Aku baik-baik saja

64 11 6
                                    

Setelah dua minggu lebih kebut-kebutan belajar untuk penilaian akhir semester, akhirnya hari-hari melelahkan itu berakhir juga. Rasanya bisa sedikit lebih bersantai. Walaupun masih ketar-ketir dengan hasilnya. Kalau kata bang Jun yang terpenting sudah mengerahkan usaha terbaik. Hasil itu hanyalah angka. Tapi, kalau kata mama tentu berbanding terbalik.

Pikiranku terlalu berisik saat ini. Pesta kecil-kecilan yang diadakan Liam-- katanya self reward, aku sama sekali tidak bisa menikmatinya. Tolong, bagaimana caranya untuk menghilangkan semua hal yang terus berputar di otakku.

Merogoh kantong celana, aku mengeluarkan selembar tisu yang terlipat dengan rapi. Benda itu sudah kusimpan cukup lama. Tapi, yang kulakukan hanya memandanginya kemudian menyimpannya lagi. Kali ini aku memilih menyerahkannya pada bang Marvin. Dia sudah dewasa, setidaknya lebih dariku. Kupikir dia akan lebih tahu apa yang harus dia lakukan terhadap benda itu.

"Ini apa?" tanya bang Marvin dengan dahi mengerut bingung.

"Rambut bokap gue. Pas jagain di rumah sakit waktu itu gue ambil rambut dia yang rontok," ujarku dengan suara pelan.

"Terus?" tanyanya lagi. Kupikir dia tidak akan mendengar ucapanku karena anak-anak lain berisik sekali.

Aku mencabut beberapa helai rambutku. Meraih tisu di atas meja kemudian menaruhnya dan melipatnya dengan asal. Aku menyerahkannya pada bang Marvin yang masih menampilkan wajah bingung.

"Buat nyari tahu gimana prosedur buat tes DNA aja gue takut, Bang. Tolong, ya?" pintaku dengan memelas.

"Lo serius meragukan status lo sebagai anaknya bokap lo?"

"Gue nggak tahu." Aku benar-benar tidak tahu apa yang kupikirkan. Tapi, aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Tepukan di bahu membuatku terkejut. Kudapati senyum tulus di wajah bang Marvin. Kemudian dia berujar dengan begitu meyakinkan, "Percaya sama gue."

"Thanks." Aku sangat percaya padanya. Aku percaya dia bisa mengambil keputusan yang bijak. Kalaupun hasilnya tidak memuaskan dan dia memilih membohongiku hanya untuk menghiburku, aku tidak masalah. Karena dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku hanya ingin percaya bahwa aku memang anak papa.

"Jangan terlalu dipikirin. Untuk sekarang, let's have fun!" ujar bang Navis yang ternyata sedari tadi menyimak obrolanku dengan bang Marvin.

Kupikir tadi semua orang sedang meributkan sesuatu seperti biasa. Kukira tidak akan ada yang memperhatikan obrolanku dengan bang Marvin. Mungkin dia tidak mendengar obrolan kami dengan jelas, tapi kalau memang memperhatikan dia pasti akan tahu arah pembicaraan kami. Karena sebelumnya aku pernah bercerita mengenai keraguanku itu pada mereka semua. Bukan disengaja sebenarnya, hanya kebetulan menemukan situasi yang tepat dan semuanya mengalir begitu saja. Atau mereka memang sengaja memancingku untuk bercerita, aku juga sempat memikirkan kemungkinan itu.

Mereka semua terkadang bersikap sangat menjengkelkan, tapi terkadang aku tersentuh dengan sikap mereka. Aku tidak tahu apakah hanya karena aku yang mudah tersentuh, atau mereka memang benar sepeduli itu denganku. Apapun itu yang terpenting memiliki teman untuk mengalihkan pikiran buruk saja sudah bersyukur sekali.

Seperti saat ini, ketika mereka mengajakku bermain musik. Mereka menggiringku ke panggung untuk memainkan beberapa lagu seperti biasanya. Yang seperti ini ampuh sekali untuk melupakan segala berisik di kepala barang sejenak saja. Setelah dua minggu absen nge-band karena penilaian akhir semester, akhirnya aku dapat memegang gitar lagi. Bahagia memang sesederhana itu.

Kebahagiaan yang sederhana ini, haruskah aku membawanya pulang? Aku ingin membawa benda ini sebagai alasanku untuk pulang ke rumah. Tempat yang kusebut sebagai rumah itu, tidak pernah membuatku merasa benar-benar pulang. Rumah itu tidak pernah membuatku merasa nyaman. Rasanya memuakkan sekali berada di sana.

Akhirnya kuputuskan untuk membawa alat musik petik itu ke rumah. Sudah cukup lama aku mengumpulkan keberanian untuk menghadapi mama. Sebenarnya aku juga berharap mama mengijinkan begitu saja tanpa ada larangan seperti yang kubayangkan.

Namun, aku lupa bahwa berharap pada mama tidak akan pernah berguna. Ketika mama mendapatiku masuk rumah terlambat dan terlebih menggendong tas berisi gitar di punggung, tentu mama mengamuk.

"Bagus, ulangan baru selesai sudah berani pulang terlambat. Kamu pikir setelah ulangan selesai, semuanya selesai? Ingat, kamu kelas dua belas! Mau jadi apa kamu kalau malas-malasan terus begitu?"

"Sudah begitu masih berani-beraninya bawa benda nggak berguna itu. Bermain musik hanya akan mengganggu belajarmu, Jidan. Kamu pikir selama ini mama nggak tahu kamu nge-band sama temen-temen nggak jelasmu itu? Mama sudah memberikan keringanan, Jidan. Mama mengijinkan kamu asalkan masih bisa pulang tepat waktu. Sekarang ngelunjak kamu? Gitar itu malah dibawa pulang. Biar apa? Biar kamu nggak perlu belajar lagi dan malah sibuk main gitar?!"

"Sadar Jidan! Kamu sebentar lagi akan menghadapi ujian di sekolah. Kalau kayak gini terus, kamu nggak bisa masuk universitas terbaik. Kamu nggak akan pernah dilihat oleh papamu."

"Mama yang harusnya sadar." Sial, harusnya aku mengucapkannya dengan lantang penuh percaya diri. Sepertinya malah terdengar seperti tikus kejepit.

"Apa kamu bilang?!"

"Mama sadar! Mama terlalu terobsesi dengan nilai. Mama bilang aku anak mama, tolong perlakukan aku seperti anak mama. Aku bukan robot yang bisa digerakkan sesuai keinginan mama. Aku bukan robot yang harus membantu mama untuk mendapatkan kekuasaan papa. Aku cuma anak-anak biasa, Ma. Tolong ngertiin aku."

Aku tidak tahu mendapatkan keberanian dari mana untuk berbicara sepanjang itu. Mungkin, memang ini batasanku. Semua yang kusimpan rapat akhirnya meledak juga. Atau mungkin, hari ini aku hanya sedang terlalu lelah berpikir jadi sulit mengendalikan diri.

"Jidan!" sembari berteriak memanggilku, tangan kanan mama mendarat di pipi kiriku dengan keras. Bagus, tidak cukup melukai hatiku sekarang mama bahkan bermain fisik. Selama ini aku bertanya-tanya, kapan kiranya mama akan memukul fisikku alih-alih pukulan tak kasat mata yang biasa ia lontarkan setiap harinya. Ternyata hari ini benar-benar datang.

Aku menyentuh pipiku yang terasa perih dan basah. Sial, apanya yang perlu ditangisi. Hidupku memang menyedihkan dari dulu. Menangis itu sangat tidak berguna. Daripada membiarkan mama berlama-lama melihatku menangis dan terlihat begitu menyedihkan, aku berlari ke kamar. Jangan lupa membanting pintu. Supaya mama tahu aku benar-benar lelah dan tidak ingin diganggu.

Menaruh semua barang-barang di sembarang tempat, aku memilih duduk di lantai bersandar pada ranjang. Kukepalkan kedua tanganku erat untuk menyalurkan amarahku. Sesak, rasanya sesak sekali. Aku tidak bisa menahan emosiku lagi. Tangan kananku terangkat, memukul dada yang teramat sesak. Kemudian tangan ini malah beralih memukul kepalaku yang teramat berisik. Setelah itu beralih pada bagian tubuh lainnya. Tidak ada keraguan ketika kulayangkan pukulan pada setiap bagian tubuhku. Mungkin, setiap kalimat yang dilontarkan mama memukul telak hatiku seperti ini. Seperti inilah gambaran ketika pukulan di hatiku terlihat nyata. Tanpa keraguan, tanpa ampun, tanpa belas kasihan, hanya karena tidak terlihat oleh mata telanjang.

Mama tidak akan pernah melihat luka di hatiku ketika mata hatinya sudah tertutup oleh keserakahannya. Luka fisik seperti inilah yang seharusnya mama lihat. Jika yang seperti ini pun mama tidak bisa melihatnya, kuanggap itu artinya mama tidak memiliki hati nurani. Atau … karena aku bukan anak kandungnya?

Sialan, sejak kapan aku menjadi sangat payah dalam mengendalikan emosi. Setelah banyaknya pukulan yang kudapatkan, melihat cutter di atas meja diri ini masih saja terdorong ingin meraihnya. Jidan, kendalikan dirimu! Aku tidak ingin menjadi gila. Aku, harus baik-baik saja.





























23/7/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang