Seventeen.

47 6 0
                                    

Florist.

Jika ada hal yang bisa membuat Azul segar dalam kubiknya ialah pemandangan nabastala kebiruan yang menenangkan sanubarinya dengan gurat tipis awan yang berarak, maka dugaan itu salah. Sesekali pangkal hidung dipijat. Jenuh dengan tugasnya sebagai Chief Executive Officer dalam jerih payah yang ia mulai dari nol dengan air mata dan darahnya sendiri, Azul menghela napas. Beberapa hotel di kota besar adalah miliknya. Kemampuannya dalam memasak membuatnya mampu membuka restoran yang memiliki beberapa cabang di tahun-tahun berikutnya. Keunggulannya dalam hal memainkan alat musik mampu membuatnya mendirikan tempat-tempat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang hendak belajar.

Namun, kembali pada problematika awal yang terletak dalam satu frasa.

Jenuh.

Kelopak mawar dalam vas yang separuhnya diisi air mulai tanggal satu persatu. Berubah warna menjadi hitam, dan mengerut serta lebih rapuh.

Akan tetapi, bukan mawar itu yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan gadis yang menunggu toko bunga di antara gang tepi jalan itu. Perawakannya mungil, matanya biru besar seperti langit musim panas pertengahan Agustus. Di antara wajah teduhnya, bibirnya merah jambu kecil nan tipis, senantiasa mengumbar senyum walau bunyinya nyaris tak terdengar.

Kini, mawar yang dibeli Azul sudah memasuki fase layu. Dan itu berarti, ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan gadis yang bahkan tak ia ketahui namanya, tetapi berhasil memikat atensi penuhnya, selayaknya lebah yang tertarik pada nektar, atau bahkan lalat yang hinggap di antara sampah.

"Tidak. Gadis itu adalah bunga. Bukan sampah." Kilahnya sendiri pada monolog dalam kepala saat ia turun dengan lift.

Senyum-senyum yang ditunjukkan oleh bawahannya itu bisa bermakna dua; palsu, atau dengki. Namun, Azul sudah membaca buku yang kurang lebih menyangkut petuah-petuah seni untuk bersikap masa bodo. Ia tidak memusingkan hal-hal yang bukan urusannya, ia hanya terus berjalan melalui lobi utama dengan kemeja yang senantiasa melekat padanya, dan coat yang melindunginya dari angin.

Mata di balik bingkai beningnya menyusuri jalanan dengan tenang. Mengamati perilaku-perilaku manusia hingga kesimpulan untuk sudut pandangnya ditarik dalam hati. Tak mencemooh, hanya bersikap sarkasme yang enggan ia utarakan karena malas.

"Orang bodoh mana yang pakai sendal, tetapi menggunakan kaus kaki?"

"Datang dari kota mana orang itu saat musim panas seperti ini malah memakai jersey?"

Musim panas... ya?

Jika dipikir-pikir, Azul tidak pernah menyukai musim-musim tertentu.

Musim panas baginya adalah salah satu ujian karena fisiknya yang tidak terlalu tahan dengan terik sang raja siang. Lalu di saat bunga bermekaran mengirim aroma sendu nan manis di sepanjang jalan, Azul senantiasa membuka kaca mobilnya hanya untuk menikmati aroma musim semi. Jika musim salju tiba, Azul hanya menikmati hamparan putih dari pemandangan gedungnya tanpa menghangatkan suhu ruang karena ia memang sudah terbiasa dengan dingin.

Kala musim gugur tiba, Azul bisa merasakan siklus kehidupan manusia yang begitu erat kaitannya dengan musim gugur. Mengapa? Seperti ini, musim gugur adalah musim yang paling memesona-menurut buku yang ia baca-sebab, daun-daun jingga kecoklatan itu hanya tumbuh dan bersedia untuk luruh dalam waktu beberapa minggu. Sesaat, tetapi berkesan.

Sama dengan manusia; dan wanodya itu.

Tampak begitu segar siluet dari gadis yang tengah menata bunga-bunga di dalam tokonya. Gaya rambutnya selalu diubah. Terkadang ikat tengah, atau kuncir kuda. Bisa jadi dikepang, atau disanggul asal, tetapi menyisakan banyak rambut lain untuk membingkai wajah ovalnya. Manis.

"Selamat datang."

Aduhai.

Bunyi yang menyambut siapa pun yang datang dari pintu kaca tembus pandang setelah bunyi rincing dari bel yang dipasang dipintu selalu menjadi favoritnya saat mengunjungi tempat ini. Batinnya terasa damai, senyum sejuknya bagaikan penawar untuk kejenuhannya. Mata itu senantiasa cerah, selayaknya teratai.

"Ah, Anda, tuan." Ia menyapa. Seperti sudah kenal, padahal belum tahu nama dari pria yang masih menunggu ia menyambung kalimat selanjutnya. Namun, bukti bahwa serangkaian frasa barusan memperkuat fakta bahwa Azul senantiasa mengunjungi toko bunga ini. "Mawar seperti biasa?"

"Bosan."

Raut keterkejutan tampak begitu transparan di wajah wanita muda di seberangnya. "Oh, maafkan kekeliruanku, tuan. Silakan dilihat-lihat saja dahulu." Senyumnya tak hilang, nadanya pun masih terdengar begitu ramah.

"Sekiranya, apa nona mempunyai rekomendasi untuk Saya?"

Tercipta jeda yang tak sebentar, sepasang mata turut memandang meja-meja yang diisi dengan berbagai bunga-bunga yang dijualnya.

"Anggrek?"

"Manis."

Terpahat senyum yang elok, serta membawa sang pengunjung untuk mendatangi banjar yang diisi anggrek. Tampak segar dan merona. Menawan, dan manis.

"Putih." Kata Azul. "Apa artinya?"

"Kerendahan hati, serta kemuliaan bagi seseorang yang hidup untuk menerimanya."

"Merah?"

"Melambangkan gairah, serta kekuatan dan keberanian."

Azul terdiam. Menahan senyumnya saat gadis itu menjawab singkat dan padat, tetapi tak terdengar kesal. Sisi wajah gadis itu bahkan tengah ia ingat baik-baik.

"Hijau?"

"Keberkahan, dan kesehatan."

"Begitu?"

Ada geming sejenak sebelum Azul melanjutkan.

"Saya ingin kamu yang memilihnya untuk Saya."

"Sebuah keputusan yang tidak terduga." Jawabnya santun. "Putih."

"Warna favoritmu?"

"Hitam."

"Gelap sekali."

Gadis itu tertawa.

"Bawakan Saya anggrek itu."

Diikat pita senada dengan warna matanya, Azul menerima bunga itu dengan seulas senyum, sebelum lenyap garis lengkung itu.

"Mohon maaf, tuan. Apakah anggrek-anggrek ini terlalu biasa?"

"Menawan."

"Lantas, mengapa wajahmu begitu... redup?"

"Ini artinya, Saya tidak bisa bercengkerama denganmu saat bunga ini kamu berikan?"

Gadis itu menawarkan senyumnya, ia tidak menjawab. Hanya menunjukkan wajah yang terlalu sejuk untuk dipandang. Ah, teduhnya.

"Begini saja," Azul memulai. "Saya ingin kita mengobrol biasa. Di luar hari kerja."

"Ya?"

"Kamu dengar Saya."

"Minggu?"

"Tepat."

"... Baik...?"

"Siapa namamu?"

"Andela."

Ah, Azul tersenyum makin lebar. "Hanya Andela?"

"Andela Tone."

"Sesuai dengan parasmu." Azul menulis sesuatu di antara catatan di buku saku yang ada di coat miliknya. "Saya ingin kita bertemu di tempat ini."

Andela menerima secarik kertas tersebut darinya. "Baiklah."

"Jadilah dirimu sendiri, tak perlu memoles diri. Kamu sudah seperti teratai."

Andela tersipu samar.

"Sampai berjumpa pada Minggu."

Lalu, pria itu pergi.

Dengan membawa anggrek dari toko bunga si gadis. Berikutnya, ia membuka kembali pintu, dan menyembulkan kepala hanya untuk melaksanakan niat yang terlewat beberapa waktu lalu.

"Saya Azul Ashengrotto."

March 02, 2024.

aoiLilac.

NestaWhere stories live. Discover now