Mereka yang peduli

62 10 3
                                    

Ketika membuka mata, aku merasa tempat ini sangat familiar. Dinding bercat biru langit dan plafon berwarna putih. Meja dan kursi untuk belajar, tas yang tergantung, handuk, hoodie, dan beberapa barang lainnya juga tergantung dibalik pintu. Ini kamarku. Syukurlah aku belum mati. Kini aku menyadari, ternyata aku benar-benar pengecut. Aku tidak berani untuk mati. Plin-plan, dasar.

Tubuhku terasa pegal-pegal sekali ketika aku bangun untuk duduk. Kudapati celanaku robek di bagian lutut dan memperlihatkan luka yang tertutup kain kasa ala kadarnya. Mengangkat lengan, beberapa luka baret juga menghiasinya. Aku menghela napas dalam-dalam. Sudahlah, yang penting aku baik-baik saja.

Perlahan aku bangun dari posisiku, beranjak meninggalkan kamar dengan langkah yang teramat pelan. Selain lututku terasa sakit ketika berjalan, tubuhku rasanya lemas sekali. Tapi, tenggorokanku kering sekali. Aku ingin mengambil air minum di dapur.

Belum juga turun dari tangga, aku terkejut mendapati enam orang pemuda yang berkumpul di ruang keluarga. Dua diantaranya sudah tertidur pulas. Yang lainnya sibuk dengan game di ponsel masing-masing. Aku melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari. Kenapa mereka masih di sini?

"Oy! Kebangun Ji?" tanya bang Haidar yang pertama kali menyadari keberadaanku.

Aku menuruni tangga, menghampiri empat orang yang masih sibuk dengan game itu. Soal bagaimana mereka bisa berada di sini, itu karena mereka mengikutiku saat khilaf kebut-kebutan tadi. Saat kecelakaan kecil itu terjadi, mereka yang membantuku pulang. Awalnya semua orang memaksaku pergi ke rumah sakit, tapi tentu aku menolak. Aku tidak ingin semakin merepotkan mama. Biarlah mama tidak tahu tentang hal ini.

"Kalian nggak pulang?" tanyaku heran. Setelah membantu mengobati lukaku kemudian aku pamit tidur, kupikir mereka akan pergi dengan sendirinya. Ternyata aku salah. Manusia macam mereka ini meski sudah diusir pun belum tentu mau pergi. Untung saja papa dan mama di rumah sakit. Eh, bukan maksudnya senang karena papa sakit. Beruntung karena kebetulan papa dan mama tidak di rumah, jadi aku bisa tenang membiarkan teman-temanku tinggal lebih lama. Kalau ada mama, rasanya tidak akan mungkin mereka bisa berlama-lama di sini.

"Lo mau ngusir kita?" tanya bang Navis tak terima.

"Nggak gitu--"

"Lo kenapa bangun? Ada yang sakit?" seperti yang diharapkan bang Marvin bertanya penuh perhatian. Karena merasa tidak sanggup untuk meneruskan langkah ke dapur walau sebenarnya sudah dekat, aku memilih duduk meluruskan kaki di karpet bersama mereka.

"Widih, bang Mahen perhatian sekali," celetuk bang Haidar.

"Lagian orang abis kecelakaan di ajak ke rumah sakit nggak mau. Siapa tahu kan, ada yang baru kerasa sakitnya."

Ya ampun, bang Marvin memang yang terbaik. Aku ingin menjadi seseorang yang selalu lebih perhatian terhadap sekitar sepertinya. Usia memang tidak menetukan kedewasaan, tapi bang Marvin itu selain yang paling tua dia juga yang paling dewasa diantara kami. Siapapun perempuan yang nanti memilikinya, dia sangat beruntung.

"Bener, gue pernah denger ada orang kecelakaan dikira nggak papa, nggak dibawa ke rumah sakit. Tau-tau besoknya mati," ujar bang Jen dengan santainya. Langsung saja aku menatapnya horror. Kenapa dia mengatakan kata mati semudah itu? Minimal pake kata meninggal, lah.

"Heh! Doa lo jelek banget," tegur bang Navis. Memang dasar bang Jen itu, seperti mendoakanku mati hanya karena tidak mau diajak ke rumah sakit saja. Tidak mungkin, aku merasa tidak ada yang salah pada tubuhku. Aku yakin baik-baik saja dan akan segera pulih. Sungguh.

"Bukan doa ini mah, share info aja. Lagian lo nggak sayang nyawa, berasa punya tujuh nyawa. Kebut-kebutan sengaja cari mati?!" Jarang-jarang bang Jen mengomel begini. Pasti dia kesal melihatku bertindak gegabah sampai membahayakan nyawa sendiri. Kuakui, memang aku bersalah. Aku pun menyesalinya.

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang