23

129 34 6
                                    

Hening, itulah suasana yang tercipta di mobil yang melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang sedikit lengang di minggu sore itu. Sepasang suami-istri yang kini berada di dalamnya nampak terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dua orang itu adalah Hana dan Hanan yang sibuk memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu di rumah orang tua Hanan.

"Makasih." ucap Hanan pelan namun cukup untuk membelah sepi yang tercipta sejak mereka masuk ke dalam mobil.

"Hah apa Kak? Ah- makasih buat
apa ya Kak?" Tanya Hana, tak mengerti apa maksud Ucapan Hanan.

"Karena tadi kamu berusaha
untuk menolong aku, ya walaupun
akhirnya malah aku yang nolong
kamu," jawabnya sambil tertawa
pelan mengingat kejadian di danau
tadi, Hana merasakan wajahnya memanas dan mungkin sudah berubah warna sekarang.

"Kenapa harus diungkit lagi sih?"
batinnya.

"Kak Hanan juga ngapain harus
pura-pura gak bisa berenang kaya gitu? Aku takut Kak Hanan tenggelam" ujar Hana tanpa sadar membuat Hanan kini menoleh sempurna ke arahnya, dan bahkan laki-laki itu menepikan mobilnya sekarang. Sepersekian detik kemudian, Hana merutuki ucapannya sendiri.

"Kamu khawatir kalau aku
tenggelam?" Ucap Hanan yang di anguki oleh Hana.

"Oh jadi kamu khawatir kalau aku kenapa-napa? Kenapa kamu khawatir?" tanya Hanan menggoda Hana.

"Em itu-ya karena anu–”

"Apa Hana?" desak Hanan dengan
semakin menatap wajah Hana intens, berakibat menambah rasa gugup yang gadis itu rasakan.

"Ya siapa yang gak khawatir kalau
terjadi sesuatu yang buruk sama
orang yang kita sayang." Hatinya sudah menyuarakan kata-kata itu, namun yang ia mampu katakan hanyalah–

"Ya karena kita ini sesama muslim,
jadi harus saling tolong-menolong
kan?" Ujar Hana lantang

"Oh jadi karena itu ya," jawab Hanan kecewa, ia kira Hana akan menjawab dengan kalimat terlintas di pikirannya  ternyata ia salah besar, Hanan kembali melajukan mobilnya dengan rasa kecewa yang mengiringinya.

Bukankah saat ini nampak impas?
Hanan juga turut merasakan perasaan kecewa yang pernah Hana rasakan.

"Oh iya, tentang yang mama katakan tadi? kamu beneran memasak kari ayam buat aku?,” Tanya Hana, lagi-lagi hanya di balas angukan oleh Hanan.

"Kenapa kamu gak bilang?" Hana mengepalkan tangannya saat merasakan perasaan kecewa kembali menyapa hatinya mengingat kejadian malam itu.

"Untuk apa di ingat lagi sih kak? Lagian waktu itu Kak Anes juga bawa makanan kesukaan kakak, buat Kak Hanan, apalagi kakak taukan aku juga gak bisa masak, makanan yang aku masak gak bakal jadi lebih enak dari masakan terenak kedua bagi Kak Hanan setelah masakan mama." Cerocos Hana, tanpa sadar membuat Hanan mencengkeram pinggiran stir mobilnya dengan rahang yang mengeras.

"Sampai kapan kamu terus
memposisikan aku sebagai orang
yang selalu bersalah disini, mau kamu apa sih?" Sertak Hanan, namun masih dengan emosi yang terkontrol.

"Maksud Kak Hanan apa? Memangnya kapan aku pernah menyalahkan Kak Hanan, bukannya apa yang kak Hanan perbuat menurut kakak selalu benar?" U jar Hana lirih, menambah kesan kecewa pada dirinya.

"Terus saja begitu, kamu selalu saja bersikap seolah tidak terjadi apa-apa padahal ada sesuatu yang salah dengan hubungan ini." Ucap Hanan mencoba menyadHanann Hana, akan hubungan yang menurutnya terlalu jauh tetapi salah.

"Apa sih Kak? Gak usah memperpanjang sesuatu yang sudah terjadi. Lagian makanan itu gak terbuang sia-sia kok, udah aku kasih sama kak Wahyu." Mendengar nama Wahyu entah mengapa membuat sesuatu dalam diri Hanan bergejolak, seperti rasa cemburu namun benarkah ia merasakan hal itu?

Hana;N (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang