إنَّ أوَّلَ ما يُحاسَبُ به العَبْدُ يَوْمَ القِيامةِ مِن عَمَلِه صَلاتُه، فإن صلَحَتْ فقدْ أَفلَحَ وأَنجَحَ، وإن فَسَدَتْ فقدْ خابَ وخَسِرَ، فإن انْتَقَصَ مِن فَريضتِه شيءٌ قالَ الرَّبُّ تَعالى: انْظُروا هلْ لعَبْدي مِن تَطَوُّعٍ، فُيُكَمَّلُ بها ما انْتَقَصَ مِن الفَريضةِ، ثُمَّ يكونُ سائِرُ عَمَلِه على ذلك
Artinya: "Sesungguhnya yang pertama kali dihisab pada diri hamba pada hari kiamat dari amalannya adalah sholatnya. Apabila benar (sholatnya) maka ia telah lulus dan beruntung, dan apabila rusak (sholatnya) maka ia akan kecewa dan rugi. Jika terdapat kekurangan pada sholat wajibnya, maka Allah berfirman, 'Perhatikanlah, jikalau hamba-Ku mempunyai sholat sunnah maka sempurnakanlah dengan sholat sunnahnya sekadar apa yang menjadi kekurangan pada sholat wajibnya. Jika selesai urusan sholat, barulah amalan lainnya." (HR An-Nasa'i, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Hana, menutup buku yang baru
saja dibacanya, Sholat dhuha? la
memang pernah mengerjakannya.
Namun tidak sering, Ia juga baru
tau bahwa manfaat dari sholat
sunnah yang satu ini begitu luar
biasa. Selain karena sholat ini
adalah sholat yang dikerjakan
para awwabin (kembali kepada Allah SWT dengan taubat dan istighfar.), empat rakaat sholat
dhuha juga akan mendapat
jaminan dari Allah sepanjang hari
itu. Masya Allah, Hana kembali
merasakan sensasi tetesan embun
dalam hatinya."Nis, sholat dhuha yuk!" ajak Hana, dengan nada ceria yang khas, matanya berbinar-binar meski terdengar sedikit terburu-buru.
Nisa yang duduk di meja, sibuk menyalin tugas Fisika dengan fokus, hanya bisa mengangkat kepala sejenak. Matanya melihat Hana yang berdiri di depannya, wajahnya penuh semangat. Namun, tumpukan tugas yang ada di hadapannya membuatnya enggan untuk berhenti.
"Aku belum selesai nih, Na," jawab Nisa, mengangkat buku tugas bersampul kertas biru yang sudah hampir penuh dengan catatan, sambil sedikit merapikan lembaran-lembarannya.
Hana mendengus kecil, tampak sedikit kesal meski masih mencoba untuk bersikap lucu. "Yah, terus aku sama siapa dong? Kamu sih, Nis, pekerjaan rumah malah dikerjakan di sekolah," keluh Hana, sambil mengerucutkan bibirnya dan melipat kedua tangannya di dada. Ekspresinya yang lucu itu tak bisa disembunyikan, meskipun sedikit ada rasa kecewa karena temannya lebih memilih pekerjaan daripada bersamanya.
Nisa menahan tawa melihat Hana, tapi segera mengerutkan dahi dan berpura-pura serius. "Duh Hana, aku ini nggak sejenius kamu. Lagi pula, ini PR Fisika, Na! FI-SI-KA! Bisa pecah kepalaku kalau harus mikir sendirian," kata Nisa, dengan nada dramatis yang sengaja dibesar-besarkan. Ia mendongak, seolah-olah membayangkan betapa beratnya beban yang ditanggung oleh otaknya. Wajahnya terlihat sangat serius, bahkan sedikit berlebihan, membuat Hana tak bisa menahan senyum.
Hana tak bisa menyembunyikan tawanya melihat tingkah Nisa yang berlebihan. Entah mengapa, Nisa selalu merasa sangat antipati terhadap pelajaran Fisika. Padahal, untuk pelajaran lainnya, ia bisa memahaminya dengan baik dan bahkan sering mendapat nilai yang bagus. Namun, setiap kali Fisika datang, rasanya seolah-olah dunia akan runtuh bagi Nisa.
"Ya sudah deh, aku ke mushola sendiri aja," kata Hana dengan nada sedikit kecewa, meski masih tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, ia pun bangkit dari tempat duduknya. Waktu istirahat sudah hampir habis—tinggal 15 menit lagi sebelum bel berbunyi.
"Hana, tunggu!" seru Nisa, sedikit merasa bersalah. Namun, Hana sudah melangkah menuju pintu keluar kelas dengan langkah cepat, tak memberi kesempatan bagi Nisa untuk mencegahnya.
Hana menunaikan sholat dhuha
4 rakaat, setelah berdzikir dan
berdoa ia segera merapikan
mukena nya kembali. Sesaat setelah itu, ia menuju pelataran
masjid sekolahnya sementara memasang kaos kaki dan conot
tak sengaja ia mendengar dua
wanita sedang berbincang di
sebelahnya."Ya Allah, dia itu sempurna banget. Calon imam idaman, deh," puji salah satu dari dua wanita itu. Hana yakin mereka adalah siswi satu tingkat di atasnya.
"Iya, andai aku bisa jadi pacarnya. Ganteng, pinter, sholeh, subhanallah, paket komplit," sambung siswi yang lain, menimpali dengan suara penuh kekaguman.
Karena rasa penasaran yang semakin membuncah, Hana pun memutuskan untuk mengikuti arah pandang kedua kakak kelasnya itu. Tak butuh waktu lama, dia pun menemukan sosok yang membuatnya bingung sejak pagi tadi. Hanan. Dia lagi. Sosok itu hadir di hadapannya lagi, dan kali ini, jantung Hana kembali berdegup kencang.
"Yah, jantung kamu kenapa sih?" batin Hana cemas. "Harus ya aku periksakan kamu ke dokter?" pikirnya sambil mengusap bagian atas dada kirinya, merasa detak jantungnya semakin cepat tanpa bisa ia kendalikan.
Kata-kata yang barusan ia dengar
kembali mengusik pikirannya, ah
bahkan telah meresap ke dalam
hatinya mungkin? Sesempurna itukah seorang Hanan Hizbullah? Dan apa tadi yang ia dengar? Ingin menjadi pacarnya? Hana tertawa dalam hati, jika Hanan mereka sebut laki-laki sholeh maka tidak ada harapan untuk menjadi pacarnya."Karena laki-laki sholeh tidak akan pernah pacaran," ujar abinya, sebuah kalimat yang terus terngiang dalam pikiran Hana hingga saat ini. Kata-kata itu seperti bergema dalam setiap langkahnya, mengingatkannya pada prinsip yang selalu abinya tanamkan.
Sejak saat itu Hana semakin rajin
sholat dhuha, ia pun semakin
rajin belajar ilmu agama. Ternyata
semakin ia belajar semakin ia
merasa dirinya bodoh sekali masih banyak hal yang ia tidak ketahui
tentang agamanya. Ah, ia pun
semakin jatuh cinta lagi dan lagi
pada agama ini.Sangat sempurna, bah akan Abi dan umminya bahagia sekali melihat perubahan dalam diri anak perempuannya yang tidak hanya menjalankan ibadah wajib, namun kini ibadah sunnah juga dijalankan seperti sholat dhuha, tahajud dan puasa senin kamis.
Hana masih ingat raut wajah terkejut abi dan umminya saat ia bergabung untuk makan sahur di senen dini hari itu.Hana kok sudah bangun, nak? Laper?" tanya ummi dengan nada heran, matanya penuh keingintahuan.
"Hana mau sahur juga, ummi," jawab Hana dengan senyum manis, seakan tak ada yang bisa menghalangi niatnya.
"Tapi nanti upacara kan? Emangnya kuat?" Abinya ikut menimpali, khawatir dengan kondisi Hana yang masih muda.
"Ah, Abi, Hana kan sudah besar. InsyaAllah pasti kuat, dong," jawab Hana percaya diri, meskipun di dalam hatinya ada sedikit keraguan. Namun, semangatnya tetap menguatkan langkahnya.
Abi dan ummi tersenyum, mereka mengelus rambut panjang Hana
dengan lembuy, setiap hari saat jam istirahat Hana selalu pergi ke masjid sekolah untuk menunaikan sholat dhuha kecuali saat tamu bulanan nya hadir. Entah bersama Nisa, atau hanya dia sendiri, dan di waktu dhuha itu juga Hana selalu bertemu dengan sosok laki-laki yang kini mulai mengusik hari-harinya atau hati lebih tepatnya.Di waktu dhuha di setiap harinya, ia semakin terpesona pada laki-laki itu, Hana sengaja tidak memberi tahukan hal ini kepada siapapun termasuk Nisa dan ummi yang biasanya selalu menjadi tempatnya bercerita.
'Biarlah rasa itu hanya ia dan
Tuhan-Nya yang tahu. Biarlah rasa
itu hanya akan tenggelam dalam
lautan doa di sujud sepertiga
malamnya'.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hana;N (TERBIT)
TienerfictieHana berdiri mematung, jantungnya berdegup kencang. Matanya tak berkedip menatap sosok tinggi di hadapannya-pemuda yang bertahun-tahun lalu pernah mengisi harapannya, namun kemudian ia coba lupakan. Waktu telah membentangkan jarak di antara mereka...