Sebuah laptop ditutup dengan kasar, tanpa peduli rusak ataupun lecet. Jangankan lecet, wanita paruh baya itu bahkan mungkin saja ingin menghancurkan benda elektronik itu sekarang juga. Jangan tanya ekspresi yang ditunjukkannya, aku bahkan tidak berani mengangkat pandangan barang sejenak. Hanya suara napasnya yang terdengar keras, saling bersahutan dengan detak jarum jam.
Sedangkan diriku, susah payah mengambil napas berusaha tetap tenang. Walau tak akan mungkin bisa tetap tenang di situasi saar ini. Gemuruh di dada selaras dengan berisiknya isi kepalaku. Beberapa menit yang lalu, aku masih menyimpan banyak harapan. Sampai suara laptop ditutup terdengar nyaring di tengah kesunyian, rasanya pupus sudah harapanku. Matilah aku.
"Kenapa bisa nggak lolos?" Mama menarik napas panjang kemudian menghembuskannya kasar. Sepertinya masih mencoba bersabar, meski nada bicaranya sama sekali tak menunjukkan kesabaran.
Beberapa menit berlalu tanpa ada keberanian untukku menjawab. Di saat seperti ini, aku tahu jawaban apapun tidak akan diterima. Bahkan diamku pun merupakan kesalahan.
"Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Dari hasilnya aja udah kelihatan seberapa usaha yang kamu kerahkan. Ini pasti gara-gara kamu masih sibuk pacaran sama main musik!"
"Kamu udah gede, loh. Harusnya udah bisa bedain mana yang harus dipentingkan mana yang enggak. Apalagi yang lebih penting daripada masa depan kamu?! Memangnya kalo kamu berhasil siapa yang paling diuntungkan? Mama? Ya, kamu sendiri!"
"Berapa kali mama bilang berhenti main musik! Putusin pacar kamu! Memangnya senang-senang itu harus sekarang apa? Nanti kalo kamu udah berhasil, kamu bebas mau ngapain aja."
"Aku udah lama nggak main musik, Ma.... Aku udah berusaha semampuku, kok!" Padahal aku sudah cukup lama menahan diri. Terakhir kali aku bermain musik yaitu empat bulan yang lalu. Tepat di hari ulang tahunku. Setelah itu aku benar-benar menahan diri untuk tidak membuang-buang banyak waktuku lagi. Aku berusaha keras untuk belajar sepanjang hari. Bahkan sampai sering lupa berkabar dengan pacarku.
Meski hasil SNBP belum juga keluar, aku sudah mulai mempersiapkan ujian SNBT. Karena sama dengan mama, aku pun tidak ada keyakinan akan lolos lewat jalur prestasi itu. Yang mana sainganku teramat banyak. Universitas besar dan jurusan dengan jumlah peminat yang amat banyak.
Jangan ditanya hasilnya bagaimana, sudah pasti aku benar tidak lolos SNBP. Tapi, untuk SNBT ini aku benar-benar kecewa. Hasil kerja kerasku selama ini, aku tidak menyangka akan dikhianati seperti ini. Rasanya benar-benar menyakitkan. Semuanya sia-sia saja.
"Ya itulah! Bodoh banget emang! Mampunya kamu emang cuma kayak gitu doang, kan? Terus kamu bisanya apa? Bikin mama emosi, pinter kamu."
"Selama ini kamu hidup tuh ngapain aja, sih? Nggak guna banget!"
"Emangnya mama sendiri punya pencapaian apa?" gumamku dengan geram. Mentang-mentang dia yang melahirkanku, bukan berarti dia bisa mengatakan hal seperti itu. Mama bahkan tidak bisa melihat seberapa keras aku mencoba bertahan selama ini. Di jalan yang mama pilihkan, aku susah payah melewatinya meski dengan merangkak sekalipun. Tapi, mama bahkan tidak menghargai sedikitpun perjuanganku selama ini hanya karena aku tidak berhasil mencapai puncak.
"Beraninya kamu?!"
Sebuah gelas kaca di meja diraih oleh mama. Dalam sekejap, benda itu melayang ke arahku. Aku siap. Sungguh, tak satu detik pun terlewat oleh indra penglihatanku. Namun, entah darimana datangnya, tiba-tiba Elea datang memelukku. Dia melindungiku?
Sial, tanpa sadar air mataku sudah menetes tanpa izinku. Adikku sudah besar. Dia sudah bisa melindungi kakaknya. Aku yang bahkan masih belum becus menjaganya ini, menerima perlindungan darinya. Dia jauh lebih keren dari diriku. Mama pasti bangga memilikinya. Tidak sepertiku yang hanya selalu menjadi beban. Meski aku tidak ada, mama masih bisa membanggakan Elea. Meski aku menghilang, adikku sudah bisa melindungi dirinya sendiri.
"Kakak nggak papa?" tanyanya sembari menangkup wajahku. Menatap mataku begitu dalam. Jadi, dia bertanya tentang keadaan hatiku, bukan fisikku. Ya, gelas yang mama lempar meleset mengenai dinding meski jarak kami tak sejauh itu. Tentu saja mama tak mungkin benar-benar akan melukai anaknya.
