Pengaruh buruk

57 14 0
                                    

Setelah berpamitan pulang lebih dahulu dengan teman-teman yang masih bermain musik di caffe milik bang Jo, akhirnya aku berhasil keluar dari sana. Sebenarnya masih betah sekali, ingin bermain lebih lama. Aku benar-benar menikmati moment ketika gitar yang kupetik mengeluarkan alunan nada bak sedang berinteraksi denganku. Dan perasaan menggebu-gebu yang tidak bisa dijelaskan ketika diriku berdiri di atas panggung, enggan sekali aku meninggalkannya. Di sana, aku merasa benar-benar hidup.

Namun, kenyataannya hidup tidak hanya tentang bersenang-senang. Aku harus bergegas pulang karena saat ini sudah hampir pukul delapan malam. Sampai rumah, aku bisa kena omel lagi kalau pulang terlalu malam.

Ketika berhasil melewati gerbang, lalu memarkirkan motor di garasi, ku hembuskan napas lega. Hanya terlambat lima menit. Semoga mama masih bisa mentoleransi.

Seorang gadis tampak gelisah mondar-mandir di depan pintu kala aku sampai di teras rumah. Ku tepuk bahunya, seketika ia menoleh terkejut.

"Elea?" tanyaku heran. Gadis itu langsung menurunkan kedua ujung bibirnya, seperti ingin menangis. Menatapku dengan tatapan memohon.

"Kak Jidan, gimana, nih.... Aku takut diomelin mama," rengeknya dengan suara pelan.

"Kamu darimana baru pulang?" Pasalnya gadis itu belum pernah pulang semalam ini karena sopir selalu mengantar jemputnya. Benar-benar kejadian langka, gadis itu masih berada di luar rumah jam segini.

"Pak Rofiq aku suruh pulang duluan tadi, soalnya temenku ulang tahun. Aku bikin kejutan sama temen-temen yang lain. Eh, tau-tau udah malem."

Aku menghela napas pelan. Sebenarnya sangat wajar, gadis itu pasti juga ingin bermain-main dengan teman-temannya. Apalagi di usianya itu, memang sedang ada di fase suka memberontak. Tapi, gadis itu begitu patuh hingga saat ini.

"Biar Kakak yang bilang ke mama, nanti. Ayo, cepet masuk. Keburu tambah malem." Aku membuka pintu perlahan. Menggandeng tangan Lea, lalu membawanya masuk. Ku edarkan pandanganku, tidak ada tanda-tanda keberadaan mama. Apa kali ini kami lolos begitu saja?

Mana mungkin. Ketika kami hendak menaiki tangga, mama sudah menunggu sambil bersedekap dada di ujung tangga. Seketika, adikku bersembunyi di belakang tubuhku. Entah mengapa, karena bersama Lea aku malah lebih punya tekat keberanian untuk menghadapi mama.

"Dari mana aja kalian, jam segini baru pulang?!"

"Aku yang ngajak Lea makan di luar. Dia abis kerja kelompok sampe sore, pasti laper. Jadi, aku ajakin makan dulu. Maaf jadi kemaleman."

"Di rumah juga mama masak. Ngapain beli di luar. Boros!"

"Cuma sesekali, kok Ma. Makan di rumah terus juga pasti bosen."

Mama menghela napas kasar. Kemudian sedikit menggeser tubuhnya. "Elea masuk kamar!"

Sebelum beranjak, gadis itu menatapku penuh arti. Aku mengangguk untuk meyakinkannya, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Setelahnya, dia sedikit berlari menaiki anak tangga pergi ke kamarnya.

"Kamu..., udah pulang terlambat ngajak Elea, lagi. Kasih contoh yang baik buat adikmu. Jangan malah bawa pengaruh buruk."

"Masa depan sendiri aja masih belum jelas, kamu masih mau berantakin kehidupan adikmu juga?! Memangnya kamu mau bertanggung jawab untuk masa depan adikmu apa?!"

"Dibilangin tiap hari biar disiplin waktu, malah makin lama makin ngelunjak. Ngajakin adeknya lagi. Apalagi kalo nggak dibilangin. Malah jadi anak kurang ajar. Emangnya masih kurang mama ngajarin kamu selama ini?!"

"Ngapain kamu masih di situ?! Buruan mandi terus belajar! Buang-buang waktu aja."

Begitulah, serba salah pokoknya. Ada orang tua nasehatin, masa aku pergi gitu aja. Nanti dibilang kurang ajar. Aku diem doang padahal, masih salah juga. Apalagi kalo ngejawab. Tambah salah lagi. Aku nggak punya hak untuk bicara, ya?

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang