Twelve.

44 7 0
                                    

Worst Enemy in Literature.

Jika ada mesin waktu, keinginanmu untuk berbicara empat mata dengan Ferdinand de Saussure dan mengeluhkan linguistik serta cabang-cabangnya persis di depan wajahnya dengan kumis melintang itu. Kuat pada kajian sastra, tetapi tak berdaya menghadapi linguistik, bisa-bisa membuat IPK-mu terancam dalam guntur yang hendak mendatangkan badai di akhir semester nanti.

"Agak tidak lucu kalau aku kalah hanya karena pragmatik..." Retorismu mengembara di antara rak buku perpustakaan. Tak menyangka kelak mendatangkan perhatian kakak kelasmu yang tidak cukup sering terlihat.

"Ah, hito no ko." Ia menyapa. Tangannya meraih buku yang engkau hendak raih dengan kaki berjinjit. "... Hm." Begitu rendahnya senandung singkat saat membaca tajuk buku sebelum manik kulit jeruknya menelanjangimu dalam sorot tak terbaca. "Pragmatik?"

Bibir bawah digigit tanda gugup, anggukan Malleus terima darimu. "Y—ya..." Almamater kauremat pelan mengalihkan kegundahan batin. "... Kutahu kelemahanku, Kak."

"Lalu?"

"Aku berniat merangkumnya."

"Linguistik tidak akan bisa kamu rangkum jika kamu tidak mengerti intisarinya."

"Apa boleh buat?" Kekehmu miris. "Aku hanya ingin sastra, bukan linguistiknya."

Malleus Draconia terhibur dengan bibir lembabmu yang mencebil berangsur cemberut sembari menahan gejolak merah padam yang tidak mampu disembunyikan oleh helai ivory-mu yang mencolok itu.

"Major kita sama, tentu. Hanya saja, yang membedakan di sini aku sudah memasuki tahun terakhir, sedangkan kamu masuk tahun ke dua. Ini termasuk cepat karena kamu sudah mempelajari pragmatik." Seraya menyamai tingginya denganmu, Malleus mencoba mengerti gundahmu sebaik mungkin dengan membaca raut wajah dara yang bersanding dengannya dalam hening seperti buku. "Kutahu kamu mengatakan bahwa linguistik adalah musuh terbesar bagi kita sebagai pelajar sastra, bukan begitu?"

"Hmph. Aku tidak salah!" Balasan datang dengan tangan terlipat di dada dan wajah yang berpaling, Malleus malah mendaratkan tangan besarnya di pucuk lawan bicaranya.

"Aku tidak bilang kamu salah. Mari." Ia menjulurkan tangan, menunggumu untuk meraihnya. "Akan kubagi sedikit ilmuku padamu, hito no ko. Hitung-hitung, kamu adalah sosok favoritku di akademi ini."

Walah. Walah.

Bagai mendapat durian runtuh.

"Mau! Aku mau, kak!" Katamu dengan nada terlampau tinggi menandakan suasana hati yang baik, hingga Malleus menahan bahumu dan menjentikkan jemari telunjuk secara sugestif di belah merah jambu.

"Ini di perpustakaan." Bisiknya menahan tawa. "Tak diperkenankan untuk mengeluarkan suara berisik."

"Ah, lupa!"

Malleus tertawa rendah. Sekiranya, ia mencari tempat duduk yang dikiranya cukup nyaman. Tidak terlalu sepi, tetapi tidak juga sebaliknya. Menghindari tempat duduk di dekat pintu, atau di sudut ruangan menghindari asumsi pelajar lain yang tidak perlu. Malleus kini membawa anak orang, bukan dirinya sendiri yang akan mencari tempat di sudut lain yang cenderung sepi dan tak banyak menerima sinar matahari. "Apa terasa nyaman untukmu jika kita duduk di sudut ini?" Sepasang kelereng kembali memindaimu dan menanti jawaban.

"Nyaman, kak." Kursi dan meja itu tidak terlalu di tengah, tidak juga terlalu di sudut ruangan. Ada sekat di antaranya yang terhubung dengan rak buku lain.

Malleus mengangguk saat menyalakan lampu meja belajar, yang menandakan bahwa ia siap membantumu mengatasi suatu hal. "Bisa kulihat catatanmu?" Senior itu menyingkirkan catatan dan beberapa bukunya sendiri hanya untuk menyambut bindermu yang mungil bersampul cokelat teriring corak bunga kelir maroon.

Begitu apik jemarinya membalik halaman demi halaman yang kautulis sambung dengan tinta biru. Sedetik, Malleus mengagumi tulisanmu yang tidak jauh berbeda dengannya, tetapi ia tidak menunjukkan secara langsung walau garis tipis di bibir gelapnya mengatakan hal yang sebaliknya, sebelum ia menemukan akar dari permasalahanmu. "Ah, ini," Katanya, mengembalikan catatanmu saat jemarinya menunjuk. "sebenarnya, pragmatik itu tidak jauh berbeda dengan semantik. Namun, kamu masih keliru pada bagian percakapan untuk maksim kerja sama. Perhatikan baik-baik, dari awal, kamu salah menulis penutur dan petutur."

Kaulantas mengangguk-angguk mendengarkan arahan dan jabaran dari Malleus Draconia yang menguasai linguistik. Tidak bertele-tele ia mengajarkan apa yang ia bisa. Bahasanya ringkas, jelas, dan padat sehingga suara beratnya bagai melodi di telingamu.

"Ini tidak akan sulit jika kamu mengerti dasar dari percakapan. Tahu 'kan kalau pragmatik itu makna yang tersembunyi?" Katanya. "Sekarang, dari apa yang kututurkan tadi, kuminta kamu rangkai dengan bahasamu sendiri sedangkan aku menandai beberapa halaman di buku yang kupinjam, apa bisa kita melakukannya, hito no ko?"

Engkau menyanggupinya.

Malleus tidak lantas menutup jarak pada aktivitasnya, sebisa mungkin, buku dan catatannya tidak mengganggu permukaan meja yang kaugunakan. Mencoba menguraikan ulang apa yang Malleus katakan membuatmu lebih paham mengenai salah satu bagian pragmatik yang menggungah gundahmu sepanjang hari. Kauraih sebagian kain almamaternya, dan menunjukkan hasil parafrasemu.

"Hm." Angguknya. "Akan lebih baik jika kita menyertakan contoh. Tulislah contohnya, agar kamu paham. Tak perlu yang berlebihan, cukup kalimat sederhana yang mudah diingat agar bisa berkembang menjadi kalimat kompleks di lain hari."

"Oh—" Katamu cepat. "Iya baik!"

Malleus membubuhkan senyum di bibir gelapnya. Baginya, memiliki seseorang yang antusias sepertimu adalah hal yang menyegarkan. Kala itu, ia kembali berkutik dengan catatannya sendiri, sesekali mengetik sesuatu dalam macbooknya. Tiada yang bersuara, berjam-jam dilalui. Engkau pun juga bukan tipe yang mudah teralihkan jika belajar, dan Malleus adalah yang menyukai ketenangan. Namun, hal itu tidak selamanya bertahan kala engkau kembali menarik sejumput kain almamaternya.

"Seperti ini, kak?"

Teralihkan sang putra mahkota; ia kembali menggulirkan atensi pada catatanmu. Dalam kegugupan yang menguasai dada, jemari terkepal hingga buku-buku tanganmu memutih menunggu kritik atau saran dari kakak tingkat yang bersedia membantu. "Hm... kamu tidak buruk juga." Ia memuji, membuatmu bernapas lega karena satu dua hal. "Lebih kurang, kita memiliki cara belajar yang sama. Mulanya, dijelaskan dahulu dan dirangkum kembali. Dan, memang ada beberapa orang yang lebih senang jika ia mendengarkan penjelasan orang lain—dengan kata lain audio, atau dengan audiovisual; seperti Shroud." Penjelasannya begitu sederhana, dan memang menenangkan. Selayaknya embusan angin yang melewati hutan hujan. "Lilia mengajariku banyak hal." Dikembalikannya catatanmu, engkau memandangnya penuh rasa ingin tahu pada kalimat selanjutnya, dan meresapinya dalam hening. "Ia mengajariku dengan keras."

Si hawa memandang sang adam yang kembali pada tanggung jawabnya. Dalam wajah tenang itu, jelas raut yang agak terbebani dengan tanggung jawabnya kelak. Ia pemimpin, jelas. Bukan hanya memimpin satu rumah atau bagaimana, ia akan memimpin sebuah kerajaan. Dalam hari-hari ia habiskan; tak lain tak bukan hanya untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik, terlepas dari kekurangan yang ada. "Kakak 'kan calon raja." Katamu, "Jadi, kurasa cara yang dilakukan oleh kak Lilia itu tepat. Maksudku, seorang pemimpin harus bisa memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang banyak."

Inilah hal yang Malleus sukai dari fana sepertimu. Ia bersitatap sejenak dengan lawan bicaranya, sebelum menangkup pipimu dengan tangannya yang besar. Ia menyukai kalimatmu yang jujur apa adanya, selalu terlihat polos, tetapi menyimpan banyak makna lain yang mampu ditafsirkan oleh sosok seperti Malleus dalam cara pandangnya yang lain.

"Kamu selalu pandai menghibur orang lain, bukankah begitu?"

"Kenyataan kakak, mah."

Petang itu, Malleus tergelak. Tiada yang mampu membandingi entitas dari pelajar favoritnya kala takdir mengizinkan mereka bersua.

February 05, 2023.

aoiLilac.

NestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang