12

113 65 8
                                    

"sakit mbak" Rintih Hanan, meringis memegang kepalanya yang baru saja dihantam oleh sebuah gulungan dokumen yang cukup tebal, ia menatap sengit wanita yang kini juga menatapnya tak kalah sengit. Wanita itu adalah Mita, asistennya yang kini usianya sudah menginjak angka tiga puluh lima tahun, hubungan mereka begitu dekat. Hanan yang merupakan anak tunggal dapat merasakan kehadiran seorang kakak karena wanita itu. Mita selalu mendengarkan segala curhatannya dengan baik, ditambah dengan solusi yang tak mungkin ia dapat jika memikirkannya seorang diri, saat ini dengan tanpa rasa sungkannya wanita itu menghadiahkan sebuah pukulan pada kepalanya, tanpa peduli jika dia adalah bosnya setelah ia menceritakan pertengkarannya dengan Hanan semalam.

"Kamu serius ngomong gitu sama
istrimu?" Ringis Mita, masih dengan tatapan sengitnya

"iya mbak, kalo gak gitu aku harus bilang apa coba?" jawab Hanan lemah, tetapi tetap memberi pembelaan.

"Ya Allah, Hanan. Kamu nih gak punya perasaan banget sih! Ya jelas lah dia marah sama kamu."

"Iya aku tau aku salah mbak. Terus
aku harus gimana mbak? "

"Makan!," ujar Mita sembarang " ya, minta maaf Hanan." sambungnya dengan nada kesal yang lekat sekali dalam ucapannya.

"Gimana mau minta maaf mbak, dekat sama aku aja dia gak mau". Keluh Hanan, teringat saat tadi pagi Hanan menolak dengan tegas saat ia berusaha untuk mengajaknya berangkat bersama, bahkan wajah gadis itu semakin datar saja padanya.

"Kalau aku jadi Hanan, aku juga akan melakukan hal yang sama " ujar Mita sinis, sembari kembali menggulung dokumen yang tadi ia pergunakan untuk memukul Hanan.

"iya iya, aku salah mbak! Tapi yang aku butuhkan sekarang itu solusi bukan omelan manisnya Mbak Mita." Racau Hanan, membuat Mita menghela nafas, ia sangat tahu permasalahan rumah tangga bosnya itu ia jadi merasa kasihan pada istri dari bosnya yang labil ini. Akhirnya Mita mulai memberikan beberapa macam strategi agar Hanan dapat memperoleh maaf dari sang istri.

"Ingat, jangan lakukan hal ini lagi pada istrimu, lagian kamu kenapa sih kok bisa marah banget sama istrimu? Bukannya kamu paling anti marah-marah?" Tegur Mita, sembari mengajukan pertanyaan yang menurutnya tak mungkin Hanan lakukan.

"Aku juga gak tau mbak, awalnya
aku memang sedikit kesal karena
ngeliat dia sama laki-laki lain di
cafe" Keluh Hanan.

"Laki-laki lain?" Tanya Mita heran, mana mungkin gadis sesholeh Hanan bersama pemuda lain, padahal ia sudah menikah?

" Iya, dia sama sahabatnya. Aku jadi heran kenapa bisa semarah itu". Jelasnya, yang lagi- lagi dihadiahi sebuah pukulan di kepala Hanan, mita merasa gemas sekali dengan laki-laki itu.

"kenapa aku dipukul lagi sih mbak?. Sekali lagi mbak mukul, aku bisa gagar otak nih!" Cetus Hanan kesal, sembari mengelus kepalanya yang terasa sedikit nyeri.

"Biarin aja, biar otak kamu bisa
dipake buat mikir. Kamu kesal saat
Hanan dekat dengan laki-laki lain
karena kamu cemburu bodoh!"
Cemooh Mita, sembari tersenyum
penuh arti membuat tubuh Hanan menegang, otaknya berpikir keras lidahnya terasa kelu hanya untuk menjawab perkataan Mita.

Benarkah cemburu? cemburu pada Hanan?

****

" Dia kenapa? " bisik Rian pada
Shela dan Andre saat melihat Hanan yang terlihat tak bersemangat hari ini, walaupun gadis itu sudah sebisa mungkin menutupi perasaannya, namun mereka masih bisa melihat ada kesedihan di mata gadis itu, Andre menggeleng pelan sebagai
jawaban.

"Na kamu tau kenapa langit hari ini mendung?" tanya Rian pada
Hanan, hingga Hanan memandang keluar menatap langit yang memang nampak sedikit mendung dari jendela kantin perusahaan itu.

"Karena mataharinya ketutup
awan? " jawab Hanan logis.
Rian menggeleng

"Karena mau turun hujan?" Sambungnya, lagi-lagi Rian kembali Menggelengkan kepalanya.

"Ah, pasti karena sudah kehendak
Allah subhanahu Wata'ala "

"Ya itu sudah pasti Na " jawab Rian
sembari menghela nafas panjang,
Shela dan Andre hanya tertawa
melihat usaha keras Rian.

"Terus kenapa Mas?" Tanya Hanan, tanpa minat sedikitpun.

"Karena hari ini langit kehilangan
senyuman kamu" ujar Rian sembari tertawa jenaka membuat Hanan menatapnya datar.

"Mbak Shela punya uang recehan?" tanya Hanan pada Shela.

" Kayaknya nggak punya, Na"

"Mas Andre punya?" Tanya Hanan pada Andre, yang hanya di jawab gelengan kepala.

"Buat apa sih Na?" tanyanya
kemudian.

"Buat bayar gombalannya Mas Rian, Mas" Jawab Hanan, lagi-lagi tanpa minat.

"kamu kalau ngomong tambah jujur aja Na, Gombalan dia emang receh banget dah" Tawa Andre kini memenuhi kantin, membuat Hanan dan Shela juga tertawa.

"Nah gitu dong, ceria lagi. Jangan
galau terus" ujar Rian yang merasa
lega melihat Hanan kembali ceria, ia tidak ingin melihat gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu bersedih.

"Iya, makasih Mas Den" Ujar Hanan sambil tersenyum manis, lalu mereka kembali fokus memakan makanannya masing-masing.

"Assalamu'alaikum." sapa Wahyu
membuat mereka berempat
mengalihkan pandangan padanya.

" Wa'alailkumsalam," jawab mereka serempak, membuat Wahyu tersenyum menatap satu persatu dari mereka, tidak terkecuali Hanan, kemudian Hanan membalas senyum manis Wahyu. Namun matanya melebar saat melihat seseorang yang berdiri tidak jauh di belakang bosnya itu, orang itu adalah orang yang paling tidak ingin ia temui tengah berdiri sambil memasukkan satu tangannya ke dalam saku celananya. Hanan merasakan udara di sekitarnya menghilang, kenapa laki-laki itu harus datang kesini sih.

"Sini, Ka. " panggil Wahyu membuat Hanan semakin susah bernafas.

"Kenalin mereka staf bagian keuangan. Oh iya yang itu adik
kelas kita pas SMA, Hanan. Kamu
ingat?" Ujar Wahyu, membuat Hanan mengerutkan keningnya. Adik kelas? Hanan adik kelasnya saat SMA? Kenapa dia tak pernah tahu?

" Enggak" jawab Hanan jujur, membuat Hanan tersenyum sinis menanggapinya.

Dia mana mungkin mengenal aku? Di hari-harinya kan hanya ada Kak Shella' batinnya kemudian ia segera beristighfar sebanyak-banyaknya.

Hana;N (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang