdas." Pria itu bilang pada Vil. "Tak hanya memiliki bakat dalam dunia peran, dan tarik suara, intiuisi Vil Schoenheit ternyata begitu tajam. Tak heran ia adalah G7 yang paling bisa dijadikan mentor untuk orang lain. Bagus sekali, bagus sekali."

Ada seringai kecil dari Vil begitu ia bertolak pinggang. Alis menukik membentuk garis tinggi, dan samar di bawah bayang poni dengan sorot mata menggulir dalam kepuasan tersendiri. "Adakah kau-wahai tamu tak diundang-berpikir bahwa memujiku kelak akan membuatku membantumu untuk keluar dari situasi ini?"

"Tidak." Seulas senyum tipis terbit di wajah, saat ia membagikan undangan berupa gulungan dengan sedikit sihir pada ketujuh pemuda di hadapan. "Aku rasa, kalian sadar bahwa Departemen Sihir sedang mengunjugi institut-institut sihir di pulau ini."

"Lebih kurang." Idia sudah kembali ke sisi Russet untuk memindahkan undangan itu ke tangan gadisnya. Agaknya, hendak mendiskusikan sesuatu bersama. "Aku kira itu hanyalah kabar burung." Sarkasnya tiada tara, sampai membuat Russet menggelengkan kepala dalam geli.

"Undangan Kompetensi...?" Malleus membaca tajuk yang ditulis sambung menggunakan tinta putih di permukaan hitam. "Seperti pelatihan?"

"Tepat."

"... Kami akan diskusikan ini dengan 7Q dahulu."

"Hooo..." Malah tamunya yang tersanjung. Lekat-lekat ia memandang satu persatu pemuda pemudi di seberangnya. Yang tengah bisik-bisik sembari mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang, memperhitungkan hal yang mungkin saja bisa terjadi di luar dugaan mereka. Sesekali ketujuh pasang mata wanita muda yang berdiri di hadapan dada ketujuh pilar Night Raven College itu memindai penuh arti meski raut wajahnya tidak ditunjukkan dengan gamblang. Dalam tiap tarikan, dan embusan napas, mereka mengangguk, sesekali menanggapi opini kepala asrama yang lain.

"Departemen Sihir memberi waktu 72 jam untuk memutuskan yang terbaik. Mungkin saja, jika diberi kesempatan senggang di antara hari-hari berikutnya, kalian bisa melihat peluang menguntungkan dari undangan ini."

Leona mendecakkan lidah dalam jengkel. "Banyak omong."

Malleus tertawa mengejek di bawah napasnya.

Yang mengundang dibuat menggulirkan bola mata dalam diam. Antara memendam cacian, atau hinaan, ia merasa tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal tak terpuji seperti itu dalam lingkungan akademik. Terlebih, mencari perkara dengan G7. Itu merupakan pilihan terakhir yang akan ia pertimbangkan walau sudah berada di ujung tanduk sekali pun.

"Baik, jika kehadiranku masih membuat darah kalian mendidih, aku pamit undur diri."

"Sebentar." Suara Yinyue menghentikan lipatan jubah yang hendak dilakukan oleh si tamu. "Bagaimana kami bisa yakin bahwa ini bukanlah sebuah jebakan? Seperti yang kami ingat, reputasi Departemen Sihir beberapa waktu lalu sempat terguncang karena kasus pembunuhan murid karena melanggar tradisi, dan kalian berdalih di balik itu adalah budaya." Sorot matanya cenderung menyipit, dan memberi sorot kurang percaya. Dalam hal selanjutnya, kedua bola mata itu terang seperti permata dalam gua.

"Ah, aku ingat." Andela mengangguk, seakan-akan mendapat ilham dari diamnya mulut, dan perhatian-perhatian yang ia lakukan untuk mengamati suasana. "Yang hari itu, kasusnya langsung di take-down dari media, ya? Aku penasaran, bagaimana kelanjutan dari kasus itu." Belah merah jambunya mengukir seringai tipis. Alis terangkat penuh tanda tanya besar, seakan-akan, masih ada tragedi berdarah yang mewarnai dunia sihir.

"Semakin dikit yang kautahu, nona, itu akan semakin bagus." Balasnya. Si utusan tahu bahwa itu merupakan gertakan, ia juga tak bisa mengelak dari kejadian yang menjadi memori terkelam dalam dunia cermin. "Namun, aku rasa kalian semua tahu bahwa selepas kejadian itu, staf inti dari Departemen Sihir diganti, benar? Dan aku termasuk orang baru."

"Ara..." Vil mencela. "Orang baru? Pantas saja tak mengenal moral memasuki ruang rapat.

"Moral?"

"Kenapa? Tidak terima?" Vil menjawab lagi dengan menggeleng kecil. "Tak akan aku gunakan etika di sini. Semestinya, Anda, orang atas, mengetahui hal ini lebih baik. Aku benar-benar tidak suka ada orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi di atas kami, tetapi moralnya sama sekali lebih rendah ketimbang anak-anak yang menangis sebab tak diindahkan permintaanya. Pantas kamu menyebut diri sebagai utusan Departemen Sihir?"

Dilara mengusap lengan Vil, berupaya menenangkan dirinya sejenak dari kepala yang mendidih.

"Begini-begini, kami tidak begitu menyukai cara heboh Anda untuk masuk menyela rapat dengan sembrono." Azul menaikkan kacamatanya. "Apalagi, posisimu persis seperti orang yang membawa ancaman."

"Baik-baik, berhentilah memaki." Crowley menepuk tangan untuk mengalihkan atensi yang tegang. Ia turun dengan melompat, menjejakkan kaki dengan tongkat sihirnya. "Aku kira, kita semua tahu bahwa kasus itu telah lama bersih."

"Aku tidak menyalahkan mereka atas sikap skeptis mereka." Nadanya terdengar memuji meski dihantam fakta sana sini. "Itu menandakan bahwa semua pilar di sini cukup celik untuk mengamati hal-hal yang cukup jauh dari jangkauan. Memang semestinya, orang yang berpendidikan agak awas dengan gerak gerik orang atas." Bayangan akan kejadian yang sempat menghebohkan masyarakat itu memang masih menyelimutinya, terutama, memberikan kepercayaan yang menurun kepada pihak Departemen Sihir, hingga sekarang. "Kalian bisa mendiskusikan undangan ini. Tiada salahnya bergabung untuk pelatihan."

"Bagaimana dengan institut sebelum ini?" Riddle bertanya kembali. "Mereka menerima undangan ini?"

"Menurutmu?"

"Enyahlah."

Hanya tawa menggema yang terisa dari pusaran angin yang dibuat oleh jubah yang berkelibat. Selanjutnya, Idia menjulurkan lengan untuk memberi ketenangan pada api biru yang tersisa sebelum mereka benar-benar padam.

"Aku enggan diskusi di sini." Gumamnya tanpa minat. "Mood-ku sudah terganggu.

"Baik." Vil memberikan undangannya pada Dilara. "Kita ke Pomefiore saja, di ballroom."

"Boleh." Leona mengangguk kecil, meminta Leah, dan perempuan lainnya berjalan lebih awal. "Aku bisa sekalian rebahan."

"Tipikal." Malleus mencemooh.

Kalim berkata dengan antusias. "Selesai diskusi, apakah kita akan menari!?"

Dan untuk kali pertama, G7 sisanya menanggapi dengan pemikiran yang sama. Kecuali Malleus. "TIDAK!"

"Boleh juga."

June 29, 2024.

aoiLilac.

NestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang