Tujuh belas tahun aku hidup, memang belum pernah memiliki prestasi yang membanggakan. Aku merasa buruk untuk itu. Jadi, selama ini aku selalu berlari mengejar impian mama. Sebenarnya mimpi mama cukup sederhana ketika diucapkan, ingin memiliki anak yang dapat dibanggakan kepada seluruh dunia-- terutama pada papa.
Namun, rupanya tidak sesederhana itu bagiku untuk mewujudkannya. Les kesana-kemari sudah dijalani. Belajar mandiri siang malam, sampai begadang pun dilakoni. Bukan usahaku tak membuahkan hasil, kurasa memang hanya itu batasanku.
Jika menilik sejarah pendidikanku, sebenarnya tidak seburuk itu. Hanya, masih belum cukup untuk menjadi kebanggaan mama. Enam tahun di sekolah dasar, ranking satu selalu kuraih, tak pernah terlewat satu semester pun. Mama cukup puas untuk itu, tapi sayangnya aku tidak pernah memenangkan lomba apapun. Setiapkali guru mengikutsertakan aku dalam perlombaan, hasilnya tidak pernah sampai menjadi juara setidaknya di tingkat provinsi. Mama sering kecewa padaku kala itu.
Sekolah menengah pertama, bertemu dengan lebih banyak pesaing tentu tak lagi membuatku mendapatkan ranking pertama dengan mudah. Mama sering marah karena peringkatku naik turun. Beberapa kali mencoba mengikuti lomba akademik, pada akhirnya gagal juga. Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan kegagalan. Walau begitu rasanya masih menyakitkan melihat mama marah dengan tatapan kekecewaan miliknya.
Waktu itu, suatu kali di kelas delapan aku pernah mengikuti ekstrakurikuler dance. Sekedar mengikuti aturan sekolah yang mewajibkan siswanya mengikuti ekskul setidaknya satu. Semuanya terjadi begitu saja, ketika aku tiba-tiba terpilih untuk mengikuti lomba sebagai perwakilan sekolah. Yang mengejutkan, aku berhasil lolos hingga ke tingkat nasional.
Namun, hari itu mama mendengar kabarnya. Padahal aku sudah berusaha keras menutupinya karena kutahu mama tak akan suka. Rupanya wali kelasku yang menghubungi mama secara langsung. Bu guru pasti terkejut dengan reaksi mama yang di luar ekspektasinya. Mama marah besar, katanya hal itu hanya akan mengganggu proses belajar. Hampir saja aku dipaksa mundur dari kompetisi. Untungnya pelatihku dan para guru berhasil membujuk mama, berdalih hanya satu langkah lagi dan hanya tinggal satu hari sebelum kompetisi dimulai.
Mau tahu hasilnya, aku mendapat juara satu. Tapi, mama tidak memberikan apresiasi dalam bentuk apapun. Malahan, mama mewanti-wanti guru untuk tidak lagi mengikutsertakan aku dalam kegiatan serupa. Kala itu aku susah payah men-sugesti diriku sendiri bahwa dance bukanlah minat dan bakatku, aku hanya beruntung saja.
Hingga di SMA, aku masih belum juga menorehkan prestasi luar biasa yang mama impikan. Peringkat satu sulit sekali kugapai. Bahkan lomba-lomba akademik yang kuikuti selalu berakhir sama. Tidak berarti sama sekali.
Sejujurnya aku tidak seburuk itu, kan? Tapi, sampai detik ini mama masih terobsesi dengan prestasiku. Bahkan setelah pertengkaran kami tempo hari yang berakhir aku sakit hingga dirawat di rumah sakit, mama masih belum goyah. Bagaimana aku tidak ingin mengamuk? Rasanya ingin kulemparkan saja gelas di sisi ranjangku ini. Ingin kukatakan dengan gamblang bahwa aku tidak mau.
"Kamu denger mama, nggak?!"
Aku tersentak mendengar pertanyaan mama. Kujawab dengan anggukan karena terlalu takut. Sialan, rupanya untuk mengatakan tidak pada mama saja aku hanya berani berhayal. Hanya satu kata saja rasanya sulit untuk kuucapkan. Berhayal saja terus sampai lo gila, Jidan!
"Jaga tubuhmu tetap sehat supaya tidak mengganggu belajarmu!"
"Iya."
"Jangan main HP kelamaan! Tidur aja, istirahat."
"Iya," sahutku seadanya.
Puas dengan jawabanku, akhirnya mama pergi keluar dari kamarku. Barulah aku bisa bernapas lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mama
FanfictionKata orang, aku terlalu penurut. Menjadi penurut juga melelahkan sebenarnya, aku hampir menyerah. Tapi, apa salahnya menuruti ucapan orang tua? Hanya karena mama selalu mengaturku dan aku menurutinya lalu mereka akan memanggilku anak mama? Pedul...