Tetap saja itu berbahaya, tidak seharusnya aku menempatkan adikku di situasi seperti ini. Aku ini lemah sekali, ya. Bodoh.
"Masuk ke kamar!" perintahku dengan pelan namun penuh penekanan, takut kelepasan membentaknya. Setelah itu, aku beranjak dari sana. Tanpa menoleh sedikitpun pada Mama. Persetan. Aku sudah muak dengan semuanya.
Kali ini kubiarkan kakiku berlari membawaku entah kemana. Meski sesekali tersandung atau terperosok, aku hanya akan terbangun dan kembali berlari tanpa arah tujuan.
Matahari hampir tenggelam ketika aku jatuh terduduk, namun kesulitan untuk bangkit kembali. Kuputuskan untuk tetap duduk di trotoar. Meluruskan kakiku yang terasa akan patah. Aku bahkan baru menyadarinya, sejauh ini aku berlari tanpa alas kaki. Napasku tersengal-sengal dan perutku terasa nyeri. Lucunya, sakit fisik ini membuatku senang karena sedikit mengalihkan perhatianku. Isi otakku tidak lagi hanya berisi tentang kegagalan dan keputus asaan. Meski begitu, aku masih merasa sangat lelah.
Kuangkat pandanganku menatap jalanan ramai di waktu senja ini. Bahkan beberapa kali pengendara motor lewat di belakangku. Tidak macet, tapi seramai itu.
Aku ingin istirahat. Perlahan, aku bangkit. Dengan tertatih, berjalan ke tengah jalan. Suara klakson kendaraan mulai terdengar. Tolong, tabrak saja. Aku ingin istirahat. Aku tidak akan menyalahkan siapapun.
Kali ini suara klakson kendaraan besar terdengar nyaring. Kupejamkan mataku. Sekarang saatnya. Namun, bukannya benturan dengan kendaraan tubuhku malah terasa ditarik dengam begitu cepat kemudian terjatuh di tepi jalan. Saat aku membuka mata, bang Jen yang terbaring di hadapanku menatapku dengan nyalang. Matanya seperti mengeluarkan kilatan cahaya laser. Tidak, menurutku wajah marahnya itu tidak menyeramkan. Itu lucu, dia marah karena mengkhawatirkanku.
"Lo gila!" umpatannya tak kuhiraukan.
Sungguh, aku lelah sekali rasanya. Hanya bangun dari posisiku sekarang saja rasanya berat sekali. Bang Jen sampai terlihat panik melihatku tak bergeming sedikitpun. Saat orang-orang perlahan berdatangan, aku mengulurkan tanganku meminta bantuan pada bang Jen yang disambut uluran tangannya dengan wajah lega.
Perlahan orang-orang kembali membubarkan diri, namun aku masih betah dengan posisi duduk di trotoar. Bukan apa, kakiku mulai terasa perih karena beberapa kali tersandung atau menginjak batu saat berlari tadi.
Tidak berapa lama, mobil hitam milik Liam berhenti di hadapanku. Rupanya dia tidak sendiri, Bang Navis dan bang Jun ikut keluar dari mobil iti. Dengan wajah panik, membantuku masuk ke dalam mobil dan memastikanku duduk dengan nyaman.
"Pokoknya kita ke rumah sakit sekarang!" seru bang Jun, mengabaikan permintaanku sebelumnya untuk mengantarku ke tempat manapun selain rumah dan rumah sakit.
"Gue beneran oke, kok. Masih hidup, inih ...."
"Kalo nggak gue tarik, lo udah mati!" sungut bang Jen. Aku terkekeh pelan melihat wajah masamnya.
"Jadinya kemana, nih?" tanya Liam yang tampak bingung berada di balik kemudi.
"Ke caffe aja, mampir apotek bentar tapi," pungkas bang Navis.
Sepertinya tidak ada solusi yang lebih baik daripada itu. Meski mungkin akan merepotkan mereka semua, tapi itu lebih baik daripada pergi ke rumah sakit. Rasanya berlebihan sekali, hanya luka seperti ini pergi ke rumah sakit. Aku masih belum lupa betapa membosankannya rumah sakit setelah di rawat disana akhir semester lalu. Selain itu, sejujurnya obat yang kubutuhkan saat ini tidak ada di rumah sakit. Kurasa gitar baru kado ulang tahunku yang belum sempat kupakai itu akan sedikit memberikan ketenangan. Aku jadi tak sabar bertemu belahan jiwaku itu.
2/8/24
![](https://img.wattpad.com/cover/372492699-288-k282121.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mama
FanfictionKata orang, aku terlalu penurut. Menjadi penurut juga melelahkan sebenarnya, aku hampir menyerah. Tapi, apa salahnya menuruti ucapan orang tua? Hanya karena mama selalu mengaturku dan aku menurutinya lalu mereka akan memanggilku anak mama? Pedul...