27

80 25 9
                                    

Hana menunggu dengan cemas
bersama beberapa teman
se jurusannya yang juga datang
untuk memberikan semangat pada
Iqbaal.

"Ren, Nessa gak kesini?" tanya Hana pada Renita yang duduk di sampingnya, walaupun Nessa bukan mahasiswi jurusan teknik namun banyak dari teman-teman Hana dan Iqbaal yang mengenalnya karena gadis itu sangat sering berkeliaran di gedung jurusan teknik, bahkan beberapa kali mengikuti kelas kuliah Hana dan Iqbaal. Entah apa yang dipikirkan Nessa hingga mengikuti mata kuliah yang sama sekali tidak memiliki korelasi dengan jurusannya.

"Tadi sih Nisa udah kesini, tapi pergi lagi katanya sih ada urusan." Balas Renita, membuat Hana menganggukkan kepalanya dan kembali menautkan kedua telapak tangannya. Iqbaal yang sidang, kenapa ia jadi ikut gugup?!
Beberapa saat kemudian Hana mendengar suara ketukan sepatu heels yang bergesekan dengan lantai, hingga Hana menyipitkan kedua matanya dan menghela napas menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Dua orang gadis, Dandra dan Anes.

"Hai Hana, kita bertemu lagi.” sapa
Anes sambil tersenyum basa-basi
sedangkan Dandra memutar bola
matanya malas, Hana hanya mengangguk dan tersenyum
kecil.

"Iqbaal masih belum selesai?" tanya Dandra pada Renita membuat gadis itu mengerutkan keningnya, merasa asing dengan orang di hadapannya.

"Mungkin, Kamu kenal sama Iqbaal?" Tanya Renita, bingung akan menjawab apa pada gadis di depannya.

"Oh tentu, aku ini 'teman dekat’ Iqbaal” jawab Dandra sambil tersenyum lebar dan menatap Hana, yang hanya dibalas Dandra dengan tatapan datarnya.

"Ren, aku titip tas boleh? Aku mau ke toilet." Hana berujar pada Renita karena tidak mungkin ia membawa serta tasnya sedang dalam ponselnya terdapat aplikasi Al-Qur'an. Walaupun bukan mushaf asli namun tetap saja ia merasa tidak nyaman membawa ponselnya ke dalam toilet, Renita mengangguk pelan dan Hana segera berlalu dari sana.

Sedangkan Hana membasuh kedua tangannya di wastafel, sebenarnya ia kesini untuk menenangkan perasaannya yang sedikit kacau setiap bertemu dengan Anes. Ia selalu merasa tidak percaya diri setiap kali
berhadapan dengan gadis itu. Anes selalu terlihat sempurna di setiap penampilannya. Cantik, elegan, mewah berbaur menjadi satu, sangat jauh jika dibandingkan dirinya.

Beberapa menit kemudian, pintu toilet dibuka dan ia dapat melihat pantulan bayangan Anes di cermin yang ada di hadapannya, gadis itu berjalan anggun dan berdiri di sampingnya.

"Gimana keadaan Hanan?"

"Sudah lebih baik," jawab Hana, singkat tanpa menambahkan senyumannya.

"Syukurlah, sebenarnya aku ingin menjenguk Hanan, tapi dia melarang," ujar Anes menggantung ucapannya.

"Katanya dia yang akan datang
menemuiku," lanjutnya, membuat nafasnya tercekat, lalu menelan ludah nya secara kasar, ada hal yang mengganjal di hatinya.

"Oh.” Jawab Hana singkat, menyembunyikan rasa sakit hatinya.

"Dia itu perhatian sekali, sakit saja masih sempat memikirkan orang
lain. Katanya aku gak boleh terlalu
capek makanya dia saja yang akan
datang ke rumah." Timpal Anes, dengan senyum sinisnya berharap Hana merasa sedikit sakit hati karena sikapnya.

“Suami saya memang perhatian," jawab Hana dengan suara tercekat, namun tak menutup jawaban ketusnya. “ Kalo gitu, saya duluan Kak," pamitnya.

"Hana," panggil Anes menghentikan langkah Hana, yang kini telah berbalik ke arahnya.

"Kamu tidak berharap Hanan akan
mencintai kamu kan?," Hana terhenyak sesaat, apa sebenarnya yang Anes ingin darinya?!

"Aku sarankan kamu jangan punya
harapan terlalu tinggi hanya dengan sikap dan perhatian kecil. Karena kalau terlanjur jatuh, rasanya pasti sakit." Sambung Anes dengan sangat percaya diri, hingga Hana mendongak dan menatap tajam tepat ke arah dua bola mata Anes yang masih menatapnya dengan senyum miring.

Hana;N (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang