Four.

96 21 0
                                    

If.

Selamat malam, nona Ann. Maafkan kelancanganku menghubungimu lewat pesan. Namun, bisakah Nona kembali ke mansion secepatnya? Kesehatan Ayahmu kembali menurun.

Sebuah pesan singkat terketik rapi; formal dengan segala intonasi ketegasan yang terselip sejumput permohonan untuk mengabulkan permintaan si pengirim sudah kau terima dengan baik. Mengundang pupil yang bergetar samar tanpa kelopak yang turut berkedip. Sorot memancarkan sebuah keraguan, tanpa kau sadar, bahwa figur lain menangkap kecemasan yang tengah kau sembunyikan.

"Ada apa?" Tegur seorang lelaki yang duduk persis di sisimu. Di meja bundar berlapis kain merah dan putih yang diisi oleh empat orang. Dan kau adalah salah satunya. Lelaki yang memandangmu penuh tanya itu langsung menyadari gelagat aneh Istrinya. Lantas, tak perlu baginya untuk berpikir melontarkan pertanyaan atau membiarkan wanitanya sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Ayah." Paparmu rendah setengah berbisik. Kelak bertemu dengan amber kuning terang bagai purnama yang menaungi semesta malam. "Agaknya, drop lagi."

"Ah." Sepintas, senyum tipis kau dapat darinya. Upaya menghilangkan kabut kegelisahanmu yang tertangkap basah olehya. "Jika begitu, apakah sopan untuk kita meninggalkan tamu, Ann?"

"Mengapa bisik-bisik?" Satu pertanyaan kembali terlontar. Datang dari sosok pria yang duduk di seberangnmu. Tampaknya, ia telah memerhatikan gelagat kalian berdua, sampai-sampai, ia turut menghentikan aktivitas santap malamnya di tengah-tengah pesta. "Ada apa?" Ia bertanya. Skeptis. Sebelum tangan wanita anggun lain mendarat di pundaknya. Turut menunggu jawaban yang keluar dari belah ranum-mu.

Mertuamu di sana.

Idia Shroud dengan Russet Hellebore yang kini memakai nama belakang Shroud setelah resmi dinikahi oleh Idia dalam altar suci yang mengikat janji sehidup semati.

"Maafkan aku, Ayah, Ibu." Sesalmu. "Hanya... aku menerima sebuah pesan dari Paman Jade. Ayahku drop."

Terpahat raut prihatin dari Ibu mertuamu. Di balik lensa bulat yang membingkai mata, tak ada kabut duka yang berhasil ditutupi. "Daffodil, temani Istrimu pulang, nak." Nada yang dikeluarkannya sungguh lembut. "Ayahnya membutuhkan Putri satu-satunya untuk saat ini."

"Namun—bagaimana kami berdua meninggalkan tamu-tamu ini, Bu?"

"Turuti Ibumu, Daffodil." Champange diteguk, menyisakan basah di sekitar belah birunya. "Ibumu yang akan mengendalikan acara ini. Pergilah. Sampaikan salam kami untuk Ayahmu nanti."

Lantas, kau berdiri. Menundukkan kepala formal untuk kepala keluarga Shroud bermahkota biru yang masih memerhatikanmu dalam diam. Agaknya, ia memang tidak salah membiarkan Putranya menikahi Putri—adik kelasnya saat masih kuliah dulu; Azul Ashengrotto. Ia begitu sopan. Tuturnya begitu teratur. Lembutnya seperti sang Ibu; Andela Tone, dengan segala tindakan yang turut diperhitungkan seperti Ayahnya. Jika dikatakan, sosok ini memang pantas mendampingi Putra semata wayangnya.

Takdir memang tidak ada yang tahu, 'kan?

"Terima kasih banyak, Ayah, Ibu. Aku menghargai kebaikan kalian."

"Tak perlu dipikirkan." Russet membesarkan hati menantunya. "Salin pakaian, dan bawalah beberapa pasang baju. Temani Azul-kun hingga keadaannya lebih baik."

n e s t a

Takdir manusia memang tidak pernah ada yang bisa menebaknya, benar?

Duduk di tepi jendela pesawat merupakan favoritmu saat burung besi pribadi keluarga bangsawan Shroud melintas cakrawala. Memandang gulita dengan gemintang, maupun canvas biru berbubuh kapas tipis dari ketinggian saat semua orang di permukaan tanah sibuk dengan urusan dunia.

NestaWhere stories live. Discover now