Laki-laki brengsek

71 8 0
                                    


Semburat jingga terlihat cantik sore ini, sayangnya beberapa menit lagi mungkin akan segera hilang bersembunyi bersama baskara yang pamit setelah menyelesaikan tugasnya hari ini. Lalu lalang kendaraan di jalanan semakin padat. Mungkin memang jam pulang kerja. Tak heran, tempat ini menjadi begitu ramai dan bising. Orang-orang telah bekerja keras seharian, akhirnya dapat duduk beristirahat sembari menikmati makanan untuk mengisi kembali tenaganya yang telah terkuras habis. Sembari bertukar cerita dengan orang-orang terkasihnya.

Kali ini, aku telah merusak momen indah satu keluarga sempurna yang tampak bahagia menikmati momen kebersamaan. Pada sang istri dan anak perempuannya, aku izin meminjam lelaki miliknya. Begitulah akhirnya aku dapat duduk berbincang empat mata dengan orang yang baru bertemu beberapa menit yang lalu. Hanya orang asing yang kebetulan memiliki ikatan darah denganku.

Wajahnya yang tersenyum terlihat ramah sekali. Sama sekali tidak seperti orang jahat. Lagipula, mana ada orang jahat di dunia ini. Seseorang dianggap baik atau jahat tergantung pada siapa yang menilai. Meski bagiku dia adalah orang paling brengsek, bagi dua wanita beda usia yang duduk di arah kananku tentu orang ini adalah superhero yang tidak dapat tergantikan. Untuk itu, aku berusaha untuk tidak terlalu membencinya.

"Kamu kelas berapa?" tanyanya basa basi. Seharusnya aku yang lebih dulu membuka obrolan mengingat akulah yang izin ingin berbicara dengannya, tapi ternyata hanya dengan melihat wajahnya membuat dadaku penuh sesak. Meski berkali-kali menghela napas dalam-dalam, perasaan asing itu masih membuatku merasa sesak.

"Tahun ini lulus SMA, Om. Tinggal nunggu pengumuman kelulusan." Aku memasang wajah seramah mungkin. Tidak boleh mencari keributan. Ingat, tujuanku hanya untuk bertanya. Setelah itu memastikan kemunculannya yang membuat luka untuk mama tidak terulang lagi.

"Oh …, mau lanjut kuliah atau ada rencana lain?"

"Anak Om udah berapa tahun?" Aku memilih mengabaikan pertanyaan basa basinya yang tidak ingin ku bahas lebih lanjut. Kurasa, dia juga tidak perlu tahu rencana masa depanku.

"Lima tahun, baru mau masuk TK. Seneng banget mau mulai sekolah." Pria itu tersenyum lebar, menoleh ke arah gadis kecil yang melambaikan tangannya dengan semangat sementara mulutnya penuh-- baru saja diberikan sesuap nasi oleh ibunya.

"Jaraknya jauh, ya?"

"Gimana?" Perhatiannya kembali kepadaku. Tampak kebingungan dengan pertanyaan yang ku lontarkan.

"Om sama mamaku satu angkatan, kan? Anaknya mama udah segede ini, anaknya Om baru mau masuk TK."

"Iya, kan mamamu hamil--" Pria itu segera menutup rapat mulutnya ketika menyadari telah salah berucap.

"Maaf. Anak pertama Om udah SMP, kok. Cowok, baru kelas satu. Bentar lagi naik kelas dua." Pantas saja. Lelaki seusianya baru memiliki satu anak berumur lima tahun rasanya terlalu jomplang dengan mama. Tapi, aku tidak begitu peduli juga.

"Om pernah pacaran sama mamaku?"

Dia sedikit terkejut dengan pertanyaanku yang mungkin terlalu frontal. Tapi, beberapa saat kemudian dia mengangguk. Mengingat dia yang terang-terangan menyapa mama lebih dulu, sepertinya bukan masalah baginya untuk mengakui hubungan yang pernah dijalin keduanya di masa lalu.

"Iya, lumayan lama dulu. Mungkin...  ada tiga tahun. Maklum anak muda--"

"Putusnya kenapa?" cecarku. Aku hanya ingin tahu singkat ceritanya saja. Jadi, laki-laki ini pernah menjalin hubungan asmara dengan mama. Lalu putus begitu saja. Kalau begitu, kapan?

"Kenapa kamu nanya sama saya? Tanya sama mamamu." Nada bicaranya agak tinggi. Agaknya sudah mulai tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Tapi, aku tidak peduli.

"Om pernah berhubungan badan sama mama saya?"

"K--kamu-- maksud kamu apa? Apa tujuanmu!" ketusnya. Meski sebenarnya aku juga sudah dipenuhi emosi, tapi aku masih menahannya. Ingin menuntaskan rasa penasaranku dulu. Susah payah aku berusaha untuk tetap tenang.

"Artinya pernah. Tapi, om nggak tahu kalo mama hamil?"

"KAMU ITU NGOMONG APA!" Teriaknya. Saat melihat orang-orang di sekitar mulai memerhatikan, dia kembali memelankan suaranya. "Kamu nuduh saya!"

"Itu fakta."

"Saya memang pernah berhubungan sama mama kamu. Tapi, waktu mama kamu drop out dari kampus, saya sedang KKN di luar kota. Artinya dia hamil dengan laki-laki lain. Mama kamu itu cewek murahan. Dia pasti sudah tidur sama banyak laki--"

"Mulut lu kayak sampah, ya! Inget, lu juga punya anak cewek! Karma lu bisa berbalik ke anak lu sendiri!"

Sungguh, aku seperti hilang kesadaran. Semuanya terjadi begitu saja. Tiba-tiba orang-orang datang menarik tubuhku menjauh dari pria itu yang mana sudah terlentang di atas lantai dengan wajah penuh lebam. Orang-orang membantunya untuk bangun dari posisinya. Istrinya menghampiri dengan raut penuh kekhawatiran. Ku lihat-lihat kondisinya tidak separah itu. Seharusnya ku patahkan saja tangan atau kakinya.

Dengan emosi yang mulai mereda, aku menyentak cekalan tangan orang di sampingku. Napasku masih tak beraturan saat sepasang tangan kecil memukul dan mencubit kakiku.

Aku berjongkok menyamakan tinggiku dengan gadis kecil dengan wajah penuh air mata itu. Kedua tangannya kugenggam agar tak berontak. Ku usap air mata yang membanjiri pipi tembamnya. Ku rapikan rambutnya yang cukup berantakan meski sudah di kucir dua.

"Maaf. Kakak--" Aku menggeleng pelan. Tidak, dia bukan adikku. Laki-laki brengsek itu bukan ayahku. Sampai mati pun aku tidak akan mengakuinya. Mama benar, dia sama sekali tidak pantas disebut ayah.

"Aku minta maaf karena mukul papa kamu dan bikin kamu sedih. Soalnya papa kamu jahat sama mamaku. Setelah ini aku janji nggak akan pukul papa kamu lagi. Asal kita jangan ketemu lagi. Soalnya aku masih marah sama papamu."

"Semoga, suatu hari nanti kamu ketemu sama laki-laki yang baik. Yang tulus sayang sama kamu, selalu percaya sama kamu, dan nggak akan ninggalin kamu dalam keadaan apapun. Kamu kuat, pasti bisa ngelawan laki-laki jahat kayak--" anak itu ditarik paksa oleh ibunya sebelum aku menyelesaikan kata-kataku. Setelah itu ketiganya pergi dengan terburu-buru. Aku hanya berharap ini pertama dan terakhir kalinya kami bertemu.

Dengan langkah lebar aku menyusul ketiganya sebelum sempat hilang dari pandangan. Sepasang suami istri itu menunjukkan tatapan permusuhan. Hampir saja aku diusir. Tapi, aku takkan pergi sebelum mengatakan tujuanku.

"Saya sama sekali nggak butuh diakui sebagai anak anda atau pria manapun. Dan saya nggak akan minta pertanggung jawaban kepada siapapun. Saya cuma minta-- bukan, ini bukan permintaan tapi peringatan. Jangan pernah menujukkan wajah anda di hadapan saya dan mama saya lagi! Kalau sampai anda mencoba berurusan dengan kami lagi, saya tidak akan segan untuk menghabisi anda. Saya juga tidak peduli kalaupun disebut tidak waras karena itu."

Setelah puas mengatakannya, aku pergi dari sana tanpa menoleh sedikitpun. Lebih baik tidak punya ayah daripada memiliki ayah seperti itu. Tanpa sosok ayah pun mama bisa mengurus dan mendidikku sampai sebesar ini. Aku hanya akan menjadi anak mama. Aku tidak butuh ayah.

Bohong. Itu semua bohong. Aku masih menginginkan sosok ayah untuk mendampingiku. Berkali-kali aku berharap memiliki ayah yang bisa menjadi pahlawan dalam hidupku seperti anak-anak lain. Berharap memiliki sosok yang akan ku jadikan contoh dan panutan seumur hidupku.

Setelah mengetahui fakta tentang ayah hari ini, aku tidak bisa memiliki harapan apapun lagi. Bukannya tidak ingin memiliki ayah, tapi harapanku sudah pupus sepenuhnya. Aku tidak akan memiliki ayah. Baik lelaki tadi ataupun Arthur Danendra, keduanya sama saja. Berengsek. Kenapa mama hanya bertemu dengan laki-laki brengsek?






















5/10/24

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang