Band

59 12 0
                                    

Kedua tangan kuangkat tinggi-tinggi, mengepal kuat-kuat, memiringkan kepala ke kanan dan kiri, setelahnya kedua tanganku turun beralih menyentuh pinggang dan tengkuk yang terasa kaku. Hari ini terasa sangat melelahkan entah kenapa.

Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar, aku menatap ruangan yang sudah teramat sepi ini. Hingga kemudian tatapanku jatuh pada seseorang yang masih betah memejamkan matanya, menaruh kepalanya diatas lipatan tangannya di meja. Dia sudah dalam posisi itu selama satu jam lebih ngomong-ngomong. Aku menggeleng pelan.

"Kebakaran! Kebakaran!" Menyebalkan, membangunkan anak itu memang tugas yang sulit.

"Maling! Maling!"

"Liam, bangun anjir! Udah sore!"

"Hitungan ketiga nggak bangun, gue tinggal!"

"Satu!" ucapku sambil menepuk punggungnya.

"Dua!" Aku kembali menepuk punggung itu. Syukurlah kali ini usahaku membuahkan hasil. Dia menggeliat tak nyaman sambil menggerutu mengatakan pukulanku terlalu keras. Benarkah?

"Sorry, lagian lo nggak bangun-bangun. Bayar les mahal-mahal bukannya belajar malah tidur!"

"Bacot lo, kayak emak-emak. Gue nggak belajar juga udah pinter."

"Anjing, bener lagi," gerutuku. Walau terlihat seperti malas-malasan, pemuda berkulit putih itu selalu menjadi ranking satu paralel di sekolah kami. Aku yang belajar sampe mau mati ini bahkan paling Mentok hanya dapat ranking dua. Itu pun sering naik turun.

"Makanya, hidup jangan serius-serius amat, lah. Santai dulu nggak, sih?" Dia cengengesan sambil beranjak meninggalkanku sendirian.

Aku malas pulang. Rasanya lelah sekali. Aku juga mau seperti Liam yang hidup santai, tapi masih bisa meraih segalanya. Berprestasi di bidang akademik, bidang olahraga juga dia tidak bisa diremehkan, ditambah lagi dia aktif organisasi, mudah bergaul, ganteng, kaya lagi. Cewek-cewek ngantri buat deketin dia. Kok, temanku itu sempurna sekali, ya?

Sialan, jangan kira aku menyukainya karena memujinya. Aku ini cowok normal, buktinya bisa pacaran dengan Vianna. Aku hanya iri padanya. Memiliki segalanya tanpa harus mengeluarkan usaha terlalu banyak. Mama pasti bangga kalau punya anak seperti itu. Sepertinya yang harusnya jadi anaknya mama itu Liam, bukan aku.

"Jidan, jangan sampe lo kesurupan gara-gara bengong sendirian di sini, ya!" Teriakan Liam sampai menggema karena ruang kelas ini benar-benar sunyi, hanya tersisa diriku saja. Dia benar-benar paling ahli dalam hal mengagetkanku.

Aku beranjak menghampirinya yang ternyata masih betah menunggu di depan pintu. Dia menarik ranselku dengan kuat, mengajakku berjalan dengan lebih cepat. Terpaksa aku mengikuti saja. Dasar tidak sabaran.

"Hari ini lo harus ikut!"

Anak itu semangat sekali, padahal baru bangun tidur. Karena malas meladeni, aku iya-iya saja yang akhirnya malah terlihat seperti aku yang baru bangun tidur.

Kami masuk bersama ke dalam sebuah caffe dengan suasana khas anak muda. Para pengunjung di sini kebanyakan anak-anak muda. Tempat ini jarang sepi. Ada beberapa tempat yang didesain dengan estetik-- katanya, sih spot untuk foto. Di depan sana ada panggung kecil yang tak begitu tinggi. Hanya ala kadarnya saja. Alat-alat musik yang terpajang di sana seperti keyboard, drum, gitar, sampai bass, sangat menarik perhatianku. Gitar listrik dengan warna sederhana itu seperti teman lamaku. Pelampiasanku di segala situasi. Andai aku bisa membawanya pulang. Tapi, itu tidak mungkin. Untuk bertanya pada mama apakah aku boleh memilikinya saja tidak berani.

"Wihh, hari ini formasi lengkap, nih!" Aku menoleh mendengar seseorang menyeletuk dari balik bar/pantry. Dengan apron yang melekat di tubuhnya dan segelas minuman mengandung kafein di tangan, dia tersenyum lebar. Aku melirik sekitar, hanya untuk memastikan kalau para gadis pasti menaruh perhatian penuh pada pemuda jangkung itu.

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang