Dia milikku

66 11 0
                                    

Pagi ini, ketika aku menatap bayangan diriku di cermin rasanya lega sekali. Kebodohanku semalam menyakiti diri sendiri ternyata tidak meninggalkan bekas yang terlalu kentara. Hanya ada memar di bagian paha-- bagian yang banyak kujadikan pelampiasan. Lalu bekas luka sayatan tipis di lengan yang tidak begitu kentara. Aku bisa berdalih itu hanya kebetulan, kan?

Aku benci terlihat seperti orang yang menyedihkan. Mama, lupakan saja. Wanita itu tidak akan terlalu peduli denganku. Mama tidak mungkin memperhatikannya. Bahkan saat aku kecelakaan kemarin saja mama tidak tahu sama sekali. Haha, sepertinya aku memang bukan anak kandungnya.

Sebenarnya tadi malam aku sempat bermimpi mama menghampiriku, menatapku dari jarak yang sangat dekat, kemudian mengatakan sesuatu yang tidak dapat kuingat sama sekali. Apa yang kuharapkan, itu hanya mimpi yang mudah dilupakan ketika terbangun. Aku terlalu banyak menaruh harapan pada mama sampai terbawa mimpi.

Terlalu banyak melamum, sampai tanpa kusadari motorku sudah sampai di parkiran sekolah. Syukurlah, setidaknya aku tiba dengan selamat meski melamun sepanjang jalan.

Beres memarkirkan motor, aku menarik napas dalam-dalam. Semoga hari ini lebih baik dari kemarin. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi lagi. Dan sepertinya harapanku terkabul ketika indra penglihatku menangkap sosok gadis dengan tawanya yang mengalahkan sinar mentari yang hari ini tampak redup tertutup mendung.

"Pagi Anna!" sapaku dengan senyum terbaikku. Namun, gadis itu terus berjalan bersama temannya-- Zakiya tanpa menghentikan obrolan panjangnya. Apa dia tidak mendengarku?

Aku mengejarnya, mendahului dan menghadang jalannya. Melambaikan tangan dengan kedua sudut bibir terangkat. Namun, lagi-lagi dia mengabaikanku berjalan melewatiku begitu saja. Apalagi kali ini? Dia merajuk lagi? Kupikir beberapa hari ini kami jarang bertemu, kesalahan apa yang kulakukan sampai dia merajuk lagi?

"Anna!" Gadis itu menyentak tanganku yang berusaha meraih lengannya. Gawat, dia benar-benar merajuk.

"Ayo, kita ngobrol bentar."

"Nggak ada yang mau gue obrolin sama lo." Aku tercengang mendengar ucapannya. Dalam sejah aku berpacaran dengannya, semarah apapun dia tak pernah berbicara denganku menggunakan logat lo dan gue. Apakah kesalahanku sangat fatal?

Membawa dia pergi ke tempat yang sesuai untuk bicara sepertinya sulit. Karena itu aku mencoba berbicara pada Zakiya dengan tatapan mata, memintanya memberi kami ruang untuk berbicara empat mata. Syukurlah dia mengerti maksudku, walaupun sedikit enggan lengkap dengan tatapan sinis gadis itu akhirnya pergi. Apa-apaan, dia ikut-ikutan marah padaku. Tapi, itu tidak penting. Sekarang aku hanya perlu fokus dengan Anna.

"Anna kamu--"

"Apa?!" sentaknya.

"Aku ada salah apa sama kamu? Kalo aku salah, bilang. Biar aku bisa perbaiki kesalahanku. Kalo kamu diem, aku nggak bakal tahu apa salahku. Dari kemarin aja kita jarang ketemu, kapan aku bikin salah sama kamu? Jelasin--"

"Bukan cuma kemarin. Udah seminggu kamu mengabaikan aku. Aku ini beneran pacar kamu bukan, sih?!" tanyanya dengan emosi meluap.

Ah, jadi itu masalahnya. Memang, sudah cukup lama aku tak meluangkan waktu untuk bertemu dengannya. Bahkan untuk sekedar berkabar lewat chat saja, aku sering melupakannya. Masalahnya, seminggu kemarin selain sibuk PAS aku juga sibuk memikirkan masalah hidupku sendiri.

Pusing memikirkan masalah hidup, rasanya semakin memuakkan ketika hari itu aku hendak menghibur diri dengan bertemu Anna, tapi yang kudapat malah harus membujuk gadis itu yang sedang merajuk karena tidak mengabarinya waktu kecelakaan. Ayolah, walau sedikit terlambat tapi aku mengabarinya. Tengah malam aku sempat mengirimkan chat karena takut mengganggu waktu tidurnya. Lalu besoknya aku menelpon-- oh tidak sepertinya aku melupakannya. Tapi, setidaknya aku sudah mengabari, kan? Biasanya juga dia mengerti. Waktu-waktu ulangan memang aku selalu sibuk belajar. Kenapa sekarang dia mempermasalahkannya?

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang