02

219 93 16
                                    

"Menyukai langit bukan berarti kamu harus memilikinya, begitu juga melupakan kamu tak perlu terus mencoba cukup nikmati rasamu namun kali ini dengan jarak lebih jauh."

Hujan kali ini masih saja setia mengguyur seluruh kota menjatuhi apa saja yang diinginkannya, Sebagian orang berteduh di pinggiran toko untuk
menghindarinya, sebagian lainnya memilih untuk terus memecah
derasnya hujan dengan mantel yang dipakainya dan sisanya membiarkan baju mereka basah terguyur hujan.

Seperti gadis yang baru saja turun
dari angkot itu, setelah membayar,
ia berjalan gontai menuju gerbang
komplek perumahannya, dengan badan terguyur hujan, Ia masih membiarkan air hujan terus mengalir di tubuhnya tanpa ada rasa ingin menghindar sedikitpun.

Berharap dengan itu perasaannya
akan turut mengalir bersama air hujan yang akan jatuh ke tanah, terus mengalir hingga tak tersisa sedikitpun Hana membuka perlahan gerbang rumahnya.
Tangisnya sudah berhenti, namun
ia masih bisa merasakan sisa-sisa
air mata di pelupuk matanya.

Beruntung hujan mengabulkannya ia tak perlu bingung untuk mencari-cari alasan jika nanti ummi bertanya mengenai keadaannya kali ini. la menghirup nafas panjang lalu mengatur mimik wajah sewajar mungkin, tentunya la tidak ingin membuat ummi khawatir.

"Assalamu'alaikum," ucapnya saat membuka pintu.

"Waalaikumsalam, Ya Allah nak
kamu basah sekali." Ujar Ummi, lalu segera menghampirinya, ada rasa panik yang tampak jelas di wajah yang sudah tak semuda dulu wanita yang sudah lanjut usia namun masih terlihat segar dan cantik.

"Sering berwudhu', itu rahasianya"
jawab ummi saat ia menanyakan
rahasia umminya yang masih terlihat begitu cantik di usianya yang sudah lebih dari kepala empat itu.

"Kenapa tadi gak nelpon ummi sih? Kan bisa ummi jemput di depan komplek, "Tutur wanita itu dengan lembut.

"Aku lagi pengen mandi hujan mi,"
jawabnya sambil tersenyum tengil dan tertawa ringan, terkadang
ia masih belum percaya anak
gadisnya ini sudah menjadi siswi
SMA mengingat sampai saat ini ia
masih sangat manja sekali.

"Ya sudah, kamu cepat mandi ya
terus sholat Ashar" Titah sang ummi.

"Iya Ummi, Hana ke kamar dulu ya." Ujar Hana, segera menuju kamarnya, menutup pintu dengan perlahan la ingin segera mengadukan semuanya pada Allah, TuhanNya yang akan mendengar semua keluh kesahnya, ia juga ingin menarik semua doanya tentang laki-laki itu. Dan yang pasti ia ingin membuang semua harapan yang selalu ia panjatkan dalam doanya.

Selepas sholat ia masih diam
di kamar, duduk di kursi yang
membuat pandangannya langsung
tertuju pada tanaman di samping
rumahnya, bunga-bunga serta
pepohonan masih tersiram oleh rintik hujan, bau tanah basah seketika menenangkannya,
membuat ia betah berlama-lama
disana.

Hana menjulurkan tangannya ke
meja, mengambil sebuah buku
yang terletak di meja tepat di hadapannya buku berukuran kecil berwarna biru biru, warna favoritnya. la membuka perlahan di halaman pertama dari buku itu, matanya bergerak perlahan membaca kata demi kata yang pernah ditulis oleh tangannya
sendiri.

Garis takdir membawa sang tuan
Menuju raga yang saling tak menyapa
Rasa ini tak akan pernah sampai
Wujudnya dilebur oleh hujan
Alirannya digulung oleh ombak
Dan hembusannya disapu oleh debu.

Bumi menolak dan langit
menertawakan, pada akhirnya harya terbungkam dalam doa
Karena Tuhan pasti akan mendengar, sedikit berharap akan
menyampaikan hingga semesta merestui hingga kamu
Jadi milikku.

la tertawa membaca puisi yang
ditulisnya beberapa bulan lalu, harapan yang saat itu terlalu tinggi, lagi-lagi ia ingin menertawakan dirinya sendiri sekencang-kencangnya, dia siapa sih jika dibandingkan Kak Annes yang begitu cantik dan memukau. Ia melanjutkan lembaran berikutnya, ya itu adalah cerita yang ditulisnya beberapa  waktu yang lalu.

Ia jadi mengingatnya kembali
Pagi itu Hana dan Nisa ijin keluar
kelas untuk pergi ke toilet, mereka
berjalan di tepi lapangan sambil
asik bercerita, entah dari mana keduanya mendengar suara teriakan.

"Awassss!!!"

Tak berselang lama, Hana merasakan kepalanya ditimpa sebuah benda bulat, yang di mana itu adalah sebuah bola basket. Ia
hampir terjatuh, beruntung Nisa
memegang tangannya.

“Astaghfirullah, Ya Allah ini sakit sekali.”Batin Hana

"Ya Allah, " keluhnya.

"Na kamu gapapa, sakit gak? Kamu
masih ingat aku kan? " celoteh Nisa khawatir.

"Ini cumna bola basket Nis, aku gak mungkin amnesia." Cibir Hana, pertanyaan Nisa membuat Hana sedikit kesal.

Ia masih memegang kepalanya, hingga dua orang laki-laki menghampirinya, dia Kak Hanan dan seorang lagi laki-laki yang selalu Hana lihat di masjid bersama Hanan, Wahyu, ya dia Kak Wahyu. Hana menegakkan badannya, rasa Ergalarinya selalu
gugup saat ia bertemu laki-laki itu.

"Kamu gapapa? " tanya wahyu
yang terlihat khawatir seperti
Nisa tađi, Hana melirik Hanan yang berdiri sedikit jauh di belakang Wahyu. Terlihat biasa saja hanya terdiam dan sedikit mengamatinya.

"Gapapa kok Kak, cuma sakit
sedikit. " ujar Hana, akhirnya bersuara setelah berusaha keras meredam rasa gugupnya.

"Mau ke UKS?" tawar Wahyu, masih dengan rasa bersalahnya

"Eh gausah Kak, saya bisa sendiri."
Tolak Hana dengan lembut

"Oke, maaf ya tadi aku gak sengaja," Ujar Wahyu tulus, netra Hana melihat kearah Hanan yanh telah berbalik, menuju teman-temannya di tengah lapangan.

"iya kak, gapapa kok," balasnya
sembari tersenyum kecil, membuat Wahyu membalas senyuman itu dan kembali berlari ke tengah lapangan.

Sementara kedua gadis itu menuju ke ruang UKS, sebenarnya Hana sudah menolak tapi Nisa memaksa, ia khawatir ada luka di kepala Hana atau mungkin otak Hana bergeser ke tempat yang tidak seharusnya.

Hana memutar bola matanya malas sahabatnya ini terlalu berlebihan, Hana mengingatnya saat itu Hanan memang menatapnya, tetapi hanya sekilas dan itu pun hanya dengan pandangan datar. Harusnya saat itu ia sudah membuang perasaannya jauh-jauh, hingga ia tidak akan merasakan sakit seperti yang ia rasakan saat ini.

Ia meraba hatinya, benarkah ada cemburu? Rasanya tidak, yang ia tau ia kecewa laki-laki yang ia kira pandai menjaga dirinya dari fitnah yang banyak dialami para remaja
saat ini ternyata sama saja Hana
menghembuskan nafasnya kasar. la membuka lembar kosong dari buku itu dan menuliskan sesuatu di sana.

“Aku terlalu berharap padanya, hingga rasa kecewa itupun mulai memunculkan diri di permukaan, aku, memang bukan siapa-siapa tapi ntahlah aku rasa aku telah kecewa.”

Ia rasa, itu adalah coretan terakhir
di buku itu, karna tintanya akan mengering seiring dengan perasaan yang juga akan menghilang seiringnya waktu berjalan.

Hana;N (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang