Orang asing

67 12 0
                                    

Beberapa hari ini, sejak kena marah mama sampai disuruh pulang sebelum jam tujuh tentu aku menurutinya-- walaupun beberapa kali sedikit terlambat. Seperti waktu pergi ke caffe untuk bermain musik. Ngomong-ngomong band kami sudah cukup banyak kemajuan sekarang. Sayangnya aku belum bisa aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatannya.

Karena waktuku tidak banyak. Belajar sepanjang waktu rasanya masih belum cukup. Mama selalu mengirimiku pesan, mengingatkan agar tidak terlambat pulang. Padahal tanpa diingatkan juga aku memang berniat langsung pulang setelah kegiatan les berakhir.

Sebenarnya aku tidak masalah untuk itu. Jujur saja rumah adalah zona paling nyaman untukku. Aku tidak begitu suka beraktifitas di luar rumah sebenarnya, kalau saja mama tidak marah-marah terus. Masalahnya mendengar omelan mama itu bikin sakit hati dan bikin otak berisik. Makanya aku sering sengaja pulang agak lambat kalau sedang ingin menghindari mama.

Seperti saat ini, baru saja pulang aku sudah disambut omelan mama. Bukan karena apa-apa, hanya karena aku tidak mengangkat telepon mama yang akan mengingatkan untuk cepat pulang. Bukannya aku sengaja, tapi lupa ponselku dalam mode silent jadi aku tidak tahu mama menelpon.

"Punya HP nggak guna! Percuma punya HP kalo dihubungi susahnya minta ampun. Kemana HP kamu? Kenapa mama telpon nggak diangkat?"

"Di tas, mode silent nggak denger ada telpon," jawabku dengan jujur.

"Biar apa gitu HP dibisukan? Sengaja banget biar kalo ada orang nelpon nggak denger. Fungsinya HP itu buat apa? Goblok banget, heran."

"Masih untung kali ini cuma soal mama mau nitip beliin minyak. Masih bisa beli besok. Kalo suatu saat ada kepentingan mendesak terus kamu ditelpon nggak denger gimana?"

"Buang aja tuh HP kalo gitu. Mending nggak punya HP sekalian. Bikin kecewa orang aja."

Ya, begitulah. Telingaku jadi korban hanya karena perkara ponsel yang lupa dibisukan. Digoblok-goblokin sama mama sendiri hanya karena tidak mengangkat telepon. Kayaknya percuma saja selama ini aku belajar mati-matian sampai kepala rasanya mau pecah. Ranking dua tidak ada artinya.

Sudah biasa, tapi mau sampai kapanpun tidak akan pernah terbiasa. Disaat-saat seperti ini rasanya aku ingin melarikan diri atau menghilang saja sekalian. Tidak peduli kemanapun, asal tidak mati saja. Kalau menghilang dari dunia artinya mati, aku belum siap untuk itu. Tolong, tunjukkan tips yang lain dulu.

Akhirnya seperti biasa aku hanya bisa berlari masuk ke kamar. Menyumpal telinga dengan earphone kemudian memutar musik berisik dengan volume penuh. Kayaknya lebih baik telingaku yang rusak daripada mentalku yang semakin jatuh. Aku tidak peduli apapun sekarang, yang penting tidak mendengar ocehan mama lagi dan melupakan yang sudah-sudah.

Sialnya aku tidak seberani itu. Setelah dua atau tiga lagu terputar, aku sedikit mengecilkan volume. Hanya supaya masih bisa mendengar kalau mama memanggil atau ada sesuatu yang penting. Beruntung ketika mama mengetuk pintu dengan terburu-buru, aku mendengarnya dan segera membukakan pintu tanpa lupa melepas earphone terlebih dahulu. Hingga kalimat yang diucapkannya membuatku benar-benar bersyukur karena masih bersiaga di saat seperti ini. Aku akan sangat menyesal kalau masih menulikan telinga disaat genting seperti ini.

"Papamu kecelakaan. Kita ke rumah sakit sekarang!"

Kami bertiga termasuk Lea yang ternyata masih terjaga di kamarnya segera pergi ke rumah sakit mengendarai mobil dengan posisi mama yang menyetir. Pak Rofiq-- sopir kami itu diminta untuk menjaga rumah saja. Sedangkan aku, masih belum pandai menyetir. Baru belajar beberapa kali, itupun diam-diam karena mama belum mengijinkan.

Aku tidak membayangkan IGD akan seramai ini. Banyak pasien dengan tingkat keparahan luka yang berbeda-beda mengeluh kesakitan. Banyak wali pasien yang berteriak meminta keluarganya diobati terlebih dahulu. Sedangkan beberapa perawat dan dokter yang bertugas tampak kualahan. Setelah tanpa sengaja mendengar seseorang berkata habis ada kecelakaan beruntun, aku mengangguk paham. Dan mulai berasumsi bahwa papa juga salah satu korban dari kecelakaan yang katanya melibatkan beberapa truk dan mobil hingga pengendara motor juga.

Setelah bertanya ke resepsionis dan beberapa orang akhirnya kami menemukan tempat dimana papa sedang dirawat di salah satu ranjang IGD dengan tirai yang tertutup rapat.

Belum juga dokter yang merawat papa keluar, nenekku yang merupakan ibu dari papa datang bersama pamanku beserta istrinya. Ketiganya langsung bertanya ini itu pada mama. Padahal mama juga tidak tahu apapun. Tapi, dengan semena-mena nenek menyalahkan mama dan mengomelinya habis-habisan. Walau aku sering sakit hati ketika kena omel mama, melihat mama diomeli mertuanya aku tetap merasa kesal. Ingin melawan, tapi aku hanya anak kecil di sini. Untungnya paman masih mau menenangkan nenek dan tidak ikut memprovokasi.

Kami menunggu cukup lama dengan perasaan cemas. Sampai kemudian mendengar obrolan dokter dengan perawat, kurang lebih mengatakan tentang stok darah di rumah sakit mulai habis. Apalagi dengan begitu banyaknya korban kecelakaan beruntun itu, persediaan darah semakin menipis saja. Tak lama, seorang perawat menemui kami, meminta seseorang yang memiliki kecocokan golongan darah dengan papa dan memenuhi syarat untuk mendonorkan darah untuk dengan suka rela mendonorkan darahnya.

Elea mengajukan diri. Anak itu langsung bergegas ingin langsung pergi bersama perawat. Tapi, mama menahannya.

"Lea, kamu baru datang bulan kemarin. Kamu juga ada riwayat anemia. Suster, dia nggak boleh donor darah, kan?" tanya mama.

"Kalau begitu, apa ada anggota keluarga lain yang memiliki golongan darah sama?"

"Maaf, tapi golongan darahku berbeda dengan papa," ucapku penuh sesal. Seharusnya aku bisa sedikit membantu, tapi mau bagaimana lagi golongan darah kami berbeda.

"Saya suster," ucap paman yang langsung saja pergi mengikuti perawat ke ruangan lain.

"Kamu itu cuma orang asing, tentu saja golongan darahmu berbeda dengan putraku. Dasar tidak berguna!" sungut Nenek yang kuyakin ditujukan padaku. Bibi yang duduk di sebelah nenek langsung menenangkannya. Tapi, ucapan nenek tadi masih saja terngiang di kepalaku.

Apa maksudnya orang asing?

Karena ucapan nenek, aku jadi berpikir yang tidak-tidak. Aku tahu, sedari dulu nenek memang tidak suka pada mama juga padaku. Nenek sering mengungkapkan ketidaksukaannya. Biasanya aku hanya akan mengabaikannya. Tapi, kali ini ucapannya benar-benar mengusikku.

Wanita tua itu, disaat genting seperti ini masih saja menambah beban pikiranku. Tidak bisakah duduk diam saja mendoakan keselamatan papa yang sedang berjuang di sana. Kami bahkan belum tahu seberapa parah kondisinya. Bukannya menenangkan diri malah memperkeruh suasana saja. Kalau boleh jujur, aku juga enggan menganggap wanita itu sebagai nenekku. Nenek yang sama sekali tidak ada kontribusinya dalam hidupku.


























19/7/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang